Jakarta (ANTARA) - Ada satu praktik sederhana yang kerap terabaikan dalam relasi kita dengan bumi: mendengarkan.
Sejatinya, setiap detak kehidupan di alam ini menghasilkan suara. Kicau burung, gemericik air sungai, desau angin, gemerisik daun, hingga nyanyian serangga, semuanya membentuk soundscape, lanskap akustik yang menjadi cermin dari kesehatan ekosistem.
Suara alam adalah bentuk komunikasi yang paling jujur dan tidak dibungkus kepentingan. Melalui suara-suara tersebut, alam ingin memberitahu manusia, khalifah di muka bumi ini, apakah ia baik-baik saja atau tengah terluka.
Hutan yang sehat misalnya, tidak pernah sepi dengan suara burung, serangga, ataupun binatang lain, dan bahkan keheningan yang ritmis. Namun saat ekosistem terganggu, suara-suara ini berubah atau bahkan menghilang. Inilah yang kemudian dikenal dengan fenomena silent forest syndrome.
R. Murray Schafer, seorang komposer, penulis, dan pendidik asal Kanada memperkenalkan istilah soundscape untuk menggambarkan lanskap suara suatu tempat, mencakup suara alam non-biologis (geophony) seperti suara angin dan air; suara makhluk hidup (biophony) termasuk suara burung, serangga dan manusia; serta suara buatan manusia (anthrophony) seperti musik dan suara mesin.
Konsep ekologi akustik yang dicetuskan oleh Schafer menawarkan pendekatan berbeda dalam membaca keadaan lingkungan yaitu dengan mendengar. Dalam hal ini, suara dipandang sebagai data ekologis, warisan budaya, dan peringatan dini atas kerusakan lingkungan yang tak selalu kasat mata.
Mendengarkan Meratus
Konsep ekologi akustik tersebut menemukan relevansinya dalam pengembangan geopark sebagai destinasi wisata berkelanjutan di Indonesia. Salah satunya adalah Geopark Meratus di Kalimantan Selatan, taman bumi yang baru saja mendapat pengakuan sebagai UNESCO Global Geopark (UGGp).
Geopark Meratus memiliki luas wilayah sekitar 3.645 kilometer persegi dan mencakup enam kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan.
Geopark adalah konsep pengembangan kawasan yang menggabungkan unsur konservasi, edukasi, budaya dan ekonomi rakyat. Meski setiap geopark diawali dengan kisah pembentukan muka bumi jutaan tahun lalu, ia tidak hanya berbicara mengenai batuan purba.
Benar, bahwa proses pembentukan batuan itulah yang menjadi titik awal, yang mempengaruhi jenis flora dan fauna, bahkan budaya dan cara hidup manusia di tempat tersebut. Namun yang tidak kalah penting dari pengembangan sebuah geopark adalah keberlangsungan hidup makhluk-makhluk di dalamnya. Oleh karena itu, unsur konservasi di sini menjadi begitu penting.
Konsep ekologi akustik di Geopark Meratus dapat menjadi bagian dari pendekatan pelestarian alam yang menggabungkan lanskap suara dengan konservasi, penguatan kearifan lokal, dan pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Dari sisi konservasi, aktivitas merekam suara satwa liar dapat dilakukan dengan menempatkan mikrofon khusus di titik-titik strategis. Dari rekaman tersebut bisa diketahui spesies apa yang aktif dan apakah kondisi mereka masih baik-baik saja.
Masyarakat lokal bisa dilibatkan dalam proyek dokumentasi suara ini untuk memperkuat rasa memiliki (sense of belonging) terhadap Geopark Meratus. Dalam pemetaan akustik partisipatif tersebut, masyarakat lokal dilatih untuk merekam dan mengarsipkan suara khas kampung mereka sebagai bagian dari warisan budaya takbenda.
Hasil rekaman tersebut juga dimanfaatkan untuk mengedukasi wisatawan terkait kondisi alam di sekeliling mereka dan pentingnya pelestarian lingkungan.
Listening trail
Pemanfaatan lanskap suara bisa menjadi strategi menarik wisatawan, terutama dalam wisata berbasis alam, budaya, dan pengalaman imersif (immersive tourism).
Beberapa kawasan wisata dunia sudah mengembangkan listening trail atau jalur mendengarkan. Dalam “wisata diam” ini, pengunjung tidak diajak untuk berburu foto atau merekam dengan video –dua hal yang sudah menjadi aktivitas wajib bagi wisatawan. Namun mereka diminta untuk diam dan mendengarkan.
Aktivitas ini akan membangun kesadaran bahwa alam sebenarnya tidak pernah diam, hanya kita saja yang mungkin terlalu berisik untuk mendengarkan. Kesadaran bahwa mungkin saja kita tanpa sengaja telah mengganggu simfoni yang sudah lama ada dengan suara-suara keras, baik berupa suara manusia maupun suara alat buatan manusia.
Wisata diam semacam ini tentunya membutuhkan semacam zona hening di kawasan tertentu dan membatasi jumlah pengunjung. Di kawasan hutan hujan tropis Kahung di Kabupaten Banjar misalnya, zona hening perlu dibuat agar satwa liar seperti beruang madu dan monyet tetap nyaman tinggal di salah satu situs Geopark Meratus ini.
Membentuk ikatan emosional
Pelestarian, dalam konteks geopark, bukan hanya soal hutan dan satwa di dalamnya, namun juga pelestarian budaya. Meratus memiliki kekayaan budaya akustik, diantaranya alat musik tradisional seperti sape, tarian ritual yang biasanya diiringi musik dan nyanyian, serta mantra dan doa yang dirapalkan balian Dayak Meratus.
Begitu juga suara layang-layang Dandang –layang-layang berbentuk persegi panjang yang dipasang tabung bambu di atasnya dan menghasilkan suara berdengung saat tertiup angin— yang merupakan warisan budaya Banjar. Kalayangan Dandang Dengung juga merupakan satu situs di Geopark Meratus di Kabupaten Tapin.
Tradisi yang layak dilestarikan ini bisa dijadikan bagian dari wisata edukatif, mengenalkan identitas akustik Meratus kepada dunia.
Bryan C. Pijanowski dalam studinya pada 2011 menyebutkan bahwa lanskap suara memengaruhi pengalaman wisatawan. Suara memiliki peran kunci dalam membentuk persepsi wisatawan terhadap tempat.
Studi Pijanowski tersebut memperkuat argumen bahwa lanskap suara bukan hanya elemen tambahan, namun merupakan inti dari pengalaman wisata yang mendalam. Pengalaman wisata berbasis suara selain lebih ramah lingkungan juga memberi kesan mendalam secara emosional. Wisatawan cenderung lebih terikat secara emosional dengan pengalaman multisensorik, terutama visual dan audio.
Untuk memberikan pengalaman lebih bagi pengunjung, pusat informasi Geopark Meratus perlu menyediakan instalasi suara yang menggabungkan rekaman suara alam dan budaya Meratus. Sehingga ketika wisatawan berkunjung ke Pusat Informasi Geopark Meratus, saat menggali informasi mengenai budaya Dayak Meratus misalnya, mereka akan ditemani oleh suara balian yang tengah merapalkan mantra.
Atau sambil membaca informasi soal pasar apung Lok Baintan, mereka akan ditemani oleh suara riuh pedagang dan hilir mudik perahu klotok. Informasi suara ini akan menjadi aset berharga untuk mempromosikan Geopark Meratus.
Pengembangan pariwisata yang lebih fokus pada kegiatan mendengar ini sudah selayaknya diterapkan sebagai bagian dari upaya membangun pariwisata berkelanjutan, bukan hanya di Meratus, namun juga taman-taman bumi lain di Indonesia.
Jika alam sudah menyediakan panggung konser yang sedemikian besar, maka sudilah kiranya kita meluangkan waktu untuk menjadi pendengar.