Jakarta (Antaranews Sulsel) - Garam kerap dikenal sebagai alat untuk memberikan rasa asin kepada makanan, namun sebenarnya dari zaman kuno, komoditas tersebut telah menjadi benda yang sangat vital bagi kehidupan banyak masyarakat.

 Misalnya kata "salary" yang berarti upah, banyak disebut berasal dari kata dalam bahasa Latin yang bermakna garam, karena menurut kabar bahwa serdadu Romawi Kuno ada yang dibayar dengan menggunakan komoditas tersebut.

 Garam juga kerap dapat menjadi penyebab mundurnya suatu kerajaan. Seperti pertambangan garam di Polandia menimbulkan kemakmuran bagi Kerajaan Polandia pada abad ke-16. Namun setelah datangnya garam laut (yang didatangkan oleh pelaut Jerman), maka perdagangan garam dari Polandia menurun sehingga tingkat kemakmuran masyarakat di sana juga menurun.

 Begitu juga catatan sejarah menunjukkan bahwa kota pelabuhan Venesia dan Genoa pernah berperang karena ingin memonopoli perdagangan garam.

 Salah satu pajak yang mengakibatkan munculnya Revolusi Prancis adalah pajak terhadap komoditas garam sehingga harganya melambung tinggi dan sukar terjangkau warga.

 Demikian pula di masa modern, di mana gerakan kemerdekaan India juga diwarnai gerakan Satyagraha yang dicetuskan Gandhi untuk menentang pajak garam oleh Inggris.

 Pada abad ke-21 ini pula, garam juga kerap menjadi salah satu hal yang hangat diperbincangkan di dalam negeri, terutama terkait kebijakan impor garam.

 
Komitmen benahi

 Untuk itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan pemerintah untuk semakin memperkuat komitmen dalam membenahi tata kelola garam nasional di berbagai daerah.

Menurut Sekjen Kiara Susan Herawati, munculnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, tidak berpihak terhadap keberlanjutan, dan kesejahteraan petambak garam.

Sebaliknya, ujar dia, PP itu dinilai semakin mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini jelas-jelas hanya menguntungkan segelintir golongan.

Susan berpendapat bahwa PP tersebut menunjukkan rupa negara yang lebih suka impor, ketimbang memperbaiki tata kelola garam Indonesia.

Ia mengingatkan substansi PP No. 9 Tahun 2018 sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Hal tersebut, dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu di dalam UU no 7 Tahun 2016, kewenangan pengendalian Impor komoditas perikanan dan pergaraman berada di bawah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sementara di dalam PP 9 Tahun 2018, kewenangannya berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.

Dengan demikian, hal tersebut dinilai juga berpotensi terus melanggengkan egosektoral kementerian dalam urusan impor komoditas tersebut.

Ia juga menyoroti bahwa UU No 7/2016 menetapkan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib impor garam dengan sangat jelas, yakni mengikuti ketentuan dan aturan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan PP No 9/2018 dinilai mengaburkan hal itu.

Setelah mempertimbangkan dua hal utama ini, tambah Susan, PP 9 Tahun 2018 ini harus segera dibatalkan karena jelas-jelas bertentangan dengan UU No 7 Tahun 2016 sekaligus berpotensi mematikan industri perikanan dan pergaraman rakyat di Indonesia.


Harga garam

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi menginginkan agar harga garam domestik yang dihasilkan oleh petambak garam di berbagai daerah jangan sampai jatuh hanya karena impor komoditas garam.

Dia mengingatkan bahwa petani petambak garam sudah bekerja dengan keras dan menunggu lama agar bisa memanen garam sehingga jangan sampai saat panen harga malah anjlok.

Untuk itu, pemerintah diharapkan untuk dapat melakukan stabilisasi harga garam di pasaran nasional.

 Politisi PAN itu mengingatkan, sesuai UU No. 7/2016, negara dalam hal ini pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada petani tambak garam.

 Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Khilmi mengingatkan pemerintah agar regulasi terkait dengan impor komoditas garam jangan sampai menyimpang dari undang-undang yang berhubungan dengan hal tersebut.

 Menurut dia, salah satu pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah adalah seperti dalam masalah impor garam, di mana pemerintah langsung mengambil kebijakan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang tidak selaras dengan UU di atasnya.

 Politisi Gerindra itu juga menginginkan ke depannya agar ada sinergi yang baik antara DPR sebagai legislatif dan eksekutif selaku pemegang kekuasaan.

 
Memutus impor

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan saat memberikan kuliah umum di Yogyakarta, Jumat (9/2), meminta impor garam untuk kebutuhan industri bisa dihentikan pada 2020.

Menurut dia, untuk memutus ketergantungan impor, pemerintah telah menyiapkan lahan 30.000 hektare untuk produksi garam di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia meyakini dengan memanfaatkan teknologi yang lebih baik kebutuhan garam industri dalam negeri bisa terpenuhi, tanpa impor.

Luhut menilai panjang garis pantai di Indonesia yang mencapai 99.093 kilometer menjadi modal yang cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi maupun industri dalam negeri. Hanya saja, kata Luhut, pemanfaatannya selama ini belum optimal.

Menko Kemaritiman juga mengemukakan bahwa apabila sejak dahulu produksi garam untuk kebutuhan industri dikelola dengan serius, Indonesia tidak perlu mendatangkan garam industri dari luar negeri.

Dalam sejumlah kesempatan lain, Luhut juga menyebut bahwa Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebagai pihak yang paling mumpuni dalam urusan impor garam.

Luhut mengatakan hal itu terkait dengan kebijakan pemenuhan garam untuk industri dengan impor tidak lagi memerlukan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melainkan diputuskan langsung Kementerian Perindustrian.

Menko Kemaritiman memastikan Indonesia tidak pernah kekurangan pasokan garam konsumsi. Namun, pasokan garam industri memang diakui masih terus kekurangan.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Agung Kuswandono di Cirebon, Selasa (20/3) mengatakan, pemerintah membuka lahan produksi garam baru di wilayah timur Indonesia agar bisa swasembada garam pada 2021.

Agung memaparkan bahwa sejumlah wilayah sudah dibuat perluasan lahan baru produksi garam seperti di NTT, Kupang, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Ende, dan Malaka.

Selain itu, pembukaan lahan produksi garam baru itu adalah upaya Pemerintah supaya Indonesia bisa swasembada garam pada tahun 2021.

 Nasib pekerja

Lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menginginkan pemerintah dapat memperhatikan nasib para pekerja yang sangat bergantung kepada keluarnya izin impor garam karena perusahaan tempat mereka bekerja sangat membutuhkannya.

Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi memaparkan, impor garam yang dilakukan pada akhir Januari 2018 lalu hanya diperuntukkan untuk industri chlor alkali plant (CAP) yang mengolah garam yang biasa digunakan oleh petrokimia dan industri kertas.

Padahal, menurut dia, masih banyak industri yang juga membutuhkan garam untuk kegiatan produksinya.

Ia berpendapat bahwa industri pangan adalah salah satu yang paling terdampak akibat belum turunnya rekomendasi atau izin impor garam dari pemerintah.

Dikhawatirkan hal itu, ujar dia, akan mengancam kelangsungan hidup jutaan pekerja di sektor industri pangan karena kegiatan produksi terhenti karena tidak memiliki bahan baku.

Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, kebutuhan garam industri untuk 2018 berjumlah sekitar 3,7 juta ton. Industri yang membutuhkan jumlah garam terbesar adalah industri petrokimia yaitu sebesar 1.780.000 ton.

Berikutnya adalah industri pulp dan kertas yang membutuhkan pasokan garam industri sebesar 708.500 ton. Tempat ketiga diduduki oleh industri pangan yang membutuhkan pasokan garam industri sebesar 535.000.

Selain itu masih ada sederet industri yang membutuhkan pasokan garam industri, seperti pengasinan ikan, kosmetik, tekstil, sabun dan deterjen, pakan ternak, penyamakan kulit, pengeboran minyak dan lain-lain.

Dengan banyaknya industri yang membutuhkan pasokan garam, maka pembenahan tata kelola garam harus segera diupayakan dengan jelas dan benar-benar melibatkan seluruh pihak terkait.


Pewarta : Muhammad Razi Rahman
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024