Polri ungkap kasus TPPO ke Australia dengan modus eksploitasi prostitusi
Jakarta (ANTARA) - Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus eksploitasi menjadi pekerja prostitusi di Australia.
"Pengungkapan tindak pidana perdagangan orang dengan modus membawa warga negara Indonesia (WNI) ke luar negeri, yaitu ke Australia, untuk dieksploitasi secara seksual," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan pengungkapan kasus ini merupakan hasil kerja sama antara Polri dengan Australian Federal Police (AFP) yang dinamakan "Operation Mirani".
Dalam kasus tersebut, kata dia, penyidik mengungkap dua tersangka, yakni FLA dan SS alias Batman. Tersangka FLA berperan sebagai perekrut korban dengan bertugas menyiapkan visa dan tiket keberangkatan korban ke Sydney, Australia.
Ia mengatakan, unsur TPPO yang ditemukan dalam kasus ini adalah tersangka FLA merekrut dan memberangkatkan para korban secara non-prosedural, yakni menggunakan dokumen palsu untuk mengurus visa, sehingga korban tereksploitasi secara seksual.
Sementara itu, SS alias Batman berperan sebagai koordinator di beberapa tempat prostitusi di Sydney.
"Tersangka Batman menjemput, menampung, dan mempekerjakan para korban di beberapa tempat prostitusi di Sydney, serta memperoleh keuntungan dari korban," ungkap dia.
Pengungkapan kasus ini berawal dari adanya informasi dari AFP pada tanggal 6 September 2023 tentang dugaan adanya TPPO yang melibatkan WNI dengan modus menjadi pekerja seks komersial di Sydney. Kemudian, informasi tersebut menjadi bahan penyelidikan penyidik Polri hingga akhirnya berhasil menangkap FLA pada 18 Maret 2024.
"Dari pengakuan tersangka, jaringan ini sudah melakukan aktivitas sejak tahun 2019 di mana WNI yang direkrut dan diberangkatkan serta dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di Australia kurang lebih sebanyak 50 orang, dan tersangka mendapatkan keuntungan sekitar Rp500 juta," ucap dia.
Keterangan tersebut kemudian diteruskan kepada AFP dan menjadi tambahan bukti pendukung bagi AFP untuk melakukan proses hukum kepada tersangka SS alias Batman. Akhirnya, tersangka Batman ditangkap pada tanggal 10 Juli 2024, dan kini sedang ditahan oleh kepolisian Australia.
Barang bukti yang disita salah satunya adalah 28 paspor milik WNI yang saat ini tengah didalami apakah paspor tersebut milik korban atau bukan.
Tersangka dijerat dengan Pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta.
Untuk langkah selanjutnya, Dittipidum Bareskrim Polri akan terus bekerja sama dengan AFP, Divhubinter Polri, dan Kementerian Luar Negeri untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
"Kerja sama ini untuk menelusuri tersangka lainnya dan untuk membantu mengidentifikasi para korban yang telah diberangkatkan oleh jaringan ini," ujarnya.
"Pengungkapan tindak pidana perdagangan orang dengan modus membawa warga negara Indonesia (WNI) ke luar negeri, yaitu ke Australia, untuk dieksploitasi secara seksual," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan pengungkapan kasus ini merupakan hasil kerja sama antara Polri dengan Australian Federal Police (AFP) yang dinamakan "Operation Mirani".
Dalam kasus tersebut, kata dia, penyidik mengungkap dua tersangka, yakni FLA dan SS alias Batman. Tersangka FLA berperan sebagai perekrut korban dengan bertugas menyiapkan visa dan tiket keberangkatan korban ke Sydney, Australia.
Ia mengatakan, unsur TPPO yang ditemukan dalam kasus ini adalah tersangka FLA merekrut dan memberangkatkan para korban secara non-prosedural, yakni menggunakan dokumen palsu untuk mengurus visa, sehingga korban tereksploitasi secara seksual.
Sementara itu, SS alias Batman berperan sebagai koordinator di beberapa tempat prostitusi di Sydney.
"Tersangka Batman menjemput, menampung, dan mempekerjakan para korban di beberapa tempat prostitusi di Sydney, serta memperoleh keuntungan dari korban," ungkap dia.
Pengungkapan kasus ini berawal dari adanya informasi dari AFP pada tanggal 6 September 2023 tentang dugaan adanya TPPO yang melibatkan WNI dengan modus menjadi pekerja seks komersial di Sydney. Kemudian, informasi tersebut menjadi bahan penyelidikan penyidik Polri hingga akhirnya berhasil menangkap FLA pada 18 Maret 2024.
"Dari pengakuan tersangka, jaringan ini sudah melakukan aktivitas sejak tahun 2019 di mana WNI yang direkrut dan diberangkatkan serta dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di Australia kurang lebih sebanyak 50 orang, dan tersangka mendapatkan keuntungan sekitar Rp500 juta," ucap dia.
Keterangan tersebut kemudian diteruskan kepada AFP dan menjadi tambahan bukti pendukung bagi AFP untuk melakukan proses hukum kepada tersangka SS alias Batman. Akhirnya, tersangka Batman ditangkap pada tanggal 10 Juli 2024, dan kini sedang ditahan oleh kepolisian Australia.
Barang bukti yang disita salah satunya adalah 28 paspor milik WNI yang saat ini tengah didalami apakah paspor tersebut milik korban atau bukan.
Tersangka dijerat dengan Pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta.
Untuk langkah selanjutnya, Dittipidum Bareskrim Polri akan terus bekerja sama dengan AFP, Divhubinter Polri, dan Kementerian Luar Negeri untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
"Kerja sama ini untuk menelusuri tersangka lainnya dan untuk membantu mengidentifikasi para korban yang telah diberangkatkan oleh jaringan ini," ujarnya.