Jakarta (ANTARA) - Diberlakukannya UU Nomor 5/2018 tentang Tindak Pidana Terorisme dapat dikatakan sebagai titik di mana pemberantasan terorisme di Indonesia dapat dilakukan secara pre-emptive.
Perlu adanya apresiasi kepada Polri melalui Densus 88 sebagai aktor utama yang memainkan peranannya dengan sangat baik didukung dengan program deradikalisasi milik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta gugus kontraterorisme dan penggalangan di daerah yang juga telah dilaksanakan oleh satuan kepolisian daerah, Badan Intelijen Negara (BIN), maupun TNI melalui Badan Intelijen Strategis TNI serta satuan teritorial di daerah.
Pada perkembangan modern saat ini, ancaman terorisme dapat muncul di mana saja dan bukan hanya daerah-daerah yang lazim menjadi basis kelompok teroris. Contoh dari hal ini yaitu pada 2020 di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, yang secara umum bukanlah basis kelompok terorisme di Indonesia namun ditemukan sel di sana.
Permasalahan terorisme bukan hanya merupakan permasalahan pemerintah pusat, namun pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab serupa karena lebih memahami wilayah teritorialnya. Seperti di Sulawesi yang memiliki sejarah panjang terkait Kahar Muzakar dan menjadi basis dari Anshor Daulah Islamiyah maupun Mujahidin Indonesia Timur.
Saat ini di Indonesia terdapat 2 organisasi yang berkembang besar dan perlu untuk diwaspadai. Organisasi pertama adalah Jamaah Ansharut Daulah yang merupakan koalisi nasional terbesar pro ISIS. Selanjutnya kedua terdapat Jamaah Islamiyah yang berafiliasi kepada Al-Qaeda.
Meski berbeda, kedua kelompok itu memiliki visi yang sama, yakni membangun negara khilafah. Namun pada kedua kelompok ini memiliki cara yang unik pada periode saat ini. Pada JI yang dulu apolitik sekarang sudah masuk kepada ranah politik.
Pada poin ini perlu sangat diwaspadai karena pergerakan mereka sekarang pada tahap persiapan menunggu momen yang tepat terutama bila merujuk kepada situasi di Afghanistan di mana Taliban dapat menguasai pemerintahan sehingga dikhawatirkan dijadikan semangat baru milisi JI.
JI mungkin terlihat sebagai kelompok yang vakum karena pergerakannya tidak semasif afiliasi JAD yang beberapa kali melakukan teror pengeboman. Namun sebenarnya mereka seakan memanfaatkan JAD yang mengikuti pergerakan ISIS Pusat.
Hal ini pada akhirnya membuat seolah seperti gunung es di mana JI yang sebenarnya lebih besar tidak terlihat karena JAD yang akan muncul di permukaan. JAD pada dasarnya akan mengikuti ISIS central, hal inilah yang dimanfaatkan JI untuk bermain di belakangnya. Perkembangan kelompok teror JI sendiri berkembang yang dulunya terbagi atas beberapa mantiqi, saat ini berubah menjadi khodimah.
Selain berfokus kepada JAD yang sering terlihat di permukaan, pemerintah perlu mengantisipasi kelompok JI yang saat ini telah bermain pada tataran politik dengan memainkan orang-orang intelektual. Pergerakan ini akan lebih membahayakan daripada kelompok yang bermain pada ruang lingkup pemberian rasa takut semata, seperti pengeboman yang pada kasusnya dapat terlihat dan lebih mudah dilakukan tindakan karena adanya barang bukti.
JI saat ini muncul di masyarakat tidak menggunakan label JI-nya secara terang-terangan seperti sediakala. Hal ini dikuatkan dengan fakta penangkapan seorang ketua umum partai politik dari Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) dan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan anggota JI. Penangkapan ini dapat menjadi bukti nyata bahwa JI telah memainkan pergerakan pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu pada tataran politis.
JI yang sekarang telah bertransformasi menjadi neo JI karena telah masuk kepada cara-cara politik. Hal ini berbeda dengan pedoman mereka yang dahulu bernama Pupji serta di mana pada saat itu masih pada zaman Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Karena banyaknya penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88, membuat mereka memakai Tas Tos di bawah kepemimpinan Parawijayanto. Saat ini, pergerakan kelompok radikal di Indonesia menggunakan cara-cara yang lebih modern, seperti contoh saat HTI dibubarkan muncul beberapa organisasi baru yang menyasar kaum milineal.
Terkait dengan pendanaan yang dilakukan oleh kelompok terorisme ini juga perlu diperhatikan dengan saksama sebagai langkah memutus rantai kerja mereka. Bila merujuk kepada pengungkapan beberapa lembaga seperti contohnya Syam Organizer, Abu Ahmed Foundation (AAF), hingga Gashibu hanya berupa kelompok hilir penyuplai aliran dana.
Perlu adanya deteksi terhadap yayasan-yayasan hulu yang lebih besar. Bahkan seperti diketahui bila kotak amal yang ada di toko-toko pada pusat pembelanjaan juga telah menjadi sasaran oleh kelompok terorisme. Lebih lanjut pendanaan menggunakan cryptocurrency yang saat ini menjadi tren di masyarakat perlu diwaspadai karena akan lebih susah untuk terdeteksi oleh pemerintah.
Selanjutnya, jaringan internet saat ini juga menjadi momok tersendiri sebagai upaya deradikalisasi di masyarakat Indonesia. Bahkan media sosial saat ini yang kurang berperan baik juga telah membantu penyebaran faham radikal.
Kekhawatiran kepada masyarakat yang gemar mengonsumsi media propaganda seperti yang banyak bertebaran di media sosial di mana mereka melihat teror hanya sebagai alat konspirasi pemerintah menjadi hal yang juga perlu diperhatikan. Tujuan kelompok pembuat teori teori propaganda tersebut tentu saja untuk memecah-belah masyarakat yang awam dan mudah percaya tanpa membandingkan fakta-fakta yang ada di lapangan.
Meskipun telah berkurang, namun pemerintah tetap harus melakukan cegah dan antisipasi dini terhadap perekrutan, pendoktrinan hingga idad (pelatihan) dengan berbagai cara di daerah. Generasi muda milineal menjadi fokus target utama sasaran perekrutan yang dilakukan oleh kelompok teroris modern saat ini, bahkan mereka telah mencoba masuk ke dunia pendidikan guna memberikan doktrin radikal kepada murid di sekolahnya.
Permasalahan penyebaran paham radikal semacam ini memerlukan kerja sama yang baik di seluruh elemen masyarakat dari lingkup pusat hingga wilayah Rukun Tetangga (RT) sekalipun. Terutama dalam hal ini ketua RT yang lebih menguasai teritorial diharapkan setidaknya dapat melakukan cegah dini dengan membuat laporan sehingga aparat penegak hukum dapat membuat tindakan yang rasional.
*) Syarifurohmat Pratama Santoso adalah anggota TNI AL
Perlu adanya apresiasi kepada Polri melalui Densus 88 sebagai aktor utama yang memainkan peranannya dengan sangat baik didukung dengan program deradikalisasi milik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta gugus kontraterorisme dan penggalangan di daerah yang juga telah dilaksanakan oleh satuan kepolisian daerah, Badan Intelijen Negara (BIN), maupun TNI melalui Badan Intelijen Strategis TNI serta satuan teritorial di daerah.
Pada perkembangan modern saat ini, ancaman terorisme dapat muncul di mana saja dan bukan hanya daerah-daerah yang lazim menjadi basis kelompok teroris. Contoh dari hal ini yaitu pada 2020 di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, yang secara umum bukanlah basis kelompok terorisme di Indonesia namun ditemukan sel di sana.
Permasalahan terorisme bukan hanya merupakan permasalahan pemerintah pusat, namun pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab serupa karena lebih memahami wilayah teritorialnya. Seperti di Sulawesi yang memiliki sejarah panjang terkait Kahar Muzakar dan menjadi basis dari Anshor Daulah Islamiyah maupun Mujahidin Indonesia Timur.
Saat ini di Indonesia terdapat 2 organisasi yang berkembang besar dan perlu untuk diwaspadai. Organisasi pertama adalah Jamaah Ansharut Daulah yang merupakan koalisi nasional terbesar pro ISIS. Selanjutnya kedua terdapat Jamaah Islamiyah yang berafiliasi kepada Al-Qaeda.
Meski berbeda, kedua kelompok itu memiliki visi yang sama, yakni membangun negara khilafah. Namun pada kedua kelompok ini memiliki cara yang unik pada periode saat ini. Pada JI yang dulu apolitik sekarang sudah masuk kepada ranah politik.
Pada poin ini perlu sangat diwaspadai karena pergerakan mereka sekarang pada tahap persiapan menunggu momen yang tepat terutama bila merujuk kepada situasi di Afghanistan di mana Taliban dapat menguasai pemerintahan sehingga dikhawatirkan dijadikan semangat baru milisi JI.
JI mungkin terlihat sebagai kelompok yang vakum karena pergerakannya tidak semasif afiliasi JAD yang beberapa kali melakukan teror pengeboman. Namun sebenarnya mereka seakan memanfaatkan JAD yang mengikuti pergerakan ISIS Pusat.
Hal ini pada akhirnya membuat seolah seperti gunung es di mana JI yang sebenarnya lebih besar tidak terlihat karena JAD yang akan muncul di permukaan. JAD pada dasarnya akan mengikuti ISIS central, hal inilah yang dimanfaatkan JI untuk bermain di belakangnya. Perkembangan kelompok teror JI sendiri berkembang yang dulunya terbagi atas beberapa mantiqi, saat ini berubah menjadi khodimah.
Selain berfokus kepada JAD yang sering terlihat di permukaan, pemerintah perlu mengantisipasi kelompok JI yang saat ini telah bermain pada tataran politik dengan memainkan orang-orang intelektual. Pergerakan ini akan lebih membahayakan daripada kelompok yang bermain pada ruang lingkup pemberian rasa takut semata, seperti pengeboman yang pada kasusnya dapat terlihat dan lebih mudah dilakukan tindakan karena adanya barang bukti.
JI saat ini muncul di masyarakat tidak menggunakan label JI-nya secara terang-terangan seperti sediakala. Hal ini dikuatkan dengan fakta penangkapan seorang ketua umum partai politik dari Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) dan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan anggota JI. Penangkapan ini dapat menjadi bukti nyata bahwa JI telah memainkan pergerakan pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu pada tataran politis.
JI yang sekarang telah bertransformasi menjadi neo JI karena telah masuk kepada cara-cara politik. Hal ini berbeda dengan pedoman mereka yang dahulu bernama Pupji serta di mana pada saat itu masih pada zaman Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Karena banyaknya penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88, membuat mereka memakai Tas Tos di bawah kepemimpinan Parawijayanto. Saat ini, pergerakan kelompok radikal di Indonesia menggunakan cara-cara yang lebih modern, seperti contoh saat HTI dibubarkan muncul beberapa organisasi baru yang menyasar kaum milineal.
Terkait dengan pendanaan yang dilakukan oleh kelompok terorisme ini juga perlu diperhatikan dengan saksama sebagai langkah memutus rantai kerja mereka. Bila merujuk kepada pengungkapan beberapa lembaga seperti contohnya Syam Organizer, Abu Ahmed Foundation (AAF), hingga Gashibu hanya berupa kelompok hilir penyuplai aliran dana.
Perlu adanya deteksi terhadap yayasan-yayasan hulu yang lebih besar. Bahkan seperti diketahui bila kotak amal yang ada di toko-toko pada pusat pembelanjaan juga telah menjadi sasaran oleh kelompok terorisme. Lebih lanjut pendanaan menggunakan cryptocurrency yang saat ini menjadi tren di masyarakat perlu diwaspadai karena akan lebih susah untuk terdeteksi oleh pemerintah.
Selanjutnya, jaringan internet saat ini juga menjadi momok tersendiri sebagai upaya deradikalisasi di masyarakat Indonesia. Bahkan media sosial saat ini yang kurang berperan baik juga telah membantu penyebaran faham radikal.
Kekhawatiran kepada masyarakat yang gemar mengonsumsi media propaganda seperti yang banyak bertebaran di media sosial di mana mereka melihat teror hanya sebagai alat konspirasi pemerintah menjadi hal yang juga perlu diperhatikan. Tujuan kelompok pembuat teori teori propaganda tersebut tentu saja untuk memecah-belah masyarakat yang awam dan mudah percaya tanpa membandingkan fakta-fakta yang ada di lapangan.
Meskipun telah berkurang, namun pemerintah tetap harus melakukan cegah dan antisipasi dini terhadap perekrutan, pendoktrinan hingga idad (pelatihan) dengan berbagai cara di daerah. Generasi muda milineal menjadi fokus target utama sasaran perekrutan yang dilakukan oleh kelompok teroris modern saat ini, bahkan mereka telah mencoba masuk ke dunia pendidikan guna memberikan doktrin radikal kepada murid di sekolahnya.
Permasalahan penyebaran paham radikal semacam ini memerlukan kerja sama yang baik di seluruh elemen masyarakat dari lingkup pusat hingga wilayah Rukun Tetangga (RT) sekalipun. Terutama dalam hal ini ketua RT yang lebih menguasai teritorial diharapkan setidaknya dapat melakukan cegah dini dengan membuat laporan sehingga aparat penegak hukum dapat membuat tindakan yang rasional.
*) Syarifurohmat Pratama Santoso adalah anggota TNI AL