Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Komite Penyelarasan Teknologi Informasi Komunikasi (KPTIK) Dedi Yudianto mengingatkan potensi penyalahgunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) terhadap tindak pidana terorisme.
Pasalnya, kata dia, disamping dapat membuat pekerjaan semakin mudah, AI rentan disalahgunakan untuk penyebaran disinformasi apabila diterapkan tanpa regulasi yang jelas.
"Selain untuk tujuan yang positif, kelompok teror juga mampu menggunakan AI untuk agenda mereka,” kata Dedi dalam keterangan tertulis resmi di Jakarta, Jumat.
Maka dari itu, dirinya mengatakan agar terdapat pengembangan teknologi untuk mengidentifikasi aktivitas terorisme yang memanfaatkan AI perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Kolaborasi internasional, sambung dia, juga diperlukan dalam pertukaran informasi dan strategi, serta penguatan regulasi untuk mengawasi penggunaan kecerdasan buatan.
Dedi menambahkan, diperlukan pengawasan aktivitas daring untuk mendeteksi pola perilaku mencurigakan serta pelatihan sumber daya manusia, khususnya di bidang penegakan hukum untuk menghadapi ancaman penyalahgunaan AI secara efektif.
"Semua hal ini harus mulai didapatkan masyarakat Indonesia, bahkan sejak dari sekolah formal," tuturnya.
Terkait pelibatan AI pada tindak kejahatan terorisme di dunia, ia mengemukakan bahwa sampai saat ini belum ada indikasi yang mengarah ke sana. Namun, potensi penyalahgunaan AI tetap ada karena begitu mudahnya teknologi tersebut diakses oleh berbagai kalangan untuk beragam kepentingan.
Untuk itu, dia berharap pemerintah dan lembaga keamanan internasional perlu mengadakan penelitian terkait dengan potensi risiko ancaman teror melalui pemanfaatan AI.
Ia mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan memiliki banyak teknologi terapan, diantaranya berupa Chatbot dan Deepfake. Menurutnya, terdapat kekhawatiran kedua teknologi itu memiliki potensi untuk disalahgunakan dalam pembuatan narasi atau propaganda yang menyesatkan.
Menurut Dedi, penggunaan Deepfake yang dapat membuat video palsu sulit dibedakan dari yang asli, dapat memperburuk masalah disinformasi dan propaganda, sehingga akan meresahkan jika masyarakat Indonesia belum bisa menyikapi informasi yang datang dengan lebih bijak dan tidak hanya percaya dari satu sumber saja.
Begitu juga teknologi Chatbot yang dapat digunakan untuk menyebarkan pesan otomatis yang merugikan, lanjut dia, misalnya dengan melakukan disinformasi secara masal melalui Chatbot yang berisi kampanye hitam pada salah satu pihak untuk menjatuhkan citranya.
Dengan demikian, dirinya berharap Pemerintah Indonesia melalui lembaga terkait perlu aktif dalam mengawasi dan mengantisipasi potensi penyalahgunaan teknologi itu.
Apalagi, kata dia, membedakan antara konten yang dibuat oleh kecerdasan buatan dan yang tidak menggunakan AI relatif sulit. Beberapa petunjuk yang dapat dilakukan dalam membedakannya, yakni dengan melihat kualitas yang sangat baik dan konsistensi visual dari konten AI serta kejanggalan dalam konteks atau logika yang disampaikan.
“Verifikasi sumber dan penggunaan alat deteksi lainnya bisa saja memberikan petunjuk tambahan, meskipun belum ada metode yang definitif untuk membedakannya dengan pasti, seiring dengan perkembangan teknologi,” ucap Dedi menambahkan.