Makassar (ANTARA) - Pada hari ke delapan perayaan tahun baru Imlek 2571 Masehi, 2020, keturunan suku Tionghoa Hokkian melaksanakan ritual sembahyang 'Meja Tinggi' atau diistilahkan Pai Tiang Tong atau sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa di lantai lima Klenteng Xian Ma, jalan Sulawesi, Makassar, Sulawesi Selatan.
"Sembahyang ini sebagai bentuk rasa syukur atas perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, dilaksanakan mulai delapan hari setelah Imlek," ujar Ketua Dewan Klenteng Xian Ma, Kadir Gunawan, di Klenteng setempat, Sabtu malam (1/2)
Ia menuturkan, dengan dilaksanakan sembahyang ini diharapkan akan diberikan rezeki yang melimpah dan kedamaian tercipta di Indonesia khususnya rakyat Indonesia.
"Mulai malam ini sampai besok jam dua belas malam. Kita juga mengundang suhu dari Tiongkok untuk memimpin ritual ini. Sembahyang untuk Tuhan Yang Maha Esa. Kita juga doakan untuk keselamatan bangsa dan negara termasuk rakyat seluruh dunia," paparnya.
Ia menjelaskan, ritual ini dilaksanakan keturunan Tionghoa Hokkian mengingat ada sejarah lampau, pada daerah pedesaan Hokkian yang belum menjadi Provinsi Tiongkok, subur akan pertanian serta penduduknya sejahtera.
Namun suatu ketika di masa musim semi saat perayaan Imlek, daerah Hokkian diserbu perampok hingga memporak-porandakan desa, penduduk pun dibantai dan sebagian lari bersembunyi ke kebun tebu dan hutan bambu, sampai akhirnya selamat.
"Maka dari itu, ritual sembahyang ini wajib ada pohon bambu dan tebu, karena dianggap sebagai pohon pelindung yang diberikan Tuhan. Kenapa sembahyang meja tinggi karena ini bentuk penghormatan dan sujud syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa," katanya.
Prosesi ritual sembahyang 'Meja Tinggi' atau Pai Tiang Tong di lantai lima Klenteng Xian Ma, jalan Sulawesi, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (1/2/2020) malam. ANTARA/Darwin Fatir.
Sementara Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Sulsel, Hendrik Sumitomo menambahkan, sembahyang meja tinggi adalah bagian dari ritual perayaan Imlek dengan harapan semoga tahun ini bisa lebih baik dari tahun lalu.
"Kita berharap perlindungan Tuhan Yang Maha Esa terus diberikan kepada seluruh umat manusia. Tebu dan bambu ini diyakini sebagai pelindung khususnya warga Tionghoa Hokkian," tambahnya.
Salah satu pengamat budaya Thionghoa, David Ariyanto menjelaskan, upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara dalam pesta Tahun Baru Imlek yang berlangsung selama 15 hari.
Di Taiwan muncul istilah yang sangat populer yakni Chu Jiu Tian Gong Sheng, artinya setiap tanggal 9 bulan pertama Imlek adalah Hari Ulang Tahun Thi Kong yang diyakini mereka sebagai Tuhan Yang Maha Esa, sehingga masyarakat di provinsi Hok Kian dan Taiwan mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong.
Upacara ritual sembahyang King Thi Kong saat ini telah menyebar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk di Indonesia.
"Jadi bentuk sembahyang ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang diyakini, setelah perayaan delapan hari Imlek. Harapannya bisa diberikan perlindungan, rezeki berlimpah dan kedamaian serta ketentraman," tambahnya pria keturunan itu.
"Sembahyang ini sebagai bentuk rasa syukur atas perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, dilaksanakan mulai delapan hari setelah Imlek," ujar Ketua Dewan Klenteng Xian Ma, Kadir Gunawan, di Klenteng setempat, Sabtu malam (1/2)
Ia menuturkan, dengan dilaksanakan sembahyang ini diharapkan akan diberikan rezeki yang melimpah dan kedamaian tercipta di Indonesia khususnya rakyat Indonesia.
"Mulai malam ini sampai besok jam dua belas malam. Kita juga mengundang suhu dari Tiongkok untuk memimpin ritual ini. Sembahyang untuk Tuhan Yang Maha Esa. Kita juga doakan untuk keselamatan bangsa dan negara termasuk rakyat seluruh dunia," paparnya.
Ia menjelaskan, ritual ini dilaksanakan keturunan Tionghoa Hokkian mengingat ada sejarah lampau, pada daerah pedesaan Hokkian yang belum menjadi Provinsi Tiongkok, subur akan pertanian serta penduduknya sejahtera.
Namun suatu ketika di masa musim semi saat perayaan Imlek, daerah Hokkian diserbu perampok hingga memporak-porandakan desa, penduduk pun dibantai dan sebagian lari bersembunyi ke kebun tebu dan hutan bambu, sampai akhirnya selamat.
"Maka dari itu, ritual sembahyang ini wajib ada pohon bambu dan tebu, karena dianggap sebagai pohon pelindung yang diberikan Tuhan. Kenapa sembahyang meja tinggi karena ini bentuk penghormatan dan sujud syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa," katanya.
Sementara Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Sulsel, Hendrik Sumitomo menambahkan, sembahyang meja tinggi adalah bagian dari ritual perayaan Imlek dengan harapan semoga tahun ini bisa lebih baik dari tahun lalu.
"Kita berharap perlindungan Tuhan Yang Maha Esa terus diberikan kepada seluruh umat manusia. Tebu dan bambu ini diyakini sebagai pelindung khususnya warga Tionghoa Hokkian," tambahnya.
Salah satu pengamat budaya Thionghoa, David Ariyanto menjelaskan, upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara dalam pesta Tahun Baru Imlek yang berlangsung selama 15 hari.
Di Taiwan muncul istilah yang sangat populer yakni Chu Jiu Tian Gong Sheng, artinya setiap tanggal 9 bulan pertama Imlek adalah Hari Ulang Tahun Thi Kong yang diyakini mereka sebagai Tuhan Yang Maha Esa, sehingga masyarakat di provinsi Hok Kian dan Taiwan mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong.
Upacara ritual sembahyang King Thi Kong saat ini telah menyebar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk di Indonesia.
"Jadi bentuk sembahyang ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang diyakini, setelah perayaan delapan hari Imlek. Harapannya bisa diberikan perlindungan, rezeki berlimpah dan kedamaian serta ketentraman," tambahnya pria keturunan itu.