Jakarta (ANTARA) - Praktisi hukum Arif Edison bersama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie meluncurkan Yayasan Indonesia International Arbitration Center (INIAC) untuk memberikan kepastian hukum bagi para pengusaha.
"Organisasi ini dibentuk akibat dari dualisme Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Adanya dualisme tersebut memicu munculnya kerugian besar untuk investor dan pengusaha," kata Ketua INIAC Arif Edison dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.
Seperti halnya yang dialami oleh Maybank saat bersengketa dengan PT Reliance Tbk. Kasus ini bergulir sejak 2017 dan belum tuntas.
Singkat cerita, kata dia, kasus ini yang awalnya memiliki nilai kerugian sekitar Rp350 miliar, melonjak drastis menjadi Rp2 triliun setelah lahirnya putusan kembar sebagaimana dikutip dari buku Twin Arbitration karya Arif Edison sendiri.
Arif mengatakan bahwa INIAC telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Ia menjelaskan bahwa yayasan ini akan membantu penanganan perkara dengan durasi kurang lebih hanya 3 sampai 6 bulan untuk penyelesaian perkara, 2 kali lipat lebih cepat dari arbitrase Singapura, yakni SIAC, dengan putusan arbitrase yang dapat dieksekusi hampir di seluruh dunia.
Selain itu, INIAC juga tidak membolehkan ketuanya menjadi (majelis) arbiter/hakim yang memeriksa kasus.
"Ketua BANI bahkan sering menjadi arbiter yang menangani kasus, sedangkan di INIAC ketuanya tidak boleh campur tangan dan tidak bisa bersinggungan dengan kasusnya. Karena kepengurusan hanyalah untuk melayani organisasi secara profesional," ucap Arif.
INIAC juga menerapkan sistem peradilan daring yang menjauhkan dari praktik korupsi. Masalahnya, para arbiter yang tersebar di banyak negara dengan sendirinya akan mempersulit perjumpaan fisik antara arbiter dan pihak yang bersengketa.
"Yang paling penting adalah bisa mempromosikan kepastian hukum di Indonesia ke dunia asing sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor maupun pengusaha asing untuk masuk dan berbisnis di Indonesia," kata Arif.
"Organisasi ini dibentuk akibat dari dualisme Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Adanya dualisme tersebut memicu munculnya kerugian besar untuk investor dan pengusaha," kata Ketua INIAC Arif Edison dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.
Seperti halnya yang dialami oleh Maybank saat bersengketa dengan PT Reliance Tbk. Kasus ini bergulir sejak 2017 dan belum tuntas.
Singkat cerita, kata dia, kasus ini yang awalnya memiliki nilai kerugian sekitar Rp350 miliar, melonjak drastis menjadi Rp2 triliun setelah lahirnya putusan kembar sebagaimana dikutip dari buku Twin Arbitration karya Arif Edison sendiri.
Arif mengatakan bahwa INIAC telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Ia menjelaskan bahwa yayasan ini akan membantu penanganan perkara dengan durasi kurang lebih hanya 3 sampai 6 bulan untuk penyelesaian perkara, 2 kali lipat lebih cepat dari arbitrase Singapura, yakni SIAC, dengan putusan arbitrase yang dapat dieksekusi hampir di seluruh dunia.
Selain itu, INIAC juga tidak membolehkan ketuanya menjadi (majelis) arbiter/hakim yang memeriksa kasus.
"Ketua BANI bahkan sering menjadi arbiter yang menangani kasus, sedangkan di INIAC ketuanya tidak boleh campur tangan dan tidak bisa bersinggungan dengan kasusnya. Karena kepengurusan hanyalah untuk melayani organisasi secara profesional," ucap Arif.
INIAC juga menerapkan sistem peradilan daring yang menjauhkan dari praktik korupsi. Masalahnya, para arbiter yang tersebar di banyak negara dengan sendirinya akan mempersulit perjumpaan fisik antara arbiter dan pihak yang bersengketa.
"Yang paling penting adalah bisa mempromosikan kepastian hukum di Indonesia ke dunia asing sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor maupun pengusaha asing untuk masuk dan berbisnis di Indonesia," kata Arif.