Selasa (2/9) malam, begitu bangun dari tidur sehabis magrib saya langsung menengok ponsel Nokia E 90 tua yang masih digunakan. Ada pesan pendek dari rekan Asnawin Amiruddin, rekan yang selalu mengabarkan berita apa pun kepada saya selama ini.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun… Begitu bunyi kalimat pendek sebelum saya melanjutkan membuka pesan tersebut. Siapa lagi teman yang pergi kali ini. Itu pertanyaan yang selalu mengganggu pikiran saya setiap membaca kalimat berbahasa Arab itu di short message service (SMS).

Ternyata seorang teman, Abdul Azis Karim, wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang dalam beberapa tahun terakhir ini memang jarang bertemu.

"Azis Karim meninggal dunia sore (Selasa) tadi 2 September 2014 di RS Akademik Makassar. Jenazah disemayamkan di rumah duka, Jl.Singa malam ini," bunyi SMS Asnawin selanjutnya.

Sebelum bergabung dengan Antara Cabang Makassar LKBN Antara (sekarang bernama Kantor Berita Indonesia Biro Sulsel) tahun 1983, Azis lebih sering ditemukan pada acara-acara Pramuka. Di organisasi kepramukaan nasional yang sudah sangat berjaya dan berjasa itu, dia bekerja sebagai fotografer merangkap Humas pada Kwartir Daerah Gerakan (Kwarda) Pramuka Sulawesi Selatan.

Dengan modal kepintaran ‘memotret’ dan mencuci klise negatif menjadi foto di kamar gelap di kantor Pramuka tersebut, agaknya di kemudian hari mengubah jalan hidup pria kelahiran 61 tahun silam ini. Dia kemudian
berkenalan dengan beberapa wartawan Antara yang kantornya ketika itu di Jalan Bulukunyi.

M. Yunus Hamid, Ady Kamaruddin, dan Taufik Kaharuddin (keduanya
sudah almarhum) dan Ronny Syamsuddin), adalah orang-orang yang menjadi jembatan hingga ayah enam anak – kemudian – ini mampu menapaki profesi baru yang lebih menantang. Wartawan.

Saban selesai meliput dan mengambil gambar Gubernur Sulsel (Ahmad Lamo dan Andi Oddang), keempat wartawan Antara itu ‘membawa roll film hitam putihnya kepada Azis.

Tentu saja agar roll film itu bisa dicuci menjadi film negatif dan dicetak menjadi foto. Kalau harus membawa ke toko cuci cetak foto, selain harus mengeluarkan duit lagi, juga akan makan waktu lama, sementara lalu lintas pengiriman foto berita itu menuntut kecepatan.

"Para wartawan senior Antara ini senang dicucikan film negatifnya di tempat saya karena hanya dalam waktu tiga menit klise hasil jempretan sudah bisa diambil untuk dibuatkan teks berita gambar sesuai hasil
liputannya. Lalu dikirim ke Antara Pusat guna disebarluaskan ke media-media nasional maupun local di seluruh Indonesia," kenang Azis seperti termuat di dalam buku yang saya tulis "Menembus Blokade Kelelawar Hitam" (Identitas Unhas, 2010).

Pimpinan LKBN Antara Makassar ketika itu, M. Ridwan Suryanto tertarik dengan kecepatan Azis menyelesaikan roll film menjadi klise foto termasuk mencetak foto hitam putih dalam waktu 15 menit.

Gambar Gubernur maupun pejabat Muspida lainnya sudah bisa dilihat. "Coba cuci roll film hasil jepretan saya ini dengan medium (wadah) dari kaleng yang mirip seperti gelas air minuman ukuran sedang tetapi
pakai tutup, tanpa harus ke kamar gelap,” tantang bos Antara tersebut kepada fotografer Pramuka Sulsel itu.

Sambil menarik kain hitam dan medium tersebut yang sudah disediakan di atas meja, tangan Azis pun bereaksi memasukkan roll film ke wadah itu yang sebelumnya dipotong sesuai berapa kutipan yang sudah terpakai.

“Kalau pakai wadah seperti ini, Pak, waktunya cukup lama yakni enam menit sambil dikocok-kocok agar air Superbroom (obat) untuk memunculkan hasil jepretan men jadi rata,’’ kata Azis sambil menambahkan, kalau cuci klise di kamar gelap waktunya lebih cepat lagi.

Tertarik dengan keahlian yang Azis miliki di bidang memotret, mencuci roll film dan foto hitam putih (belum ada roll warna dan kertas foto berwarna), beliau pun menawarkan untuk bergabung di kantornya dengan tugas cuci klise dan cetak foto.

Tawaran itu pun Azis terima tetapi hasil rekaman gambar para wartawannya dia cuci di kantor Pramuka Sulsel. Sebab, status sebagai fotografer dan Humas Kwarda Pramuka Sulsel belum dilepas meski
Ketua Kwarda Pramuka HM. Jasin Limpo (almarhum) merestui dia untuk bermitra dengan Antara dengan menerima orderan itu.

Tahun 1983, resmilah Azis masuk di LKBN Antara cabang Makassar (Kepala Biro saat itu, HM. Isrin Bausad) dengan tugas liputan di Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Makassar.

Status Azis saat itu sebagai wartawan lepas (honorer) selama tiga tahun kemudian ditingkatkan menjadi wartawan honorer tetap selama lima tahun.

Selama menjadi wartawan Antara, baik berstatus honorer tetap maupun ketika diangkat menjadi karyawan tetap pada Biro Makassar tahun 1993 (punya NIP juga lho), banyak pengalaman yang tidak bisa Azis lupakan antara lain saat meliput kunjungan Presiden Soeharto (meresmikan pengoperasian perdana pabrik Semen Tonasa).

Azis mendapat tugas dari Departemen Keuangan melalui Pimpinan Antara Jakarta untuk meliput penyerahan Tony Gozal (kasus korupsi) yang ditangkap petugas Kejaksaan Tinggi Sulsel di Singapura kemudian menandatangi berkas penahanannya di kantor Kejari Makassar sebelum dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan (LP) Gunungsari Makassar.

Saat itu, tidak ada wartawan media cetak lokal maupun nasional yang meliput Tony Gozal dipenjarakan karena hanya wartawan Antara Makassar yang direkomendasikan Depkeu-Kejagung untuk mengabadikan hal tersebut.

“Ini pengalaman paling berkesan bagi saya yang tak bisa kulupakan karena hasil liputan berita maupun foto Tony Gozal dimuat koran nasional, lokal termasuk disiarkan RRI dan majalah Tempo,’’ kata Azis Karim.

Kunjungan Gubernur Sulsel HZB. Palaguna ke Nunukan tahun 2002 untuk melihat dari dekat ribuan TKI bermasalah yang diusir paksa dari bumi negeri jiran, Malaysia, juga sempat dia liput bersama sejumlah
wartawan media cetak lokal yang menyertai Gubernur Palaguna ke Nunukan.

Tahun 2005, dia menyeberang ke Malaysia bersama empat wartawan media cetak lokal, Faharuddin Palapa (Fajar), M.Rusdi Embas (PR), Andi Rustam (Berita Kota) dan Asdar Muis (Radio Celebes ) didampingi Kepala Biro Humas dan Protokol pemprov Sulsel, Drs. Hasyim Soedikio, Kabag Humas, Abd. Muis
dan staf Humas Badaruddin.

Tugas liputan yang harus dilaporkan ke media masing-masing yakni mencari TKI ilegal asal Sulsel di Tawao, Sandakan, Kinibalu (keke) dan terakhir ibu kota negara Malaysia, Kuala Lumpur.

Tahun 2009 tepatnya satu bulan setelah pasangan Syahrul Yasin Limpo/Agus Arifin Nu’mang dilantik menjadi Gubernur/Wakil Gubernur Sulsel pada 8 April 2009 periode 2008-2013, mereka bersama sejumlah
wartawan media cetak dan elektronik di daerah ini mengikuti kegiatan promosi potensi Sulsel di Singapura selama dua hari.

Sukanya menjadi Wartawan Antara adalah saat berita dan tulisan yang dibuat dimuat koran lokal maupun nasional, sebab nama pembuat berita disanjung sementara pejabat yang dipulikasikan merasa senang.

Lain halnya jika berita yang dibuat dan dimuat media cetak lokal maupun nasional, terutama berita berkasus dengan melibatkan oknum pejabat tertentu. Selain sanjungan yang diperoleh, juga seringkali ada ancaman atau teror dari pejabat yang bersangkutan karena menjadi tersangka korupsi atau penyalahgunaan jabatan.

"Saya sering mendapat teror dari pengusaha maupun pejabat di Sulsel bahwa berita yang saya bikin dan dimuat di koran tidak benar dimata mereka,” Azis menjelaskan.

Pengalaman yang paling heboh lainnya ketika mantan Menteri Kehakiman Oetoyo Usman memberi keterangan Pers kepada Wartawan di LP Gunungsari tentang masalah ‘mafia’ hukum di PN dan LP masih ada dan sukar dihilangkan.

Berita yang dia kirim ke redaksi Antara Jakarta disiarkan media nasional dibantah Menkeh tersebut dengan alasan tidak pernah menyatakan ada mafia hukum (jual beli) hukum di PN terutama kasus besar seperti korupsi.

Padahal, Menkeh jelas-jelas mengungkapkan hal itu di depan Wartawan seusai mengunjungi LP Gunungsari tersebut yang dibuktikan dengan hasil rekaman tape recorder yang Azis bawa ketika itu. Pernyataan Menkeh Oetoyo Oesman yang dianggapnya tidak pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu kemudian dikomplain ke LKBN Antara Pusat, sekaligus meminta berita itu diralat. Pembuatnya diberi sanksi pemecatan sebagai wartawan Antara, tuntut Menkeh kala itu.

Azis pun ditelepon redaksi Antara Jakarta yang membidangi Hukum yakni Akhmad Kuseni. Dia mengkonfirmasi balik ke Makassar bahwa apakah berita yang dibuat itu benar atau tidak. Sebab, dampaknya akan merugikan
Menteri.

‘’Kalau beritamu salah, kamu akan dipecat,’’ kata Kuseni di balik gagang telepon yang langsung Azis terima.

Teguran atau ancaman Pimpinan Redaksi Bidang Hukum tersebut kepada dia terima dan menyatakan ’siap’ dipecat jika berita itu salah dan tidak sesuai dengan apa yang diucapkan Menkeh tersebut.
Sebelum pimpinan mengambil tindakan yang akan merugikan diri Azis mengirim kaset hasil rekaman jumpa pers Menkeh Oetoyo sebagai bukti bahwa beliau mengeluarkan pernyataan itu di LP.

Setelah kaset jumpa pers Menkeh yang sudah digandakan ini diterima pimpinan keesokan harinya dan mendengarkannya dengan utuh, Kuseni langsung menelpon ke Azis dan memberi selamat bahwa berita yang
dibuat adalah benar.

“Zis kamu tidak jadi dipecat. Menkeh malu setelah kaset yang kamu kirim saya perdengarkan kepada beliau,” ujarnya seraya mengatakan, Menkeh meminta ke Antara Jakarta untuk meralat berita yang kamu bikin
itu karena pengacara yang bernaung dalam wadah LBH yang ada di Jakarta tersinggung dengan pernyataan Menkeh. Mereka menganggap seolah-olah semua pengacara tergolong ‘mafia’ peradilan.

Jadi, sebelum berita dilempar ke redaksi apakah itu hasil liputan seremonial atau keterangan pers dari seorang Gibernur maupun Menteri, terlebih dahulu wartawan pembuatnya membaca berulang-ulang kali untuk menghindari adanya kesalahan dalam pembuatannya.

"Ingat, seorang jurnalis juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Untuk tidak salah dalam membuat berita maka wartawan perlu membawah tape recorder supaya tidak keliru dalam menulis berita,” Kuseni mengatakan.

Ini diperlukan sebab sering kali ada pejabat yang memberi keterangan kemudian kita buat beritanya, ternyata besok harinya mereka membantah bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan kalimat seperti itu.

Bagi pewarta pemula mau pun yang sudah senior, Azis berharap supaya membangun komitmen dalam diri kita bahwa apa yang kita publikasikan itu benar sesuai keterangan pers dari pejabat yang diwawancarai.

“Jangan takut ancaman hanya karena berita kita disalahtafsirkan oknum pejabat yang merasa dirugikan serta jangan terpancing dengan materi terkait dengan berita yang dibuat terutama yang menyangkut kasus korupsi dan penyimpangan lainnya yang dilakukan oknum pejabat.

Penghargaan jurnalis

Sebagai wartawan yang bernaung di bawah kantor berita nasional, Azis sudah malang melintang mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan mengenai kewartawanan. Pada tahun 1985 mengikuti kursus dasar jurnalistik di Manado yang dilaksanakan Antara Pusat.

Dua tahun kemudian, 1987, Azis mengikuti kursus jurnalistik lanjutan di Makassar yang dilaksanakan Antara Jakarta. Tahun 1992 mengikuti Kursus Dasar Pewarta (Susdape) angkatan VII di Jakarta (enam bulan).

Tahun 2004 mengikuti pendidikan jurnalistik bidang ‘terorisme’ Jakarta yang dilaksanakan Kedubes Australia bekerjasama LKBN Antara. Sebagai wartawaan Antara, Azis pernah bertugas di Makassar, Manado,Parepare (Kepala perwakilan Antara Parepare), dan pelaksana tugas Kepala Biro Antara Papua tahun 2006.

Azis Kasim termasuk wartawan dengan segudang prestasi. Berbagai penghargaan pernah disabetnya. Misalnya, Juara I lomba foto kriminal se-Sulsel tahun 1997. Predikat itu mengantarnya meraih hadiah kamera dari Kapolda Sulsel, IGD. Putera Astaman.

Kemudian, dia meraih Juara II lomba karya tulis pariwisata Tingkat Sulsel dan memperoleh piagam dan hadiah dari Gubernur HZB. Palaguna.

Tidak hanya itu, dia juga pernah menyabet Juara I mengkritisi pemaparan program kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Pemprov Sulsel dan memperoleh hadiah HP dari Karo Humas dan protokol Sulsel. Masih banyak karya tulis jurnalis lainnya yang diraih almarhum mendapat dengan predikat juara. Dia sudah tak ingat lagi.

Kini, wartawan dengan integritas tinggi itu telah tiada. Selamat jalan, kawan!.

(http://www.kompasiana.com)

Pewarta : Dahlan Abubakar
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024