Makassar (ANTARA News) - Aliansi Jurnalistik Independen menyatakan, berita kekerasan yang ditayangkan sejumlah televisi masih minim narasi.
Demikian diungkapkan oleh Ketua AJI Indonesia, Nezar Patria, saat mengiisi diskusi bertema "Bicara Tentang Akar Demokrasi di Indonesia", di kampus Universitas Hasanuddin Makassar, Selasa.
Menurutnya, tayangan kekerasan merupakan bentuk eksploitasi karena kurang menerapkan prinsip 5W + 1H dalam sebuah berita.
Kurangnya penggunaan prinsip 5W + 1H adalah kurangnya eksplanasi kepada pemirsa, yang akhirnya membuat konteks latar belakang terjadinya sebuah kerusuhan menjadi hilang.
"Dari hal ini, dapat dikatakan bahwa kekerasan telah menjadi komoditas bagi media untuk menghadirkan tayangan dramatis yang mampu menyedot penonton," jelasnya.
Ia mengatakan, minimnya narasi dalam suatu berita kekerasan membuat penonton dibiarkan terpukau oleh adegan kekerasan.
"Mungkin kekerasan begitu digemari, sehingga komposisi tayangan kekerasan dalam berita televisi swasta nasional selama tahun 2009 mencapai 62 persen," ungkapnya.
Ia menambahkan, "sindrom hot scene" terkadang sudah menjadi ideologi pemberitaan.
"Hal ini bisa terlihat saat sejumlah reporter yang meliput aksi unjuk rasa merasa tidak seru jika dalam aksi tersebut tidak terdapat adegan kekerasan," tandasnya.
Menurutnya, menjadikan tayangan kekerasan sebagai alat pendongkrak rating akan membawa dampak buruk bagi publik.
Untuk itu, kata dia, perlu perubahan perspektif liputan, dari jurnalisme konflik menjadi jurnalisme yang mampu mentrasformasikan konflik ke arah perdamaian. (T.pso-103/S016)Â
Demikian diungkapkan oleh Ketua AJI Indonesia, Nezar Patria, saat mengiisi diskusi bertema "Bicara Tentang Akar Demokrasi di Indonesia", di kampus Universitas Hasanuddin Makassar, Selasa.
Menurutnya, tayangan kekerasan merupakan bentuk eksploitasi karena kurang menerapkan prinsip 5W + 1H dalam sebuah berita.
Kurangnya penggunaan prinsip 5W + 1H adalah kurangnya eksplanasi kepada pemirsa, yang akhirnya membuat konteks latar belakang terjadinya sebuah kerusuhan menjadi hilang.
"Dari hal ini, dapat dikatakan bahwa kekerasan telah menjadi komoditas bagi media untuk menghadirkan tayangan dramatis yang mampu menyedot penonton," jelasnya.
Ia mengatakan, minimnya narasi dalam suatu berita kekerasan membuat penonton dibiarkan terpukau oleh adegan kekerasan.
"Mungkin kekerasan begitu digemari, sehingga komposisi tayangan kekerasan dalam berita televisi swasta nasional selama tahun 2009 mencapai 62 persen," ungkapnya.
Ia menambahkan, "sindrom hot scene" terkadang sudah menjadi ideologi pemberitaan.
"Hal ini bisa terlihat saat sejumlah reporter yang meliput aksi unjuk rasa merasa tidak seru jika dalam aksi tersebut tidak terdapat adegan kekerasan," tandasnya.
Menurutnya, menjadikan tayangan kekerasan sebagai alat pendongkrak rating akan membawa dampak buruk bagi publik.
Untuk itu, kata dia, perlu perubahan perspektif liputan, dari jurnalisme konflik menjadi jurnalisme yang mampu mentrasformasikan konflik ke arah perdamaian. (T.pso-103/S016)Â