Tarakan, Kalimantan Utara (ANTARA) - Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mengungkapkan rencana pemerintah untuk menyensor konten di platform over-the-top (OTT) dilakukan agar masyarakat tidak terpapar hal-hal di luar etika.
Menurut Usman, saat ditemui di Tarakan, Kalimantan Utara, Minggu, penyensoran dilakukan agar ada keadilan bagi para penonton. Dia mengatakan akan segera mengumpulkan pemangku kepentingan terkait untuk membahas rencana penyensoran konten di OTT, termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Lembaga Sensor Film (LSF), pemain OTT hingga lembaga yang bekerjasama dengan OTT.
“Ini harus didiskusikan betul-betul supaya tidak muncul pertanyaan, mengapa film-film yang tayang di TV Indonesia disensor? Orang merokok saja di-blur (gambar dibuat buram), sementara film di OTT bebas saja. Ini kan tidak fair (adil). Mungkin gara-gara itu orang berpikir daripada nonton di TV kita yang banyak sensor, lebih bagus nonton di sana (OTT). Akhirnya lebih banyak orang terpapar hal-hal yang melanggar etika,” kata Usman.
Menurut Usman, penyensoran di OTT perlu dikaji lebih dalam terkait siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan sensor. Dia menyebut LSF punya kewenangan untuk melakukan sensor.
Di satu sisi, lantaran objek konten tersebut ada di OTT, maka Kemenkominfo yang berwenang untuk melakukan sensor. Di sisi lain, Kementerian Kominfo hanya punya kewenangan take down atau menurunkan konten yang dianggap melanggar atau tidak sesuai.
“Oleh karena itu kita harus diskusikan betul-betul siapa yang bertanggung jawab menyensor film-film yang ada di OTT. Bisa saja ada sistem atau mekanisme self sensorship, misal, tapi, apakah itu efektif? Atau bisa saja disensor oleh yang kerja sama dengan OTT tersebut,” kata Usman.
Usman mencontohkan penyensoran yang dilakukan oleh mitra yang bekerjasama dengan OTT, yaitu film-film yang ditayangkan di layanan TV berbayar. Sebelum tayang, ada proses sensor film yang juga sejalan dengan pemberian sulih teks di film tersebut.
Kementerian Kominfo berencana mengadakan pertemuan dengan pemangku kepentingan dalam waktu dekat untuk membahas sensor konten OTT. Kendati tidak menyebut target kapan pembahasan soal rencana sensor OTT itu rampung, Usman memastikan diskusi akan dilakukan secepatnya.
Hal itu lantaran Indonesia telah memiliki aturan-aturan, termasuk soal pornografi. Dia pun menyebut ada opsi untuk melakukan sensor atau lokalisasi yang berarti menetapkan batasan usia atau jam tayang.
“Itu mekanisme yang harus kita lakukan,” ujar Usman Kansong.
Menurut Usman, saat ditemui di Tarakan, Kalimantan Utara, Minggu, penyensoran dilakukan agar ada keadilan bagi para penonton. Dia mengatakan akan segera mengumpulkan pemangku kepentingan terkait untuk membahas rencana penyensoran konten di OTT, termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Lembaga Sensor Film (LSF), pemain OTT hingga lembaga yang bekerjasama dengan OTT.
“Ini harus didiskusikan betul-betul supaya tidak muncul pertanyaan, mengapa film-film yang tayang di TV Indonesia disensor? Orang merokok saja di-blur (gambar dibuat buram), sementara film di OTT bebas saja. Ini kan tidak fair (adil). Mungkin gara-gara itu orang berpikir daripada nonton di TV kita yang banyak sensor, lebih bagus nonton di sana (OTT). Akhirnya lebih banyak orang terpapar hal-hal yang melanggar etika,” kata Usman.
Menurut Usman, penyensoran di OTT perlu dikaji lebih dalam terkait siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan sensor. Dia menyebut LSF punya kewenangan untuk melakukan sensor.
Di satu sisi, lantaran objek konten tersebut ada di OTT, maka Kemenkominfo yang berwenang untuk melakukan sensor. Di sisi lain, Kementerian Kominfo hanya punya kewenangan take down atau menurunkan konten yang dianggap melanggar atau tidak sesuai.
“Oleh karena itu kita harus diskusikan betul-betul siapa yang bertanggung jawab menyensor film-film yang ada di OTT. Bisa saja ada sistem atau mekanisme self sensorship, misal, tapi, apakah itu efektif? Atau bisa saja disensor oleh yang kerja sama dengan OTT tersebut,” kata Usman.
Usman mencontohkan penyensoran yang dilakukan oleh mitra yang bekerjasama dengan OTT, yaitu film-film yang ditayangkan di layanan TV berbayar. Sebelum tayang, ada proses sensor film yang juga sejalan dengan pemberian sulih teks di film tersebut.
Kementerian Kominfo berencana mengadakan pertemuan dengan pemangku kepentingan dalam waktu dekat untuk membahas sensor konten OTT. Kendati tidak menyebut target kapan pembahasan soal rencana sensor OTT itu rampung, Usman memastikan diskusi akan dilakukan secepatnya.
Hal itu lantaran Indonesia telah memiliki aturan-aturan, termasuk soal pornografi. Dia pun menyebut ada opsi untuk melakukan sensor atau lokalisasi yang berarti menetapkan batasan usia atau jam tayang.
“Itu mekanisme yang harus kita lakukan,” ujar Usman Kansong.