Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dampak pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diputuskan Mahkamah Agung (MA) masih akan ditinjau ulang.
"Ya ini kan keputusan yang memang harus dilihat lagi implikasinya kepada BPJS ya. Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh, nanti kita lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa 'sustain'," kata Sri Mulyani di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Oktober 2019.
"Judicial review" ini diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2020.
"Menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi amar putusan.
"Dari sisi memberikan untuk jasa kesehatan kepada masyarakat secara luas namun secara keuangan mereka merugi, sampai dengan akhir Desember, kondisi keuangan BPJS meski saya sudah tambahkan Rp15 triliun dia masih negatif, hampir sekitar Rp13 triliun, jadi kalau sekarang dengan hal ini adalah suatu realita yang harus kita lihat, kita nanti review lah," tambah Sri Mulyani.
Putusan tersebut diputuskan oleh Hakim MA Supandi selaku ketua majelis hakim bersama Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi masing-masing sebagai anggota. Majelis memutuskan pada 27 Februari 2020.
Dalam putusannya, MA juga menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28 H jo Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kemudian juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Isi Pasal 34 ayat (1) dan (2) yang dibatalkan oleh MA:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III
b. Rp110.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II
c. Rp160.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan iuran mandiri kelas III sebesar Rp25.500 per orang per bulan, iuran mandiri kelas II sebesar Rp51 ribu per orang per bulan, dan iuran mandiri kelas I sebesar Rp80 ribu per orang per bulan.
"Ya ini kan keputusan yang memang harus dilihat lagi implikasinya kepada BPJS ya. Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh, nanti kita lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa 'sustain'," kata Sri Mulyani di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Oktober 2019.
"Judicial review" ini diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2020.
"Menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi amar putusan.
"Dari sisi memberikan untuk jasa kesehatan kepada masyarakat secara luas namun secara keuangan mereka merugi, sampai dengan akhir Desember, kondisi keuangan BPJS meski saya sudah tambahkan Rp15 triliun dia masih negatif, hampir sekitar Rp13 triliun, jadi kalau sekarang dengan hal ini adalah suatu realita yang harus kita lihat, kita nanti review lah," tambah Sri Mulyani.
Putusan tersebut diputuskan oleh Hakim MA Supandi selaku ketua majelis hakim bersama Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi masing-masing sebagai anggota. Majelis memutuskan pada 27 Februari 2020.
Dalam putusannya, MA juga menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28 H jo Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kemudian juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Isi Pasal 34 ayat (1) dan (2) yang dibatalkan oleh MA:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III
b. Rp110.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II
c. Rp160.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan iuran mandiri kelas III sebesar Rp25.500 per orang per bulan, iuran mandiri kelas II sebesar Rp51 ribu per orang per bulan, dan iuran mandiri kelas I sebesar Rp80 ribu per orang per bulan.