Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) telah memperbarui data proyeksi penduduk dari hasil Sensus Penduduk 2020 yang lalu. Proyeksi tersebut dapat menggambarkan jumlah penduduk hingga 30 tahun mendatang, yakni periode 2020-2050.
Perkiraan jumlah penduduk tersebut menggunakan asumsi perubahan komponen penduduk seperti tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi yang telah disepakati bersama dengan para pakar kependudukan di Indonesia.
Hasil proyeksi Sensus Penduduk menunjukkan, 26 tahun dari sekarang jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 328 juta jiwa atau meningkat sekitar 47 juta jiwa.
Dilihat dari komposisinya, penduduk umur 15–64 tahun yang merupakan penduduk usia produktif menjadi penduduk terbanyak, yakni 69,05 persen penduduk Indonesia di tahun 2024. Penduduk usia produktif ini diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2050.
Namun, peningkatan penduduk usia produktif tersebut juga diikuti dengan peningkatan rasio ketergantungan.
Rasio ketergantungan adalah ukuran yang digunakan untuk membandingkan penduduk usia produktif dengan penduduk usia nonproduktif. Semakin tinggi persentase rasio ketergantungan mengindikasikan semakin tinggi beban penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk dengan usia belum produktif dan tidak produktif lagi.
Pada tahun 2024, rasio ketergantungan bernilai 44,82 dan akan terus meningkat hingga 54,13 pada tahun 2050, yang berarti akan ada 54 penduduk usia nonproduktif yang ditanggung oleh setiap 100 penduduk usia produktif. Proyeksi penduduk ini menunjukkan Indonesia harus bergegas menyiapkan wadah bagi penduduk, khususnya usia produktif untuk berkarya.
Di lain sisi, Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) yang juga dilaksanakan BPS menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun 2023 menurun menjadi 5,32 persen dan Employement to Population Ratio (EPR) mengindikasikan adanya kenaikan penyerapan penduduk bekerja. Namun, lapangan pekerjaan untuk menghadapi tantangan kependudukan kedepannya tidak hanya sekadar dilihat dari kecukupan jumlah, tetapi juga kelayakan pekerjaan.
Pekerjaan layak didefinisikan sebagai pekerjaan yang menjamin setiap pekerja bekerja secara produktif dan terpenuhinya hak-hak asasi sebagai seorang manusia (BPS, 2023). Pekerja memiliki kesempatan atas pekerjaan yang produktif, mengembangkan diri, menerima pendapatan yang adil dan layak, keamanan di tempat kerja, perlindungan sosial bagi diri dan keluarganya, serta kebebasan untuk menyatakan pendapat, berorganisasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Nyatanya, mayoritas penduduk di Indonesia masih bekerja pada kegiatan informal yang pada umumnya kurang memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, ataupun imbalan kerja yang layak.
Pada tahun 2023, persentase penduduk bekerja di sektor informal mencapai 59,11 persen. Angka ini tidak terlalu mengejutkan mengingat komposisi angkatan kerja Indonesia didominasi oleh kelompok pendidikan tingkat dasar yang mencapai 52,14 persen.
Sakernas juga menunjukkan bahwa kelompok penduduk tamatan SD ke bawah lebih berpeluang masuk ke pekerjaan informal dibandingkan pekerjaan formal.
Persentase penduduk bekerja pada kegiatan informal paling tinggi terdapat pada kelompok penduduk tamatan SD ke bawah yaitu sekitar 80,21 persen. Kelompok yang mempunyai persentase penduduk bekerja pada kegiatan informal paling kecil terdapat pada kelompok penduduk tamatan perguruan tinggi yaitu sekitar 19,22 persen pada 2023.
Semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan seseorang, semakin besar peluang untuk bekerja pada kegiatan formal.
Indikator pekerjaan informal di atas menandakan bahwa akses jenjang pendidikan tinggi masih menjadi salah satu kunci untuk mengakses pekerjaan layak. Meskipun pendidikan tinggi bukan menjadi jaminan seseorang mudah mendapatkan pekerjaan layak, penduduk pada kelompok pendidikan rendah masih mempunyai keterbatasan untuk bekerja pada kegiatan formal yang pada umumnya memerlukan syarat dan kualifikasi tertentu.
Dari kelayakan upah, pada tahun 2023 masih terdapat 27,57 persen atau sekitar 14,54 juta buruh/karyawan/pegawai menerima upah yang rendah. Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya, secara persentase maupun jumlah absolut.
Sakernas 2023 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, upah yang terima juga semakin tinggi. Rata-rata upah dengan pendidikan perguruan tinggi mencapai 4,67 juta rupiah per bulan, untuk pendidikan SD ke bawah pada tahun 2023 sebesar 2,03 juta rupiah per bulan.
Teori dalam ketenagakerjaan telah banyak menjelaskan bahwa tingkat upah akan sebanding dengan keterampilan pekerja. Pada umumnya, pekerja kelompok pendidikan tinggi di Indonesia cenderung memiliki banyak akses untuk meningkatkan keterampilannya dibanding kelompok pendidikan rendah. Tak ayal, jika upah pada kelompok pendidikan tinggi akan lebih tinggi dibanding kelompok pendidikan rendah.
Namun demikian, program peningkatan upah sebaiknya lebih fokus pada peningkatan keterampilan yang tidak hanya didapat melalui pendidikan tinggi jalur formal, tetapi juga peningkatan keterampilan dari pendidikan nonformal yang dapat diakses oleh semua kalangan.
Selain itu, kunci akses pekerjaan formal dengan penyaringan ijazah saat ini juga perlu ditinjau ulang oleh berbagai pihak. Hal ini untuk mendukung kelompok berketerampilan yang tidak dapat mengakses pekerjaan formal tetap dapat mengakses pekerjaan layak.
Aspek penting lainnya dalam menunjang pekerjaan layak adalah jaminan sosial dalam bekerja. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak (UU No. 40 Tahun 2004). Pemenuhan jaminan sosial bagi buruh masih menjadi PR pemerintah yang perlu diperhatikan.
Berdasarkan Sakernas 2023, proporsi pekerja status buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas pertanian, dan pekerja bebas nonpertanian yang mendapat jaminan sosial belum mencapai setengah dari total pekerja tersebut, yakni sekitar 41,06 persen. Regulasi cipta kerja masih perlu menekankan perlindungan bagi pekerja di Indonesia.
Cipta kerja layak sudah sewajarnya menjadi prioritas utama presiden baru demi menjawab tantangan kependudukan di masa depan.
Indonesia tidak hanya dapat menghindari bom waktu dari kenaikan jumlah penduduk dan rasio ketergantungan, tetapi juga mengoptimalkan bonus demografi dengan pekerjaan layak. Upaya cipta pekerjaan layak juga dapat menjadi solusi penurunan kemiskinan di Indonesia jika dapat diakses oleh semua kalangan.
Komitmen pemerintah dalam hal ini sangatlah diperlukan. Selain itu, penguatan kolaborasi, regulasi, dan strategi terintegrasi tidak kalah penting dalam menunjang penciptaan pekerjaan layak untuk semua di Indonesia.
*) Febria Ramana merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
Editor: Slamet Hadi Purnomo