Makassar (ANTARA Sulsel) - Terdakwa dugaan korupsi pengadaan peralatan olah raga di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar senilai Rp46,1 miliar Syatir Mahmud saat memberikan kesaksian terhadap terdakwa lainnya Lisa Lukita Wati mengaku tidak pernah mengenalnya.

"Sejak awal memang hanya ada satu PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan itu adalah saya. Saya tidak pernah tahu siapa Lisa dan barang-barangnya dipesan dari Lisa oleh pemenang tender Suhadi," ujar Syatir dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Andi Cakra Alam, Kamis.

Syatir mengatakan, terdakwa Lisa sebagai pemilik barang yang dibutuhkan FIK UNM dalam pengadaan itu, dan pemesan peralatan olahraga adalah perusahaan pemenang yakni Direktur Utama PT Mitra Bina Medika, Suhadi.

Progres pengadaannya juga menurut laporan dari stafnya sudah dilaporkan 95 persen yang kemudian diuji coba dengan mengundang semua pimpinan universitas, perwakilan dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) serta dari Dinas Pemuda dan Olahraga (Dikpora).

"Yang jelas laporannya dari staf itu progresnya sudah 95 persen dan barangnya juga saat diuji coba di lantai empat kampus UNM disaksikan oleh pimpinan universitas serta pihak dari KONI dan Dikpora," katanya.

Sementara saksi ahli lainnya yang dihadirkan yakni dari Harmawan Kaeni yang merupakan tenaga ahli bidang pengadaan barang/jasa dan investasi mengaku jika tidak adanya harga perkiraan sementara (HPS) yang dibuat oleh PPK adalah sebuah kesalahan dalam proyek pengadaan terlebih menggunakan anggaran negara.

Menurut dia, PPK mempunyai tanggungjawab untuk membuat harga perkiraan sementara yang akan menjadi rujukan dalam pengadaan barang dan jasa supaya tidak terjadi adanya penggelembungan harga.

Pada persidangan sebelumnya juga, saksi ahli yang dihadirkan Prof Dr Hambali Thalib yang dalam keterangannya juga meringankan terdakwa Lisa Lukita Wati.

"Dalam Perpres 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa, selama semua persyaratan dipenuhi itu tidak akan menjadi masalah dan memang ada tiga jenis sanksi diantaranya sanksi administrasi, perdata dan terakhir pidana," ujarnya, Senin (13/4).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu mengatakan, aturan yang ketat dalam Perpres 54 Tahun 2010 itu karena dalam proyek-proyek pemerintah menggunakan anggaran negara atau daerah.

Empat pihak bertanggungjawab jika dalam pelaksanaan proyek terjadi penyimpangan, pertama Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Panitia Pembuat Komitmen (PPK) dan keempat unsur penyedia pengadaan dan pelaksana.

Menurut dia, tidak adanya harga perkiraan sementara (HPS) yang dibuat oleh panitia lelang, dalam hal ini PPK selaku pihak bertanggungjawab tidak bisa menyalahkan penyedia barang.

"Itulah kenapa harus ada HPS karena tanpa HPS, akan ada harga yang sifatnya subjektif. Tidak ada batas terendah dan tertinggi yang menjadi acuan. HPS itu harusnya dijadikan standar oleh panitia lelang," katanya.

Karenanya, pihak yang dianggap bertanggungjawab adalah keempat pihak itu. Namun, PA dan KPA sudah memberikan kuasa kepada PPK untuk menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan keahliannya termasuk dalam menentukan HPS.

Perpres 54 Tahun 2010 juga sudah mengatur mekanisme sanksi yang berjenjang mulai dari sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana jika penyalahgunaan dana negara terjadi.

Dari praktik pengadaan peralatan laboratorium pendidikan Fakultas Ilmu Keolahragaan UNM TA. 2012 diduga merugikan keuangan Negara sebesar Rp13,5 miliar lebih.

Atas tindakannya, tersangka diancam Pasal 2 ayat (1) Subs Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 Jo Pasal 2 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 56 KUHPidana.  Agus Setiawan

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024