Jakarta (ANTARA) - Pernahkah kita bertanya, sejak kapan kita menyerahkan keputusan kecil dalam hidup kita kepada teknologi? Mulai dari rute tercepat ke kantor, ide caption Instagram, bahkan pilihan menu makan malam, semuanya bisa dijawab oleh akal imitasi (Artificial Intelligence/AI).
Kini, generasi muda tumbuh dalam dunia yang tidak hanya menawarkan jawaban instan, tetapi juga menyuapi pilihan, tanpa memberi ruang untuk berpikir panjang.
Kemandirian, yang dulu dianggap sebagai kualitas penting dalam proses kedewasaan, perlahan-lahan terkikis. Kita menyebutnya kemudahan, otomatisasi, atau bahkan inovasi. Namun di balik istilah-istilah canggih itu, sedang terjadi disrupsi sunyi terhadap kebiasaan berpikir, bernalar, dan mengambil keputusan secara mandiri.
AI tidak datang seperti badai yang menghancurkan secara frontal. Ia merayap pelan, masuk ke ruang-ruang mikro kehidupan sehari-hari: menyusun jadwal belajar, memilih musik sesuai mood, hingga menyarankan template CV. Semuanya terdengar efisien, tapi sesungguhnya sedang terjadi pergeseran mendalam dalam cara kita menjadi manusia yang merdeka secara intelektual dan emosional.
Dalam dunia pendidikan, misalnya, ChatGPT dan tools serupa makin sering digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas akademik. Mahasiswa tidak perlu lagi membaca referensi panjang; cukup beri prompt, maka AI akan merangkumnya. Akibatnya, proses belajar tidak lagi berbasis pemahaman, melainkan hasil instan.
Fenomena ini diperkuat oleh sistem pendidikan yang belum adaptif. Di tengah tuntutan zaman yang serba cepat, guru dan dosen pun ikut tergoda untuk menilai dari output, bukan proses. Maka, wajar jika generasi pelajar sekarang lebih mahir merancang prompt daripada merancang argumen.
Di ranah emosional, kemandirian pun perlahan terkikis. Aplikasi seperti Replika atau AI companion lainnya mulai menggantikan fungsi teman curhat. Meskipun menawarkan ruang aman dan tanpa penghakiman, aplikasi ini menciptakan zona nyaman semu yang tidak mengajarkan bagaimana menghadapi konflik relasi nyata.
Generasi muda menjadi sangat akrab dengan respons-respons algoritmis yang predictably positif. Sementara di kehidupan nyata, interaksi sosial menuntut empati, kompromi, bahkan kadang menyakitkan. Ketika AI menjadi substitusi interaksi, maka daya tahan terhadap realitas sosial pun ikut menurun.
Ketergantungan ini bisa dijelaskan melalui fenomena learned helplessness digital — kondisi psikologis di mana individu merasa tidak perlu belajar sesuatu karena AI akan selalu menyediakan jawaban. Akibatnya, kepercayaan diri untuk memecahkan masalah berkurang drastis.
Dalam jangka panjang, hal ini berbahaya bagi pembangunan karakter. Proses tumbuh dewasa seharusnya melibatkan latihan berpikir mandiri, membuat kesalahan dan memperbaikinya. AI menawarkan shortcut yang justru memangkas tahap-tahap penting tersebut.
Bukan berarti AI sepenuhnya buruk. Teknologi ini jelas membantu dalam efisiensi waktu dan pekerjaan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah cara kita menggunakannya, dan apa yang kita korbankan dalam proses itu.
Menurut kajian dari Pew Research Center tahun 2023, sekitar 46 persen generasi Z di Amerika merasa lebih percaya pada hasil algoritma dibanding intuisi pribadi. Hal ini menunjukkan pergeseran kepercayaan dari dalam diri ke luar diri—sebuah tren yang mengkhawatirkan.
Di Indonesia, situasinya tidak jauh berbeda. Platform-platform edukasi, keuangan, hingga relasi interpersonal berbasis AI makin populer di kalangan anak muda urban. Mereka lebih nyaman "dibantu" daripada mencari sendiri.
Yang ironis, kecanggihan AI seharusnya menjadi alat bantu untuk memperkuat kapasitas manusia, bukan mengambil alih sepenuhnya. Namun, karena didekati tanpa refleksi kritis, AI malah menjadi penopang ketergantungan.
Kita sedang menyaksikan perubahan makna "kemandirian". Dahulu, mandiri berarti mampu berpikir, memutuskan, dan bertanggung jawab. Kini, dalam dunia digital, mandiri justru bisa berarti "tahu tools apa yang digunakan"—bukan memahami, tapi mengoperasikan.
Dalam perspektif budaya, ini mencerminkan pergeseran nilai dari proses ke hasil. Masyarakat semakin menghargai efisiensi dan hasil instan, mengorbankan proses belajar yang esensial bagi pertumbuhan mental.
Ini menjadi tantangan besar bagi orang tua dan pendidik. Tidak cukup hanya melarang penggunaan AI. Justru yang dibutuhkan adalah literasi kritis—mampu bertanya, "mengapa saya perlu bantuan AI dalam hal ini?" atau "apa yang saya lewatkan jika AI yang mengerjakan?"
Literasi digital harus melampaui kemampuan teknis. Ia harus mencakup kesadaran etis dan eksistensial: bagaimana teknologi mempengaruhi jati diri kita, kapasitas kita berpikir, dan otonomi kita sebagai individu.
Saat ini, banyak startup dan platform teknologi menggaungkan jargon AI for humanity. Tapi dalam praktiknya, narasi ini sering kali menyembunyikan niat komersial yang menjadikan manusia sebagai data dan algoritma sebagai pengendali keputusan.
Jika generasi muda tidak memiliki kesadaran kritis terhadap ini, mereka akan tumbuh sebagai konsumen pasif dari sistem teknologi, bukan sebagai subjek aktif yang membentuk masa depannya sendiri.
Maka, urgensinya bukan lagi soal mengenal AI, tetapi mengembangkan etika penggunaan AI. Bukan sekadar tahu caranya, tapi tahu kapan perlu dan kapan tidak.
Kita butuh pendidikan reflektif, bukan hanya STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Kita butuh filsafat dan humaniora yang bisa mengajarkan cara berpikir mendalam di tengah banjir informasi dan solusi instan.
Kita juga perlu ruang-ruang diskusi publik, baik daring maupun luring, untuk membahas dampak AI secara sosiologis dan psikologis. Bukan hanya soal kecanggihan, tapi juga soal siapa yang dikorbankan dalam kemajuan ini.
Pemerintah dan regulator juga harus hadir. Bukan hanya dengan regulasi teknis, tapi juga kebijakan pendidikan yang memprioritaskan penguatan karakter, bukan sekadar pencapaian akademis.
Dan itu hanya bisa dicapai jika kesadaran kritis ditanamkan sejak dini.
Sebab, jika tidak kita sadari, disrupsi itu akan terus berlanjut—sunyi, pelan, namun sistematis. Dan saat kita menyadarinya, mungkin kita sudah kehilangan kemampuan paling dasar sebagai manusia: untuk memilih secara sadar dan merdeka.
*) Ressa Uli Patrissia, Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid dan Business Support Manager Provisio Consulting
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Disrupsi sunyi: Bagaimana AI menyabotase kemandirian generasi muda