Jakarta (ANTARA) - Direktur LBH Apik Semarang Rara Ayu Hermawati menilai aparat penegak hukum dalam menangani kasus femisida seringkali tidak menggunakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Sejak UU TPKS disahkan hingga di tahun 2024 pun, masih belum banyak ditemukan putusan-putusan pengadilan yang terkait dengan kasus-kasus yang menggunakan UU TPKS termasuk yang terkait kasus femisida," kata Rara Ayu Hermawati dalam media briefing Komnas Perempuan bertajuk "Femisida di Indonesia Bukan Pembunuhan Biasa", di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, hal ini menandakan negara tidak memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak korban dalam proses hukum.

Rara Ayu mengatakan peraturan hukum di Indonesia belum mendefinisikan mengenai femisida dan penanganan kasus femisida.

"Di dalam deklarasi Wina pun belum menggambarkan penanganan berdasarkan undang-undang yang bersifat umum sehingga definisi femisida di sini sebagai salah satu bentuk pembunuhan yang motifnya belum dilihat dari gender korban," katanya.

Selain itu, kasus-kasus pembunuhan perempuan dan anak perempuan masih ditangani dengan menggunakan UU KUHP dan atau UU Perlindungan Anak.

"Bahkan kami temukan adanya pembiaran karena orientasi seksualnya sehingga pengaduan di kepolisian pun tidak ditindaklanjuti secara cepat," kata Rara Ayu.

LBH Apik Semarang juga menyoroti tentang kurangnya pendidikan seksualitas yang komprehensif.

Padahal menurut dia, penting sekali pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang menyeluruh karena ketika akses terhadap pengetahuan tentang kontrasepsi, kesehatan reproduksi, dan hak-hak tubuh terbatas, bisa memicu sebagian laki-laki melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

"Ini erat kaitannya dengan femisida atas kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan tidak diinginkan seringkali memicu tragedi femisida karena kurangnya edukasi untuk mencegah atau mengelola situasi dengan lebih aman dan bijaksana," kata Rara Ayu.

Komnas Perempuan menggelar rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mengajak semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan.

Setiap tahun, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan berlangsung dari 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Penegak hukum kerap tidak gunakan UU TPKS saat tangani femisida


Pewarta : Anita Permata Dewi
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024