Makassar (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Selatan sejauh ini belum menerima laporan maupun aduan terkait praktik politik uang di masa kampanye Pilkada serentak 2024.
"Sampai sekarang tidak ada laporan masuk soal politik uang, tetapi kami tetap mengawasi hingga masa tenang, karena bisa jadi di situ terjadi dugaan praktiknya," kata Anggota Bawaslu Sulsel Alamsyah di Makassar, Sabtu.
Menurut dia, belum adanya laporan berkaitan dugaan politik uang menunjukkan bahwa kualitas demokrasi semakin membaik, tetapi di sisi lain Bawaslu tetap memberikan atensi berkaitan hal tersebut.
Selain itu, rata-rata tim hukum pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel merupakan bekas penyelenggara Pemilu sehingga memahami regulasi yang ada. Namun begitu, praktik politik uang tetap menjadi perhatian khusus Bawaslu.
Mantan Ketua KPU Kabupaten Pinrang ini mengemukakan dalam aturan Peraturan KPU (PKPU) nomor 13 tahun 2024 di pasal 38 ayat 2 poin a telah diatur tentang bahan kampanye harus memiliki nilai paling banyak Rp100 ribu jika dikonversikan dalam bentuk uang. Begitu pula hadiah maksimal Rp1 juta.
"Ada perbedaan aturan, untuk Pemilu dikenakan pidana hanya pemberi uang, sedangkan di Pilkada baik pemberi maupun penerima uang dapat dikenakan sanksi pidana," ungkap dia.
Selain itu, praktik politik uang saat ini diduga lebih canggih dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi tertentu dan tidak secara langsung, sehingga agak sulit dibuktikan kecuali ada pelapornya.
Mengenai dengan pengawasan di bidang siber, kata Alamsyah, ada tiga fokus objek. Pertama masalah hoaks, kedua ujaran kebencian, dan ketiga masalah politisasi SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Untuk laporan dugaan pelanggaran pemilihan, sebut dia, ada 25 laporan dan ada bersumber dari dunia maya, seperti portal berita maupun media sosial. Dari kajiannya, kebanyakan mengarah ke netralitas aparatur sipil negara atau ASN.
"Ada 25 laporan sementara ini ditangani, tetapi yang sudah naik di tahapan penuntutan pidana baru satu masalah yakni netralitas ASN," ungkap dia.
Kendati demikian, bila persoalan pelanggaran menyangkut hoaks, ujaran kebencian, politisasi SARA maka itu masuk dalam penanganan Undang-undang Pilkada maupun Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Kalau dia mengarah ke Undang-undang ITE, maka kami melakukan koordinasi ke tingkatan Bawaslu RI untuk dilakukan take down (diturunkan atau dihapus) ke platform media sosial itu," kata Koordinator Divisi Humas dan Datin Bawaslu Sulsel ini menambahkan.
"Sampai sekarang tidak ada laporan masuk soal politik uang, tetapi kami tetap mengawasi hingga masa tenang, karena bisa jadi di situ terjadi dugaan praktiknya," kata Anggota Bawaslu Sulsel Alamsyah di Makassar, Sabtu.
Menurut dia, belum adanya laporan berkaitan dugaan politik uang menunjukkan bahwa kualitas demokrasi semakin membaik, tetapi di sisi lain Bawaslu tetap memberikan atensi berkaitan hal tersebut.
Selain itu, rata-rata tim hukum pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel merupakan bekas penyelenggara Pemilu sehingga memahami regulasi yang ada. Namun begitu, praktik politik uang tetap menjadi perhatian khusus Bawaslu.
Mantan Ketua KPU Kabupaten Pinrang ini mengemukakan dalam aturan Peraturan KPU (PKPU) nomor 13 tahun 2024 di pasal 38 ayat 2 poin a telah diatur tentang bahan kampanye harus memiliki nilai paling banyak Rp100 ribu jika dikonversikan dalam bentuk uang. Begitu pula hadiah maksimal Rp1 juta.
"Ada perbedaan aturan, untuk Pemilu dikenakan pidana hanya pemberi uang, sedangkan di Pilkada baik pemberi maupun penerima uang dapat dikenakan sanksi pidana," ungkap dia.
Selain itu, praktik politik uang saat ini diduga lebih canggih dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi tertentu dan tidak secara langsung, sehingga agak sulit dibuktikan kecuali ada pelapornya.
Mengenai dengan pengawasan di bidang siber, kata Alamsyah, ada tiga fokus objek. Pertama masalah hoaks, kedua ujaran kebencian, dan ketiga masalah politisasi SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Untuk laporan dugaan pelanggaran pemilihan, sebut dia, ada 25 laporan dan ada bersumber dari dunia maya, seperti portal berita maupun media sosial. Dari kajiannya, kebanyakan mengarah ke netralitas aparatur sipil negara atau ASN.
"Ada 25 laporan sementara ini ditangani, tetapi yang sudah naik di tahapan penuntutan pidana baru satu masalah yakni netralitas ASN," ungkap dia.
Kendati demikian, bila persoalan pelanggaran menyangkut hoaks, ujaran kebencian, politisasi SARA maka itu masuk dalam penanganan Undang-undang Pilkada maupun Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Kalau dia mengarah ke Undang-undang ITE, maka kami melakukan koordinasi ke tingkatan Bawaslu RI untuk dilakukan take down (diturunkan atau dihapus) ke platform media sosial itu," kata Koordinator Divisi Humas dan Datin Bawaslu Sulsel ini menambahkan.