Makassar, 15/8 (Antara) - Tanggal 18 Agustus 1945 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut bangsa yang baru sehari memproklamasikan kemerdekaanya ini telah memiliki konstitusi guna mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penyusunan konstitusi tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang dan rumit. Latar belakang bangsa Indonesia yang terdiri atas bermacam suku, budaya, dan agama telah memberikan corak tersendiri bagi lahirnya konstitusi tersebut.
Dengan semangat kuat untuk segera menjadi bangsa yang merdeka, semua perselisihan dapat diselesaikan dengan baik. Semangat persatuan dan kesatuan mendapatkan posisi yang istimewa dalam menyikapi setiap perbedaan yang ada.
Masalah yang muncul terakhir menjelang disahkannya UUD 1945 adalah adanya rasa keberatan dari sebagian elemen bangsa apabila dasar negara (Pancasila) yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 menyebutkan "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Sebagian umat Islam masih mempermasalahkan hilangnya tujuh kata tersebut. Namun, sebagian besar umat Islam Indonesia telah dapat memakluminya dan menerima Pancasila sebagai dasar negara hingga dewasa ini.
Rumusan awal dari dasar negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sesuai dengan Piagam Jakarta yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan. Secara keseluruhan sila-sila yang terdapat dalam Piagam Jakarta adalah:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila dibandingkan dengan Pancasila yang berlaku hingga dewasa ini, perbedaannya terletak pada sila pertama. Sila pertama tersebut berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa", tujuh kata setelah kata "Ketuhanan" pada Piagam Jakarta dihapuskan.
Hapusnya tujuh kata tersebut berawal dari adanya keberatan dari elemen bangsa yang berasal dari kawasan timur Indonesia pada petang hari tanggal 17 Agustus 1945. Keberatan tersebut disampaikan kepada PPKI. Esok harinya, menjelang sidang PPKI, masalah tersebut dapat diselesaikan oleh lima orang anggota PPKI, yakni: Drs. Moh. Hatta, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan.
Para founding father tersebut akhinya memutuskan untuk menghilangkan tujuh kata terakhir sila pertama Piagam Jakarta dan menggantikannya dengan kata "Yang Maha Esa." Dengan demikian, sila pertama dalam Pancasila menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Sebagian umat Islam masih menyayangkan hilangnya tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta tersebut. Hal ini mereka anggap sebagai ketidakberhasilan dalam mewarnai dasar negara dengan syariat Islam. Moh. Hatta dan keempat anggota PPKI lainnya dianggap bertanggungjawab terhadap hilangnya tujuh kata tersebut.
Perjanjian Hudaibiyah
Di masa Rasulullah SAW pernah ada kejadian yang mirip dengan hilangnya tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta tersebut. Kejadian tersebut adalah Perjanjian Hudaibiyah pada Maret 628M. Perjanjian ini berawal dari keinginan kaum muslimin (Madinah) untuk menunaikan ibadah haji di Baitullah, Ka�bah di Makkah.
Kaum Quraisy Makkah yang pada waktu itu belum menganut agama Rasulullah SAW merasa keberatan dengan keinginan kaum muslimin dari Madinah tersebut. Bahkan mereka menyangka kaum muslimin akan melakukan penyerangan terhadap mereka.
Kedua kelompok besar masyarakat ini akhirnya melakukan perundingan yang cukup alot. Penduduk Makkah yang diwakili oleh Suhail bin Amr yang begitu keras dalam mempertahankan pendapatnya. Bahkan sebelum perundingan, Suhail bersama penduduk Makkah sudah berkeputusan agar Muhammad SAW dan kaum muslimin kembali ke Madinah dan tidak menunaikan ibadah haji tahun tersebut.
Di sisi yang lain, Rasulullah SAW dirasakan oleh kaum muslimin begitu longgar dalam melakukan perundingan. Umar bin Khattab pun geram dan kesal hingga sempat berkeluh kesah mengenai hal ini kepada Abu Bakar.
Umar juga menyampaikan kegalauan hatinya tersebut kepada Rasulullah SAW. Di akhir pembicaraannya dengan Umar, Rasulullah SAW mengatakan: "Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya." Tidak ada pilihan lain bagi Umar dan umat Islam lainnya kecuali mengikuti keputusan Rasulullah SAW.
Pada saat menuangkan hasil perundingan dalam naskah perjanjian, Umar dan kaum muslimin lainnya lebih dibuat kesal lagi oleh Suhail bin Amr karena sikapnya yang ingin menang sendiri. Dalam menulis perjanjian tersebut Rasulullah SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib sebagai juru tulisnya. Rasulullah SAW pun memerintahkan kepada Ali:
"Tulis Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang).
Suhail pun menyela: "Stop! nama rahman dan rahim tidak saya kenal. Tetapi tulislah bismikallahumma (dengan nama-Mu ya Allah).
Kata Rasulullah selanjutnya pada Ali: "Tulislah bismikallahumma." Rasulullah pun melanjutkan: Tulis: inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr."
Suhail pun segera menyela: "Stop! Kalau saya sudah mengakui Anda sebagai rasulullah, tentu saya tidak akan memerangimu. Tetapi, tulislah namamu dan nama bapakmu."Kata Rasulullah SAW selanjutnya: "Tulis: inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah."
Sikap Rasulullah SAW dalam menghadapi para penentangnya yang diwakili oleh Suhail ternyata di luar dugaan para sahabat. Beliau begitu longgar dan bahkan kelihatan mengalah dalam perundingan dan penulisan perjanjian.
Sikap ini beliau maksudkan untuk tetap menjaga perdamaian di antara kaum muslimin dan masyarakat Arab yang belum menganut Islam. Beliau lebih mengedepankan perdamaian daripada peperangan dan perpecahan walaupun beliau bersama para sahabat mampu untuk melaksanakan peperangan.
Kendatipun seolah-olah Rasulullah SAW mengalami mengalami kekalahan dalam perjanjian tersebut, tetapi hikmah dan manfaat besar diperoleh umat Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah disepakati. Umat Islam tidak lagi mendapatkan gangguan dari kafir Quraisy pada waktu itu.
Hal ini merupakan kesempatan bagi Rasulullah dan para sahabat untuk memperluas dakwah ke pelosok arab lainnya. Syiar Islam pun segera tersebar luas setelah perjanjian itu.
Hikmah berikutnya, dengan adanya perjanjian tersebut berarti kedudukan umat Islam di kalangan Arab telah diakui eksistensinya. Kaum muslimin tidak lagi dianggap sebagai pemberontak yang harus dilenyapkan.
Hal ini merupakan kemenangan secara politik yang tidak diperkirakan sebelumnya oleh para sahabat Rasulullah. Dengan perjanjian tersebut, kaum muslimin sudah diperkenankan untuk menunaikan ibadah haji tanpa gangguan sedikitpun. Dengan sedikit kesabaran, banyak hikmah dan kemenangan umat Islam di balik Perjanjian Hudaibiyah.
Penutup
Kisah perundingan dan perjanjian hudaibiyah di atas mirip yang dialami oleh PPKI tatkala menerima keberatan dari elemen bangsa Indonesia yang dari kawasan timur.
Suhail bin Amr yang tidak mau menggunakan kata "bismillahir-rahmanir-rahim" menunjukkan bahwa dia tidak mau kata yang bernuansa Islam tersebut muncul dalam dokumen perjanjian.
Demikian juga dengan keberatan Suhail bin Amr terhadap kata "rasulullah". Hal ini dapat dianalogkan dengan keberatan elemen bangsa Indonesia yang tidak berasal dari umat Islam terhadap tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta.
Dengan adanya tujuh kata tersebut mereka menganggap seolah-olah negara hanya memperhatikan sebagian elemen bangsa, yakni umat Islam. Kata "syariat Islam" tertuang di dalam dasar negara dan konstitusi yang berarti negara hanya memedulikan kehidupan beragama bagi umat Islam saja.
Di sisi yang lain dapat dibayangkan betapa beratnya kehidupan umat Islam Indonesia apabila tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta tersebut tidak dihilangkan. Negara memberlakukan hukuman kepada kaum muslimin yang melanggar syariat Islam.
Umat Islam yang tidak menunaikan shalat harus dihukum dan dimasukkan dalam penjara. Umat Islam yang mencuri harus dipotong tangannya. Umat Islam yang tidak berpuasa juga harus dimasukkan penjara.
Demikian juga dengan umat Islam yang kaya, tetapi tidak mennunaikan zakat. Apabila hal ini diterapkan, bisa jadi penjara yang ada tidak akan mampu menampung karena begitu banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh umat Islam.
Contoh kecil dari hal ini, masih banyak umat Islam yang tidak menunaikan shalat lima waktu secara tertib, masih banyak umat Islam yang seharusnya berpuasa di bulan Ramadhan tetapi mereka meninggalkannya, serta masih banyak orang Islam yang wajib berzakat tetapi enggan untuk membayarnya.
Bagi umat Islam kebanyakan, mungkin saja mereka merasa diperlakukan dengan tidak adil (tidak sama) dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Pemeluk agama lain yang tidak melaksanakan kegiatan ibadah pada hari yang ditentukan dan di rumah ibadah yang ditentukan, tidak dapat dihukum dan dipenjarakan oleh negara karena konstitusi/dasar negara memang tidak mewajibkannya.
Jujur harus diakui, umat Islam merupakan umat yang mayoritas di Indonesia, tetapi yang taat menjalankan syariat Islam belum tentu mencapai angka lima puluh persennya. Masih banyak umat Islam yang lemah imannya.
Apabila mereka dikenakan kewajiban menjalankan syariat Islam secara ketat oleh negara, bukan tidak mungkin mereka justru akan ramai-ramai keluar dari Islam. Hal ini tentu akan sangat disayangkan oleh kaum muslimin secara keseluruhan.
Apabila Perjanjian Hudaibiyah telah mendatangkan hikmah yang besar bagi perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, maka umat Islam Indonesia juga harus dapat memetik hikmah di balik hilangnya tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta tersebut.
Hal ini merupakan tantangan bagi umat Islam untuk mewujudkannya. Umat Islam harus bisa membuktikan berkembangnya pelaksanaan syariat Islam di kalangan kaum muslimin walaupun tanpa peran negara dan legalitas formal dalam konstitusi/dasar negara.
Umat Islam harus bisa membuktikan bahwa Islam memang menjadi rahmatal-lil alamin, rahmat bagi sekalian alam. Sekalian alam diartikan bukan hanya umat Islam, tetapi juga umat beragama lainnya, bahkan sekalian makhluk yang ada di muka bumi.
Semoga bangsa Indonesia yang sudah berusia lebih dari setengah abad ini akan semakin bijak dalam menyikapi setiap persoalan. Kehidupan berbangsa dan bernegara semoga juga semakin membawa bangsa ini ke arah kesejahteraan dan keberkahan.
Umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini juga dapat mengayomi penduduk yang lainnya. Demikian juga dengan penganut agama lainnya akan semakin bersinergi menggalang kebersamaan guna mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur.
*)Penulis adalah widyaiswara Balai Diklat Keuangan, Kementerian Keuangan dan Mahasiswa S-3 Ekonomi Islam UIN Alauddin Makassar.