Makassar (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong Polri melakukan proses penyidikan ulang kasus dugaan rudapaksa tiga anak diduga dilakukan ayahnya, SA, atas laporan ibu anak korban, SR.
Kasus itu dihentikan penyelidik Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 10 Desember 2019.
"Kami sampaikan beberapa hasil telaah catatan kami terhadap proses penyelidikan dan kami harap memang setelah kasus ini dibuka kembali dapat membuat terang untuk membuktikan apakah laporan ibu korban benar atau tidak," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi saat berada di Kantor Polda Sulsel, Makassar, Selasa.
Pihaknya menyarankan kepada Polri agar proses hukum terkait penghentian penyelidikan atas kasus ini diproses ulang untuk mengetahui fakta sebenarnya, termasuk upaya visum ulang kepada para anak korban.
"Proses ini harus dilakukan ulang lagi, seperti visum et repertum, visum et repertum psychiatricum, dan ditambah psikologi forensik. Kami juga ingatkan dan usulkan agar disepakatkan kepada pelapor untuk bisa pilih dokter ahli siapa yang dipercaya," ujarnya menyarankan.
Selain itu, untuk proses visum mestinya difasilitasi kepolisian dan LPSK juga siap memfasilitasi pihak korban. Hasil visum tersebut termasuk psikologi forensik terhadap tiga anak korban nantinya bisa dianggap final karena dilaksanakan secara profesional.
Edwin mengungkap, kasus ini bukan kasus baru ditangani, sebab sejak Januari 2020 sudah masuk memberikan perlindungan, baik kepada ibu korban maupun tiga anak korban setelah kasus ini dilaporkan ke LPSK.
"Kami melakukan pemenuhan hak prosedural, jadi pendampingan terhadap proses hukum. Kami juga sudah baca advokasi kasus ini tahun 2020. Namun tidak bergerak baik, termasuk memberi terapis psikologi terhadap tiga anak korban," kata kepada wartawan.
Ditanyakan soal pelaporan balik SA terhadap mantan istrinya SR atas dugaan pencemaran nama baik, Edwin menjelaskan, dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 10 disebutkan saksi, korban, ahli, pelapor, saksi pelaku tidak dapat digugat baik pidana maupun perdata atas kesaksiannya sepanjang itu beriktikat baik.
"Sebaiknya patuhi undang-undang. polisi, penyidik mesti mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, poinnya di Pasal 10 itu, pelapor saksi korban tidak dapat digugat pidana maupun perdata," katanya menjelaskan.
Sebelumnya, Mabes Polri telah menurunkan tim ke Luwu Timur untuk mencari fakta-fakta sekaitan dengan kasus ini yang kembali viral dan menyita perhatian publik pada awal Oktober 2021, setelah dihentikan Polres Luwu Timur Desember 2019.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menyatakan, hasil tim asistensi dari tim Luwu Timur, penyidik telah membuat laporan polisi model A tertanggal 12 Oktober 2021, perihal dugaan pencabulan anak di bawah umur.
Tim telah melaksanakan penyelidikan dengan mengambil keterangan dalam bentuk BAP kepada dokter IM, dokter yang memeriksa ketiga anak korban di Rumah Sakit Vale Sorowako. Hasil pemeriksaan itu akan didalami penyidik dari tempus atau waktu 25 Oktober-31 Oktober 2019.
Kasus itu dihentikan penyelidik Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 10 Desember 2019.
"Kami sampaikan beberapa hasil telaah catatan kami terhadap proses penyelidikan dan kami harap memang setelah kasus ini dibuka kembali dapat membuat terang untuk membuktikan apakah laporan ibu korban benar atau tidak," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi saat berada di Kantor Polda Sulsel, Makassar, Selasa.
Pihaknya menyarankan kepada Polri agar proses hukum terkait penghentian penyelidikan atas kasus ini diproses ulang untuk mengetahui fakta sebenarnya, termasuk upaya visum ulang kepada para anak korban.
"Proses ini harus dilakukan ulang lagi, seperti visum et repertum, visum et repertum psychiatricum, dan ditambah psikologi forensik. Kami juga ingatkan dan usulkan agar disepakatkan kepada pelapor untuk bisa pilih dokter ahli siapa yang dipercaya," ujarnya menyarankan.
Selain itu, untuk proses visum mestinya difasilitasi kepolisian dan LPSK juga siap memfasilitasi pihak korban. Hasil visum tersebut termasuk psikologi forensik terhadap tiga anak korban nantinya bisa dianggap final karena dilaksanakan secara profesional.
Edwin mengungkap, kasus ini bukan kasus baru ditangani, sebab sejak Januari 2020 sudah masuk memberikan perlindungan, baik kepada ibu korban maupun tiga anak korban setelah kasus ini dilaporkan ke LPSK.
"Kami melakukan pemenuhan hak prosedural, jadi pendampingan terhadap proses hukum. Kami juga sudah baca advokasi kasus ini tahun 2020. Namun tidak bergerak baik, termasuk memberi terapis psikologi terhadap tiga anak korban," kata kepada wartawan.
Ditanyakan soal pelaporan balik SA terhadap mantan istrinya SR atas dugaan pencemaran nama baik, Edwin menjelaskan, dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 10 disebutkan saksi, korban, ahli, pelapor, saksi pelaku tidak dapat digugat baik pidana maupun perdata atas kesaksiannya sepanjang itu beriktikat baik.
"Sebaiknya patuhi undang-undang. polisi, penyidik mesti mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, poinnya di Pasal 10 itu, pelapor saksi korban tidak dapat digugat pidana maupun perdata," katanya menjelaskan.
Sebelumnya, Mabes Polri telah menurunkan tim ke Luwu Timur untuk mencari fakta-fakta sekaitan dengan kasus ini yang kembali viral dan menyita perhatian publik pada awal Oktober 2021, setelah dihentikan Polres Luwu Timur Desember 2019.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menyatakan, hasil tim asistensi dari tim Luwu Timur, penyidik telah membuat laporan polisi model A tertanggal 12 Oktober 2021, perihal dugaan pencabulan anak di bawah umur.
Tim telah melaksanakan penyelidikan dengan mengambil keterangan dalam bentuk BAP kepada dokter IM, dokter yang memeriksa ketiga anak korban di Rumah Sakit Vale Sorowako. Hasil pemeriksaan itu akan didalami penyidik dari tempus atau waktu 25 Oktober-31 Oktober 2019.