Makassar (ANTARA) - Melihat usianya saat ini, wanita perkasa kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 28 Februari 1971 itu memang tidak lagi digolongkan dalam kelompok usia muda.
Dibalik usianya yang sudah mendekati kepala 5 itu, ternyata tidak menyurutkan keinginan dan komitmennya untuk berbuat sesuatu bagi sesama. Hal itu pun yang membuatnya bergabung menjadi relawan.
Wanita berkacamata itu mengaku sudah menjadi relawan sejak lama. Ia juga memiliki segudang pengalaman menjadi relawan termasuk yang tengah dijalaninya saat ini dengan sepenuh hati sebagai Koordinator Relawan Pendamping Wisata COVID-19 Sulsel.
Namun dari sekian banyak pengalaman sebagai relawan pendamping, Alita mengaku jika menjadi relawan COVID-19 memberikan nuansa dan tantangan yang berbeda dan tidak berlebihan jika menyebutkan lebih sulit.
Bergabung dalam tim relawan Wisata COVID-19 yang merupakan program percepatan penanganan virus corona baru dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan pada 20 April lalu, Alita mengakui mendapatkan sejuta pengalaman yang serba baru.
"Saya sudah banyak menjadi pendamping di berbagai bidang sebelumnya, namun untuk kali ini (relawan COVID-19) memang memberikan sesuatu yang baru," katanya.
Ia menceritakan bagaimana dirinya dituntut dan diberi kewajiban menenangkan peserta wisata COVID-19 yang datang, meyakinkan mereka bahwa apa yang mereka bayangkan terhadap penyakit yang bersarang di tubuhnya, tetap bisa disembuhkan.
Ibu tiga anak ini juga membeberkan sisi positifnya selama mendampingi peserta wisata COVID-19 Sulsel, seperti dirinya lebih banyak mengenal orang, banyak memahami karakter orang yang unik dan berbeda dengan kebanyakan seperti saat menjadi pendamping di sektor yang lain.
"Jadi kita dituntut berinteraksi dengan tepat karena peserta wisata COVID-19 (berstatus ODP dan OTG) orang sehat (secara fisik)," katanya.
Begitupun tantangan yang relawan hadapi yakni bagaimana pentingnya menjaga jarak, lebih perhatian dari segi kesehatan pendamping ataupun yang didampinginya
Termasuk juga karena masih sedikitnya pengetahuan kita terhadap COVID-19, termasuk ketakutan para relawan pendamping bisa ikut terpapar atau tertular.
"Lebih menantang karena kita berhadapan dengan sesuatu hal yang baru, yang tidak semua orang bisa menerima itu," ujarnya.
Galau
Para relawan pendamping termasuk dirinya juga kadang ada memiliki kewajiban untuk meninggalkan hotel atau lokasi karantina karena urusan keluarga atau pekerjaan.
Dan di sinilah, kata dia, dimana dirinya merasa sulit dan galau dengan kondisi yang dihadapi. Sebab di sisi yang satu,ada rasa rindu yang begitu mendalam untuk berkumpul bersama keluarga ataupun menunaikan tugas-tugas di kantor, namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahkan ketakutan bisa menjadi carrier dan membawa virus berbahaya itu ke keluarga atau orang terdekat.
"Ada jadwal rapid test setiap 10 hari dan sweb test setelah 3 kali rapid test bagi kami. Setelah hasilnya dinyatakan negatif, baru diijinkan tinggalkan hotel (lokasi karantina wisata COVID-19)," ujarnya.
Dan setelah memutuskan untuk pulang ke rumah, ia juga mengaku tidak berlama-lama bersama keluarga. Dihadapkan kekhawatiran tadi, juga karena adanya rasa tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral. Apalagi ini juga merupakan bentuk sikap profesional dan komitmen menjadi relawan seperti yang dipilihnya sejauh ini.
"Biasanya kita pulang setelah tes. Kami juga tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat saat berada di luar lokasi karantina," sebut wanita yang juga menjabat Koordinator Program Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel itu.
Tetapi jika kondisi tidak memungkinkan untuk pulang atau meninggalkan lokasi karantina, ia mengaku terpaksa memilih melakukan video call dengan orang-orang tersayang.
"Jadi kami mendapatkan pengalaman banyak. Kami anggap semua orang bagian dari kita karena sama-sama terkurung, hanya bedanya kami melayani mereka," ujarnya.