Jakarta (ANTARA) - Di luar krisis penangguhan sejumlah pertandingan akibat gelombang infeksi COVID-19 oleh varian baru Omicron yang menimpa sejumlah timnya, Liga Inggris tetap menjadi liga yang semakin menarik karena kian seru dan menegangkan.
Manchester City yang memuncaki klasemen, Liverpool dan Chelsea yang terus menguntitnya, terus menerus saling mengejar, saling menunggu pesaing-pesaingnya terpeleset. Man City sedikit agak di atas namun belum bisa menjamin tak akan tersusul oleh yang lain.
Ketiganya saling mengintip sembari menelan lawan-lawannya agar tetap dalam pacuan utama menuju gelar liga musim ini.
Bukan cuma mereka, tim-tim di bawahnya juga sama sengitnya untuk berusaha tetap di jalur ini, sambil saling berharap tim-tim di atas dan di bawah mereka tergelincir.
Arsenal yang sempat melempem awal musim, kini bertransformasi menjadi kekuatan menakutkan. Bersama 35 poin yang dikemasnya, mereka menyalip West Ham United untuk masuk zona empat besar.
Tetapi The Gunner jauh dari kata aman karena dua tim di bawahnya berpeluang menggeser klub London itu atau bisa saja makin menempel tiga besar, seandainya Man City, Liverpool dan Chelsea menemui jalan terjal pada pertandingan-pertandingan berikutnya.
Tottenham Hotspur yang salin rupa menjadi salah satu tim juara sejak Antonio Conte datang melatih mereka adalah yang paling berpeluang besar menurunkan Arsenal.
Manchester United di bawah pelatih baru Ralf Rangnick juga masih menjadi ancaman, sepanjang penyakit lamanya yakni tampil tidak konsisten belum juga sembuh, selain seberapa lama mereka beradaptasi dengan filosofi sepak bola Rangnick.
Hasil seri 1-1 melawan Newcastle United yang terancam degradasi membuktikan pekerjaan rumah Rangnick masih terlalu banyak sebelum bisa memasukkan kembali Setan Merah ke dalam elite penguasa Liga Inggris.
Secara khusus laga-laga berikutnya akan menjadi pembuktian untuk Conte dan Rangnick apakah rumus sepak bola mereka yang selama ini paling sering dikupas, ampuh membuat pasukannya sejajar dengan trio City, Liverpool dan Chelsea.
Pelatih akan menjadi faktor terpenting di tengah kompetisi yang terus didera masalah cedera dan gelombang infeksi COVID-19 yang kembali meninggi setelah varian Omicron yang jauh lebih cepat menular tengah menerjang Inggris.
Rangnick dan juga Tuchel serta Klopp, meminta aturan tiga kali pergantian pemain diubah menjadi lima pergantian pemain seperti berlaku musim lalu ketika Liga Inggris bermain dalam stadion tertutup akibat pandemi COVID-19. Aturan itu juga dipertahankan oleh liga-liga besar di Eropa.
Dengan melihat semua faktor itu, agak sulit menaksir siapa yang akan paling konsisten, apalagi Omicron dan cedera membuat mereka kerap harus bermain dengan skuad yang sudah terpangkas kekuatan intinya.
Tapi di antara itu semua adalah Manchester City dan kiprah Pep Guardiola yang paling menarik untuk dicermati. The Citizens saat ini menjadi kekuatan yang mungkin paling padu dan makin mengerikan.
Grandmaster Guardiola
Orang menilai sukses City berpijak kepada team work yang kuat. Kenyataannya mereka bisa berada pada levelnya saat ini karena ditunjang pemain-pemain hebat secara individual.
Berbeda dari kebanyakan tim-tim Inggris lainnya, kualitas individual itu menyatu dalam tim yang kompak yang bermain dalam kolektivitas tinggi sampai lawan pun sulit mencari titik lemahnya.
Dan Guardiola berperan sangat besar dalam membentuk individu-individu hebat ini menjadi sebuah tim yang maut dan agresor sejati di lapangan hijau.
Bagi Guardiola sepak bola adalah juga seni memilih pemain yang paling dibutuhkan timnya sehingga pijakannya tetap kualitas individual pemain. Dan dia diberkati oleh kualitas skuad yang merata dalam semua lini dan lapis.
Laman harian terkemuka Inggris, The Guardian, menyandingkan kemampuan mantan pelatih Barcelona dan Bayern Muenchen itu dalam meracik tim dengan grandmaster catur atau dirigen yang mengharmonikan nada semua instrumen dalam sebuah orkestra.
Dia akan segera tahu mana instrumen yang tidak disetel dengan baik sehingga menciptakan irama yang sumbang, tetapi juga tahu mana instrumen yang semestinya ditempatkan sebagai bagian sentral di lapangan.
Guardiola juga sangat komunikatif dengan tak sungkan memberi tahu pemain-pemainnya mengenai kekuatan dan kelemahan mereka sampai semua pemain termasuk yang tidak diturunkan bermain sekalipun tahu bahwa manajernya telah berlaku benar.
Dia juga membuat pemain-pemain seperti bek sayap Kyle Walker semakin baik dari waktu ke waktu. Dia loyal kepada semua pemainnya sebagaimana pemainnya loyal kepada dia, dan ini membuat semua pemain merasa aman. Tak ada yang mengeluh di belakangnya, sebaliknya semua pemain berjuang keras untuk bisa dimainkan.
Tak ada pula pemain City yang setengah-setengah di lapangan seperti terjadi pada sejumlah klub tetangga, terutama karena situasi kontrak pemain dan komitmen pemain itu sendiri.
City sebaliknya, makin padu saja. Permainannya dengan mudah dikenali siapa pun, dari cara berlari mengejar, mengalirkan dan mendribel bola itu, lalu mengarahkannya ke jantung pertahanan lawan secara bersama-sama bagaikan harmoni nada dalam orkestra musik dan persis seperti Barcelona pada masa jayanya yang dicangkok total football oleh mentornya, Johan Cruyff.
Sudah pasti semua itu tak dicapai dalam waktu singkat, sebaliknya butuh proses panjang dan kerja keras untuk bisa tampil superior seperti sekarang.
Guardiola menuntut semua pemainnya turut menyumbang demi tim. Dengan cara begini, bek bisa mencetak gol bukan lagi dari bola mati, dan gelandang atau bahkan pemain depan bisa cepat turun membantu pertahanan persis total-tootball-nya Belanda yang dibawa Johan Cruyff ke Barcelona.
Guardiola juga memuliakan pemain yang sungguh luar biasa seperti Lionel Messi sewaktu di Barcelona dulu yang tumbuh menjadi keajaiban dunia, dengan cara menafsirkan kembali posisi pemain sebagaimana dia lakukan juga kepada Ilkay Gundogan dan lainnya di Manchester City.
Team-work memang identitas besar Man City, tetapi tempat lapang yang dia berikan kepada Gundogan atau Kevin de Bruyne atau siapa saja yang kreatif, menunjukkan Guardiola lebih mengagungkan kreativitas ketimbang skema. Dia tak fanatik kepada formasi 4-3-3 atau 3-5-2 atau skema-skema lain.
Sebaliknya, dengan pendekatan melatih yang memposisikan pemain sebagai rekan, bukan cuma yang bisa dia perintah, Guardiola membuat City semakin kompak dan kaut sehingga berkesempatan besar guna kembali menjadi kampiun Liga Inggris.
Pada akhirnya status ini bisa membantu City sukses dalam kompetisi kontinental, termasuk mengatasi kegagapan seperti saat final Liga Champions sehingga trofi benua pun tak lagi sulit untuk direngkuh.
Tapi kompetisi masih panjang, dan Liverpool serta Chelsea masih menjadi pihak yang paling mungkin merusak impian City. Untuk itulah, setengah musim terakhir ke depan bakal bakal makin seru dan mendebarkan.