Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan penyelesaian atas ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu dan hasilnya, khususnya soal pemilihan presiden, hendaknya diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, bukan menggunakan hak angket DPR.
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.
Keberadaan hak angket memang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketentuan mengenal hak angket dalam pasal tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum dalam hal pengawasan terhadap hal apa saja yang menjadi obyek pengawasan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang, yakni undang-undang yang mengatur DPR, MPR, dan DPD.
Selain itu, Yusril menjelaskan bahwa Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menjelaskan para perumus amandemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.
"Oleh karena itu, saya berpendapat jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," ujarnya.
Dia menerangkan putusan MK dalam mengadili sengketa pilpres akan menciptakan kepastian hukum, sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian.
"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.
Pemilu 2024 meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota dengan daftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional sebanyak 204.807.222 pemilih.
Pemilu 2024 diikuti 18 partai politik nasional yakni (sesuai dengan nomor urut) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Buruh, dan Partai Gelora Indonesia.
Berikutnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Ummat.
Selain itu, terdapat enam partai politik lokal sebagai peserta yakni Partai Nanggroe Aceh, Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at dan Taqwa, Partai Darul Aceh, Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera Aceh, dan Partai Soliditas Independen Rakyat Aceh.
Sedangkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden diikuti tiga pasangan yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar selaku nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. nomor urut 3.
Seturut Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, rekapitulasi suara nasional Pemilu 2024 dijadwalkan berlangsung mulai 15 Februari s.d. 20 Maret 2024.
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.
Keberadaan hak angket memang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketentuan mengenal hak angket dalam pasal tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum dalam hal pengawasan terhadap hal apa saja yang menjadi obyek pengawasan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang, yakni undang-undang yang mengatur DPR, MPR, dan DPD.
Selain itu, Yusril menjelaskan bahwa Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menjelaskan para perumus amandemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.
"Oleh karena itu, saya berpendapat jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," ujarnya.
Dia menerangkan putusan MK dalam mengadili sengketa pilpres akan menciptakan kepastian hukum, sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian.
"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.
Pemilu 2024 meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota dengan daftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional sebanyak 204.807.222 pemilih.
Pemilu 2024 diikuti 18 partai politik nasional yakni (sesuai dengan nomor urut) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Buruh, dan Partai Gelora Indonesia.
Berikutnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Ummat.
Selain itu, terdapat enam partai politik lokal sebagai peserta yakni Partai Nanggroe Aceh, Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at dan Taqwa, Partai Darul Aceh, Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera Aceh, dan Partai Soliditas Independen Rakyat Aceh.
Sedangkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden diikuti tiga pasangan yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar selaku nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. nomor urut 3.
Seturut Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, rekapitulasi suara nasional Pemilu 2024 dijadwalkan berlangsung mulai 15 Februari s.d. 20 Maret 2024.