Jakarta (ANTARA) - Utang Pemerintah terus menjadi sorotan. Mulai dari warisan utang Presiden petahana ke Presiden mendatang hingga target rasio utang 2025 yang membengkak. Berbagai pihak mempertanyakan kesanggupan Pemerintah dalam mengelola utang.

Presiden Joko Widodo disebut sebagai Kepala Negara RI yang meninggalkan utang terbesar pascareformasi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan per Maret 2024, utang Pemerintah tercatat mencapai Rp8.262,10 triliun. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai utang pada awal periode kepemimpinan Jokowi, yang merupakan warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni sebesar Rp2.608,78 triliun.

Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga meningkat tajam. Rasio utang pada 2014 berada pada level 24,75 persen, kemudian naik menjadi 38,79 persen pada Maret 2024.

Sebagai perbandingan, Megawati Soekarnoputri mewariskan utang senilai Rp1.299 triliun ke pemerintahan SBY, hanya naik sekitar 2 persen dari awal masa kepemimpinannya yang sebesar Rp1.273 triliun. Sementara rasio utang berhasil ditekan dari 77,32 persen pada 2001 menjadi 56,50 persen pada 2004.

Pada rezim berikutnya, yakni pemerintahan SBY, kenaikan utang tercatat sekitar Rp1.310 triliun. Relatif kecil bila menimbang kenaikan itu terjadi dalam kurun waktu 10 tahun (2004 hingga 2014). Rasio utang juga kembali ditekan hingga ke level 24,75 persen.

Ekonom Utama Departemen Riset Ekonomi dan Kerja Sama Regional Bank Pembangunan Asia (ADB) Arief Ramayandi menyebut pada dasarnya tidak ada standar baku soal rasio utang. Bank Dunia memang mengeluarkan standar rasio utang, yaitu pada level 60 persen. Namun, negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang memiliki rasio utang di atas 100 persen hingga 200 persen terhadap PDB, dan tetap menunjukkan pengelolaan ekonomi yang baik.

Oleh karena itu, ia menekankan bagian penting dari utang pemerintah adalah manajemen pengelolaannya.
 

Pengelolaan utang

Salah satu faktor utama pemicu melonjaknya utang Pemerintah pada rezim Jokowi adalah pandemi COVID-19. Terjadi lonjakan signifikan pada periode 2019 hingga 2020, di mana utang pemerintah naik sekitar Rp1.300 triliun dan rasio utang naik dari 29,80 persen menjadi 38,68 persen.

Meski rasio utang tetap terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, lonjakan yang terjadi tetap perlu menjadi perhatian.

Dalam menyiasati portofolio utang, Pemerintah mengaku mengambil sikap pengelolaan yang cermat, oportunis, dan terukur. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi strategi utama Pemerintah agar sekaligus mendukung pengembangan pasar keuangan domestik. SBN mendominasi komposisi utang Pemerintah sebesar 88,05 persen. Sebagian besar kepemilikan SBN dikuasai pemain lokal, termasuk Bank Indonesia (BI). BI memiliki 21,3 persen SBN domestik yang digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter.

Pemerintah juga berhati-hati dengan jangka waktu pengadaan utang. Saat ini, rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) utang Pemerintah berkisar 8 tahun.

Di samping pembiayaan utang, Pemerintah juga terus menggenjot penerimaan negara. Pada penutupan buku APBN 2023, kinerja penerimaan negara mampu mendorong keseimbangan primer masuk ke zona positif dengan nilai Rp92,2 triliun, setelah bertahan di zona negatif selama 12 tahun.

Surplus keseimbangan primer mengindikasikan penerimaan negara cukup memadai untuk membiayai belanja negara sekaligus membayar seluruh atau sebagian pokok dan bunga utang. Artinya, Pemerintah tidak perlu menarik utang baru untuk membayar utang.

Itulah yang dimaksud oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto, bahwa utang Pemerintah tidak cukup hanya dilihat dari sisi outstanding-nya. Meski jumlah utang membesar, PDB dan penerimaan juga makin tinggi.

Pemerintah berupaya mempertahankan kinerja penerimaan negara. Sepanjang triwulan I-2024, APBN secara konsisten mengalami surplus, yang turut menjaga keseimbangan primer tetap surplus.

Meski mengalami surplus, Pemerintah tetap menarik utang. Realisasi penarikan utang per Maret 2024 mencapai Rp104,7 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penarikan utang tetap dilakukan untuk mengantisipasi dinamika pasar hingga akhir tahun. Terlebih, dengan stabilnya kinerja APBN kini, Pemerintah bisa mendapatkan imbal hasil (yield) SBN yang kompetitif.

Langkah inilah yang dimaksud Kementerian Keuangan mengelola utang secara cermat, oportunis, dan terukur.

Strategi Pemerintah mengelola utang diakui oleh sejumlah lembaga pemeringkat, seperti Standard & Poor’s (S&P) Global Rating dan Fitch Ratings yang mempertahankan peringkat Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stabil.

Baru-baru ini, Head of Asia-Pacific Sovereigns Fitch Ratings Thomas Rookmaaker menyatakan Indonesia memiliki rekam jejak kredibilitas fiskal yang baik. Kebijakan Pemerintah membatasi defisit fiskal sebesar 3 persen menjadi pagar yang baik untuk mencegah kenaikan rasio utang di luar kendali. Keberhasilan kebijakan tersebut tercermin pada defisit APBN yang ditekan hingga 1,65 persen terhadap PDB pada 2023 setelah sempat melebar hingga 6,14 persen pada 2020 akibat pandemi, menandakan kemampuan negara mencapai konsolidasi fiskal dengan cepat.
 

Risiko pembengkakan utang

Akan tetapi, perekonomian terus mengalami gejolak. Konflik Timur Tengah masih tereskalasi dan berdampak pada arah kebijakan moneter dunia. Suku bunga The Fed yang sempat diperkirakan bakal melandai pada paruh kedua 2024 diduga akan tetap tinggi hingga akhir tahun (higher for longer).

Tingginya suku bunga The Fed membuat imbal hasil obligasi AS (US Treasury) juga bertahan tinggi. Di tengah melemahnya perekonomian global dan meningkatnya ketegangan geopolitik, pelaku pasar akan menempatkan dananya pada instrumen yang dianggap aman (safe haven), seperti dolar AS dan komoditas emas.

Mau tak mau, Pemerintah perlu menawarkan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) yang lebih tinggi demi menarik minat investor. Sementara langkah ini berisiko membuat biaya utang yang ditanggung Pemerintah makin meningkat.

BI telah mengambil langkah pre-emptive dengan menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen pada April 2024, setelah mempertahankan suku bunga di level 6,00 persen sejak Oktober 2023. Kebijakan ini diharapkan dapat membuat investor mengalihkan dananya dari dolar AS menuju pasar Indonesia sehingga berdampak pada stabilitas sektor keuangan domestik.

Tak hanya dari sisi eksternal, risiko pembengkakan utang juga datang dari internal. Dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan rasio utang maksimal 40,14 persen terhadap PDB, membengkak dari level rasio utang Maret 2024 dan mendekati kondisi puncak saat pandemi.

Target belanja Pemerintah juga lebih tinggi menjadi 16,15 persen hingga 17,80 persen dari 14,56 persen. Defisit fiskal juga ditargetkan melebar dari 2,29 persen pada tahun ini menjadi 2,80 persen pada tahun depan. Target itu mendekati batas aman 3 persen yang diamanatkan UU Keuangan Negara.

Target RKP memang belum final. Berbarengan dengan penyusunan RKP, Kementerian Keuangan juga mendesain rencana anggaran 2025 melalui Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF). Rencana-rencana anggaran akan didiskusikan dengan DPR, disampaikan saat Nota Keuangan pada Agustus, sebelum disahkan pada Oktober mendatang.

Namun, Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memiliki kebijakan populis yang diperkirakan bakal meningkatkan anggaran belanja, seperti program makan siang dan susu gratis. Pembengkakan ini berisiko membuat defisit APBN kian melebar.

Efek domino yang mungkin muncul dari pelebaran defisit adalah rasio utang terhadap PDB yang meningkat dan memburuknya peringkat utang Indonesia, yang pada akhirnya membuat negara sulit mengakses pendanaan internasional dan menarik arus investasi.

Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky mengamini transisi pemerintahan baru umumnya meningkatkan belanja Pemerintah  sehingga menambah beban fiskal.

Namun, peningkatan itu perlu dibarengi dengan peningkatan penerimaan. Sementara sejauh ini, ia belum melihat adanya program konkret dari sisi penerimaan perpajakan. Riefky berpendapat aspek ini perlu menjadi fokus pemerintahan, baik petahana maupun penerus.

Sejalan dengan Riefky, Arief juga meyakini penerimaan negara masih bisa didongkrak. Rasio penerimaan pajak berada pada level 10,2 persen pada 2023, artinya masih potensi peningkatan untuk bisa menyentuh standar ideal rasio perpajakan negara berkembang di level 15 persen.

Dengan ditingkatkannya penerimaan negara, diharapkan kebijakan Pemerintah mendatang dapat tetap berjalan tanpa harus membuat utang membengkak dan defisit melebar.

Namun, strategi peningkatan penerimaan pajak pun perlu dilakukan dengan hati-hati, agar tidak berimplikasi buruk terhadap daya beli masyarakat yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Menimbang berbagai kondisi yang ada, peran pengambil kebijakan menjadi kian sentral. Otoritas fiskal dan moneter perlu memahami dengan cermat situasi yang ada dan mengambil respons yang bijak, termasuk dari sisi pengelolaan utang.

Kabinet pemerintahan berikutnya diharapkan mampu menerapkan kebijakan secara tepat tanpa terlalu membebani fiskal sehingga stabilitas perekonomian nasional dapat terjaga.


Pewarta : Imamatul Silfia
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024