Makassar, 11/8 (Antara) - Destructive Fishing Watch ( DFW ) Indonesia menyebutkan bahwa 64 persen nelayan di Kepulauan Spermonde diduga merusak lingkungan saat menangkap ikan dengan cara-cara ilegal.

"Sekitar 64 persen nelayan di Kepulauan Spermonde mengangkap ikan dengan merusak lingkungan, 68 persen di antaranya menggunakan bom ikan, 27 persen bius ikan dan rata-rata 5 persen pelaku ada pada keduanya," sebut Koordinator Nasional DWF Indonesia Moh Abdi Suhufan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.

Menurut dia hal itu terjadi karena penegakan hukum belum sungguh-sungguh sehingga apa yang dilakukan nelayan saat mencari ikan terus berulang membuat terumbu karang dan habitat pada eksostem laut semakin rusak.

"Biasanya aparat di lapangan telah berkesusahan melakukan penangkapan. Namun, di Pengadilan yang kurang tegas. Ini membuktikan masih lemahnya komitmen penegak hukum kita," ucap Moh Abdi.

Dalam kajian analisis, konsumen ikan di Indonesia tidak pernah mempermasalahkan hasil tangkapan. Sehingga kata dia, nelayan menentukan pilihan pengangkapan ikan menggunakan bom dan bius yang lebih efektif dari segi jumlah tangkapan dan efisien dalam waktu, harga dan operasional.

Sebelumnya, Pakar Terumbu Karang dari Universitas Hasanudin (Unhas) Syafyuddin Yusuf saat diskusi Penanggulangan Destructive Fishing (DF) pada Perairan Kepulauan Spermonde di Kampus Unhas mengungkapkan, fakta kondisi terumbu karang di Kepulauan Spermonde yang meliputi Kota Makassar, Kabupaten Pangkajenen Kepulauaan (Pangkep), Kabuapaten Barru dan Takalar sangat memprihatinkan.

"Berdasarkan hasil penelitian LIPI, hanya 25 persen karang hidup di Kabupaten Pangkep dan hanya 19 persen di Kota Makassar. Kerusakan terumbu karang ini didominasi akibat penangkapan ikan yang menggunakan bom dan bius," ungkap Syafyuddin.

Selain Syafyudin, pembicara lainnya Kadiskum Lantamal VI Makassar, Letkol Laut A. Bahtiar, Kasatpol Air Polres Pelabuhan Makassar, Iptu I Wayan Suanda, Kepala DKPP Makassar Rahman Bando.

Kadiskum Lantamal VI, Letkol Laut A Bahtiar menjelaskan pihaknya telah intens melakukan penegakan hukum bagi pelaku Destructive Fishing di wilayah kepulauan Spermonde.

"Cuma kami mengalami kekecewaan dimana penyidik mengeluarkan hasil keputusan yang terlalu rendah. Hal tersebut dikarenakan adanya manipulasi data. Harus juga dibenahi jaksa dan hakim pemegang hukuman," jelas dia.

Sedangkan Kasatpol Air Polres Pelabuhan Makassar, Iptu I Wayan Suanda, menyampaikan penegakan hukum tidak cukup untuk menghentikan Destructive Fishing. Namun, perlu adanya upaya memberikan solusi seperti penangkapan alternatif kepada nelayan.

"Banyak yang telah kami tangkap, tapi yang lain tidak kapok. Mereka menganggap lebih baik mati berdarah atau ditangkap karena bom, dari pada mati kelaparan,"ungkap I Wayan.

Menurutnya perwira polisi asal Bali ini, kesuksesan memberantas Destructive Fishing dilihat bukan dari berapa banyak yang telah didapatkan, tapi bagaimana penindakan pelanggaran telah mencapai diangka nol.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan Peternakan Kota Makassar Rahman Bando pada kesempatan itu berbeda pendapat degan mengungkapkan bahwaberbicara kejahatan di laut seperti bom, bius, cantrang dan lain-lain tidak seharusnya selalu menyalahkan nelayan.

"Fakta lapangan, kenapa pakai bom atau bius. Nelayan malah bertanya balik, apakah tersedia alat tangkap ramah lingkungan, bisa menghasilkan banyak dan harga murah. Jujur saya tidak bisa menjawab," beber Rahman.

Dirinya menganggap negara belum fokus dalam mengelolah industri kelautan dan perikanan. Kewajiban negara belum dijalankan seperti pertanyaan nelayan tadi. Apabila negara tidak mampu melakukan kewajibannya kepada nelayan maka DF tetap akan ada sampai anak cucu kembali memiliki cucu.

"Lebih mudah menangkap nelayan dari pada menangkap ikan sekarang ini jika harus ramah lingkungan. Negara dan pemerintah dibutuhkan untuk memberikan perhatian kepada mereka para nelayan," tambahnya.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor :
Copyright © ANTARA 2024