Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dalam Berlin Energy Transition Dialogue 2022 mengatakan hal pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk menarik investasi dari sektor swasta untuk transisi energi hijau adalah menunjukkan komitmen melalui pendanaan publik.
"Bagi Indonesia, ini termasuk pengurangan subsidi untuk bahan bakar minyak yang sudah kita lakukan dalam lima tahun terakhir. Penurunan subsidi ini cukup menantang mengingat harga minyak dunia saat ini sedang bergejolak," ucap Wamenkeu Suahasil Nazara dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Komitmen Indonesia untuk memitigasi dampak perubahan iklim yang berbahaya bagi lingkungan terus digaungkan, termasuk melalui pengembangan energi berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi hingga 29 persen dengan upaya sendiri atau hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030, sehingga berbagai kebijakan dilakukan untuk memastikan agar target ini dapat direalisasikan.
Selain pendanaan baik melalui APBN maupun mobilisasi dana sektor swasta, Suahasil menjelaskan hal lain yang dilakukan Indonesia adalah melakukan penandaan anggaran iklim dalam APBN, yang menjadi komitmen semua kementerian untuk menunjukkan anggaran mitigasi perubahan iklim masing-masing.
"Saat ini baru 34 persen kebutuhan mitigasi perubahan iklim yang dipenuhi dengan APBN, sehingga kami mendorong partisipasi sektor swasta melalui sisi belanja maupun sisi pendanaan. Dari sisi pendanaan, kami melakukan penerbitan sukuk hijau yang konsisten secara reguler dalam lima tahun terakhir”, lanjutnya.
Indonesia juga telah menerbitkan taksonomi hijau yang akan digunakan pemerintah untuk memisahkan sektor dan subsektor usaha yang ramah lingkungan, kurang ramah lingkungan, dan tidak ramah lingkungan yang bertujuan untuk mendorong inovasi penciptaan produk, proyek, serta inisiatif hijau sesuai dengan standar pemerintah.
Menurut dia, pajak dan taksonomi hijau merupakan instrumen penting dalam mitigasi perubahan iklim, sehingga menjadi hal penting bagi Indonesia untuk menyediakan platform yang tidak hanya menjadi katalis dana publik, tapi juga katalis partisipasi sektor swasta.
Indonesia bersama Bank pembangunan Asia (ADB) telah meluncurkan Mekanisme Transisi Energi sebagai platform yang menggabungkan fasilitas penurunan karbon dan energi terbarukan.
“Mekanisme ini merupakan instrumen penting untuk mencapai gol penurunan emisi, terutama untuk Indonesia yang sekitar 70 persen listriknya berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara,” kata Wamankeu Suahasil.
Dalam mitigasi perubahan iklim Indonesia, sambung dia, kearifan lokal juga berperan vital terutama karena bentuk geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan. Infrastruktur daerah dan bagaimana masyarakat daerah mengelola sampah merupakan potongan-potongan upaya kecil yang ketika disatukan dapat memberikan kontribusi besar.
Ke depan Indonesia berkomitmen untuk terus mengupayakan implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pendanaan hijau, dengan APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal yang akan digunakan untuk terus mendorong transisi energi yang adil dan terjangkau.
"Bagi Indonesia, ini termasuk pengurangan subsidi untuk bahan bakar minyak yang sudah kita lakukan dalam lima tahun terakhir. Penurunan subsidi ini cukup menantang mengingat harga minyak dunia saat ini sedang bergejolak," ucap Wamenkeu Suahasil Nazara dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Komitmen Indonesia untuk memitigasi dampak perubahan iklim yang berbahaya bagi lingkungan terus digaungkan, termasuk melalui pengembangan energi berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi hingga 29 persen dengan upaya sendiri atau hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030, sehingga berbagai kebijakan dilakukan untuk memastikan agar target ini dapat direalisasikan.
Selain pendanaan baik melalui APBN maupun mobilisasi dana sektor swasta, Suahasil menjelaskan hal lain yang dilakukan Indonesia adalah melakukan penandaan anggaran iklim dalam APBN, yang menjadi komitmen semua kementerian untuk menunjukkan anggaran mitigasi perubahan iklim masing-masing.
"Saat ini baru 34 persen kebutuhan mitigasi perubahan iklim yang dipenuhi dengan APBN, sehingga kami mendorong partisipasi sektor swasta melalui sisi belanja maupun sisi pendanaan. Dari sisi pendanaan, kami melakukan penerbitan sukuk hijau yang konsisten secara reguler dalam lima tahun terakhir”, lanjutnya.
Indonesia juga telah menerbitkan taksonomi hijau yang akan digunakan pemerintah untuk memisahkan sektor dan subsektor usaha yang ramah lingkungan, kurang ramah lingkungan, dan tidak ramah lingkungan yang bertujuan untuk mendorong inovasi penciptaan produk, proyek, serta inisiatif hijau sesuai dengan standar pemerintah.
Menurut dia, pajak dan taksonomi hijau merupakan instrumen penting dalam mitigasi perubahan iklim, sehingga menjadi hal penting bagi Indonesia untuk menyediakan platform yang tidak hanya menjadi katalis dana publik, tapi juga katalis partisipasi sektor swasta.
Indonesia bersama Bank pembangunan Asia (ADB) telah meluncurkan Mekanisme Transisi Energi sebagai platform yang menggabungkan fasilitas penurunan karbon dan energi terbarukan.
“Mekanisme ini merupakan instrumen penting untuk mencapai gol penurunan emisi, terutama untuk Indonesia yang sekitar 70 persen listriknya berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara,” kata Wamankeu Suahasil.
Dalam mitigasi perubahan iklim Indonesia, sambung dia, kearifan lokal juga berperan vital terutama karena bentuk geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan. Infrastruktur daerah dan bagaimana masyarakat daerah mengelola sampah merupakan potongan-potongan upaya kecil yang ketika disatukan dapat memberikan kontribusi besar.
Ke depan Indonesia berkomitmen untuk terus mengupayakan implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pendanaan hijau, dengan APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal yang akan digunakan untuk terus mendorong transisi energi yang adil dan terjangkau.