Jakarta (ANTARA) -

Indonesia mengamati secara dekat adanya peningkatan ketegangan antara India dan Pakistan di wilayah Kashmir.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menggarisbawahi dan mengharapkan pihak-pihak yang bertikai untuk meredakan ketegangan dan mencoba menyelesaikan masalah melalui jalur diplomatik dan negosiasi.

“Karena eskalasi ketegangan tentunya tidak akan menguntungkan siapa pun. Indonesia menyampaikan harapannya agar komunikasi dan diplomasi dikedepankan,” ujar Pelaksana tugas Juru Bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah dalam taklimat media di Jakarta, Selasa (6/8).

Senin (5/8) lalu, pemerintah India mencabut status khusus Jammu dan Kashmir, negara bagian yang berpenduduk mayoritas Muslim, melalui keputusan presiden yang disampaikan di parlemen.

Selama ini Jammu dan Kashmir menikmati statusnya sebagai wilayah otonomi sebagai imbalan untuk bergabung dengan India setelah kemerdekaan pada 1967.

Beberapa bagian wilayah Himalaya yang dihuni sekitar 12 juta orang itu dikuasai oleh India dan Pakistan dan diklaim secara keseluruhan oleh kedua negara tersebut.

Sejak keduanya dipisahkan, India dan Pakistan telah tiga kali terlibat perang---pada 1948, 1965, dan 1971---dua diantaranya mengenai Kashmir.

Berdasarkan Pasal 370 Konstitusi India, Jammu dan Kashmir berhak memiliki konstitusi sendiri, bendera sendiri, dan kebebasan mengurus semua hal kecuali urusan luar negeri, pertahanan, dan komunikasi.

Namun, status khusus tersebut akan segera berakhir setelah Presiden India menandatangani dekrit pencabutan pasal tersebut.

Dengan penghapusan status khusus, untuk pertama kalinya orang-orang dari luar negara bagian boleh membeli tanah dan rumah di Kashmir---yang menurut para kritikus akan berakibat pada perubahan demografi di wilayah tersebut, di mana penduduk mayoritas Hindu sekarang dapat menetap di Kashmir, demikian dilaporkan BBC.


Pewarta : Yashinta Difa Pramudyani
Editor : Amirullah
Copyright © ANTARA 2024