Makassar (ANTARA) - Kakanwil Kemenkumham Sulsel Harun Sulianto mengikuti webinar Pemanfaatan pemilik manfaat korporasi atau Beneficial Ownership (BO) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Kamis (16/9).  

Webinar nasional yang bertemakan “Pelaporan Beneficial Ownership - Bangun Iklim Usaha Yang Transparan” tersebut merupakan bagian dari Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Korupsi (PK).

Menteri PPN/Bappenas H. Suharso Monoarfa mengatakan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi menjadi komitmen global agar tercipta iklim usaha yang transparan dan aman serta kondusif.

"Transparansi terhadap BO ini sangat penting untuk mengetahui data yang pasti agar dapat meminimalisir adanya korporasi yang melakukan tindak korupsi, pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme," kata Suharso dalam rilis yang disampaikan Kemenkumham Sulsel dan diterima ANTARA di Makassar.

Menurut Suharso, penerapan transparansi tentu akan mendukung upaya penegakan hukum dan meningkatkan investasi secara global.

Hal itu sangat penting dan akan berpengaruh secara global. Apabila transparasi ini di Indonesia semakin baik, maka akan berpengaruh terhadap Indeks Persepsi Korupsi .
Pada 2020, penerapan kebijakan transparasi BO meningkat menjadi 33 negara dari 16 negara pada tahun 2018. “Indonesia termasuk diantara 33 negara tersebut," ujarnya.

Diharapkan kebijakan yang menjadi prioritas nasional dan menjadi aksi pada stranas melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).

Sedangkan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham Cahyo R. Muhzar mengatakatan saat ini Indonesia sudah berstatus sebagai observer dan tinggal selangkah lagi untuk menjadi anggota FATF (Finacial Action Task Force).

Untuk dapat menjadi anggota, Indonesia harus mendapatkan penilaian Largely Compliant (LC) pada setidaknya 33 rekomendasi dari total 40 rekomendasi yang ada. Salah satunya rekomendasi yang belum mendapatkan penilaian LC adalah Rekomendasi 24, terkait Transparency and Beneficial Ownership (BO) of Legal Persons.

“Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme,” kata Cahyo.

Menurut Cahyo, pada pelaporan BO melalui sistem AHU Online, dari 2.196.030 korporasi baru 469.247 korporasi yang telah mengisi data BO. “korporasi yang sudah mengisi data BO  sebanyak 21,44% Per 1 september 2021,” kata Cahyo.

Untuk itu dalam meningkatkan pelaporan BO sesuai dengan  Perpres No. 13 Tahun 2018, Kemenkumham telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan lima kementerian yang memiliki data BO, di antarannya Kementerian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah, Kementerian Keuangan, Kementerian Agraria Dan Tata Ruang, Kementerian Pertanian, Dan Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral.

Kegiatan ini juga menghadirkan tiga narasumber lainnya yakni Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas Ir. Slamet Soedarson, Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Achmad Idrus, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Arsjad Rasjid dan Akademisi dan peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Yanuar Nugroho.

Harun Sulianto mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan diseminasi tentang BO kepada para notaris dan korporasi di Sulsel. (*/Inf)

Pewarta : Arga
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024