Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir mengecam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa Gregorius Ronald Tannur yang dinilainya menggambarkan hilangnya hati nurani dari hakim.
"Keputusan ini menggambarkan hilangnya hati nurani dari para hakim yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di bumi. Mereka tampak tidak peka terhadap dampak keputusan ini pada korban dan keluarganya," kata Adies dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Dia pun meminta Mahkamah Agung (MA) segera melakukan evaluasi mendalam terkait proses rekrutmen hakim agar pengadilan tak kehilangan fungsinya sebagai tempat pencarian keadilan.
"Kami mendesak Mahkamah Agung untuk mereformasi sistem rekrutmen dan pelatihan hakim agar tidak ada lagi keputusan yang meragukan kredibilitas peradilan," ujarnya.
Dia juga meminta agar Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung segera menindaklanjuti keputusan hakim dalam kasus putra anggota DPR RI Edward Tannur itu.
"Badan Pengawas harus memeriksa secara menyeluruh keputusan hakim yang dinilai tidak menggunakan hati nurani dalam proses pengambilan keputusan," ujarnya.
Dia menyoroti pula potensi kesalahan dari pihak penyidik dan jaksa dalam penerapan pasal-pasal hukum, namun ia menegaskan bahwa hakim pada akhirnya memiliki tanggung jawab utama untuk memutuskan berdasarkan fakta dan bukti yang ada.
"Walaupun ada kesalahan dalam penerapan pasal, hakim harus tetap memutuskan dengan hati nurani dan berlandaskan bukti yang jelas," katanya.
Selain itu, Adies mengungkapkan kekesalannya terhadap majelis hakim yang menyatakan tidak adanya saksi dalam kasus tersebut.
"Ini bertentangan dengan fakta bahwa berkas perkara sudah dinyatakan P21 yang berarti bukti sudah lengkap," ucapnya.
Untuk itu, dia menekankan pentingnya evaluasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam penanganan kasus tersebut, mulai dari penyidik hingga hakim.
"Kami mendesak agar seluruh aparat penegak hukum yang terlibat dalam kasus ini diperiksa untuk menemukan letak kesalahan. Keputusan hakim seharusnya menjadi akhir dari pencarian keadilan, dan jika keputusan tersebut cacat, maka harus ada evaluasi mendalam," kata dia.
Pada Rabu (24/7), majelis hakim PN Surabaya, Jawa Timur, membebaskan Gregorius Ronald Tannur yang merupakan putra dari mantan salah satu anggota DPR RI Edward Tannur, dari segala dakwaan terkait kasus dugaan penganiayaan yang berakibat kekasihnya bernama Dini Sera Afrianti meninggal dunia.
Sebelumnya, Polrestabes Surabaya menetapkan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan terhadap tersangka Ronald Tannur yang telah menghilangkan nyawa kekasihnya tersebut. Ronald dijerat dengan Pasal 351 dan 359 KUHP tentang penganiayaan dan kelalaian dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Penyelidikan oleh kepolisian mengungkap penganiayaan terjadi setelah pasangan kekasih itu menghabiskan malam di tempat hiburan, kawasan Surabaya Barat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komisi III DPR RI: Putusan Ronald Tannur gambarkan nurani hakim hilang
"Keputusan ini menggambarkan hilangnya hati nurani dari para hakim yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di bumi. Mereka tampak tidak peka terhadap dampak keputusan ini pada korban dan keluarganya," kata Adies dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Dia pun meminta Mahkamah Agung (MA) segera melakukan evaluasi mendalam terkait proses rekrutmen hakim agar pengadilan tak kehilangan fungsinya sebagai tempat pencarian keadilan.
"Kami mendesak Mahkamah Agung untuk mereformasi sistem rekrutmen dan pelatihan hakim agar tidak ada lagi keputusan yang meragukan kredibilitas peradilan," ujarnya.
Dia juga meminta agar Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung segera menindaklanjuti keputusan hakim dalam kasus putra anggota DPR RI Edward Tannur itu.
"Badan Pengawas harus memeriksa secara menyeluruh keputusan hakim yang dinilai tidak menggunakan hati nurani dalam proses pengambilan keputusan," ujarnya.
Dia menyoroti pula potensi kesalahan dari pihak penyidik dan jaksa dalam penerapan pasal-pasal hukum, namun ia menegaskan bahwa hakim pada akhirnya memiliki tanggung jawab utama untuk memutuskan berdasarkan fakta dan bukti yang ada.
"Walaupun ada kesalahan dalam penerapan pasal, hakim harus tetap memutuskan dengan hati nurani dan berlandaskan bukti yang jelas," katanya.
Selain itu, Adies mengungkapkan kekesalannya terhadap majelis hakim yang menyatakan tidak adanya saksi dalam kasus tersebut.
"Ini bertentangan dengan fakta bahwa berkas perkara sudah dinyatakan P21 yang berarti bukti sudah lengkap," ucapnya.
Untuk itu, dia menekankan pentingnya evaluasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam penanganan kasus tersebut, mulai dari penyidik hingga hakim.
"Kami mendesak agar seluruh aparat penegak hukum yang terlibat dalam kasus ini diperiksa untuk menemukan letak kesalahan. Keputusan hakim seharusnya menjadi akhir dari pencarian keadilan, dan jika keputusan tersebut cacat, maka harus ada evaluasi mendalam," kata dia.
Pada Rabu (24/7), majelis hakim PN Surabaya, Jawa Timur, membebaskan Gregorius Ronald Tannur yang merupakan putra dari mantan salah satu anggota DPR RI Edward Tannur, dari segala dakwaan terkait kasus dugaan penganiayaan yang berakibat kekasihnya bernama Dini Sera Afrianti meninggal dunia.
Sebelumnya, Polrestabes Surabaya menetapkan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan terhadap tersangka Ronald Tannur yang telah menghilangkan nyawa kekasihnya tersebut. Ronald dijerat dengan Pasal 351 dan 359 KUHP tentang penganiayaan dan kelalaian dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Penyelidikan oleh kepolisian mengungkap penganiayaan terjadi setelah pasangan kekasih itu menghabiskan malam di tempat hiburan, kawasan Surabaya Barat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komisi III DPR RI: Putusan Ronald Tannur gambarkan nurani hakim hilang