Jakarta (ANTARA) - Marc Marquez akhirnya menutup lingkaran panjang perjalanannya. Dari pemuda ajaib asal Cervera, Spanyol, menjadi ikon MotoGP yang nyaris kehilangan segalanya, lalu kembali berdiri di puncak dunia.
Dengan gelar juara dunia ketujuh yang diraih pada 2025, tepat 2.184 hari sejak terakhir kali ia menjuarai MotoGP, cerita Marquez seperti slogan pada perayaan gelar juaranya di Motegi, "Bukan Sekadar Angka" dalam catatan prestasi, melainkan simbol keteguhan dan kebangkitan manusia menghadapi nasib.
Marquez lahir pada 1993, angka yang kemudian ia bawa sebagai nomor balap yang melegenda: #93. Kariernya meroket sejak usia belia. Juara dunia 125cc pada 2010, juara dunia Moto2 pada 2012, dan pada 2013 ia langsung menorehkan kisah sensasional, yaitu menjadi rookie pertama dalam 35 tahun yang berhasil merebut gelar juara dunia MotoGP, saat usianya masih 20 tahun, yang kemudian memunculkan julukan "The Baby Alien".
Musim debut itu hanyalah permulaan. Antara 2013 hingga 2019, Marquez menjelma sebagai kekuatan dominan. Gayanya yang ekstrem saat melahap tikungan, yaitu “elbow down”, di mana siku ikut menyeret di aspal bersama lutut saat menikung, mengubah lanskap teknik balap MotoGP.
Pada 2014 ia memenangi 10 balapan beruntun. Tahun-tahun berikutnya, duel epik dengan Valentino Rossi, Andrea Dovizioso, dan Jorge Lorenzo menjadikan Marquez sebagai pusat gravitasi baru di lintasan. Tahun 2019 bahkan tercatat sebagai musim emas dengan 12 kemenangan dari 19 seri, 18 podium, serta rekor 420 poin. Capaian yang bahkan terasa seperti fiksi.
Namun, di balik euforia keajaibannya itu, takdir sudah menunggu di tikungan berikutnya.
Jatuh di Jerez, terperangkap dalam gelap
Musim 2020 dimulai di Jerez, dengan kalender yang dipengaruhi pandemi Covid-19. Marquez, di depan publiknya sendiri, tampil dengan mental seorang juara. Ia melaju kencang dari belakang, lap demi lap mencatat waktu nyaris mustahil, seolah menolak hukum keterbatasan manusia.
Namun, di Tikungan 3, semua berakhir pada kecelakaan keras yang membuat Marquez terpelanting tinggi ke udara, dan lengan kanannya patah.
Operasi pertama dijalani. Dalam seminggu ia mencoba kembali ke lintasan. Keputusan yang terburu-buru dan akhirnya memperburuk segalanya. Plat logam yang ditanam di lengan patah, infeksi menyerang, dan untuk pertama kalinya, dunia menyaksikan Marquez bukan sebagai alien di atas motor, melainkan manusia rapuh yang terbaring di meja operasi.
Empat kali operasi, rasa sakit yang tak kunjung reda, otot yang melemah, serta bayang-bayang pensiun dini. Seolah-olah cahaya yang selama ini menyinari jalannya perlahan padam. Antara 2020 hingga 2023, kariernya seperti perjalanan di lorong gelap tanpa ujung.
Seakan patah tulang lengan belum cukup, Marquez kembali dihantui masalah lama: diplopia atau gangguan penglihatan ganda. Cedera itu membuatnya absen di penghujung 2021. Pada 2022, sebuah highside (terpelanting dari motor) keras di Mandalika dan insiden lain membuat kondisinya makin rumit.
Puncaknya datang ketika ia memutuskan menjalani operasi keempat yang sangat berisiko di Mayo Clinic, Amerika Serikat. Dokter harus mematahkan kembali tulangnya, memutarnya sekitar 30 derajat, lalu menanam pelat baru. Saat itu, narasi yang beredar adalah momen pembuktian. Jika gagal, kariernya selesai.
Banyak yang percaya Marquez tak akan pernah kembali sama. Namun, keyakinannya tak pernah padam. Dari lorong rumah sakit hingga kembali ke paddock, ia terus membawa api kecil yang menolak padam, bahkan ketika badai hampir melenyapkan semuanya.
Perpisahan dengan Honda, awal baru di Ducati
Setelah lebih dari satu dekade bersama Repsol Honda, hubungan yang dulu penuh kemenangan berubah menjadi perjalanan penuh frustrasi. Motor yang tak kompetitif, cedera yang terus datang, serta serangkaian crash pahit, membuat Marquez harus mengambil keputusan untuk berpisah.
Keputusan itu diumumkan dengan emosional di Indonesia pada 2023. Ia meninggalkan kontrak bernilai jutaan euro, memilih bergabung dengan tim satelit Gresini Ducati dengan motor spesifikasi lama, nyaris tanpa bayaran.
Banyak yang menganggap langkah ini gila, bagaimana mungkin seorang juara dunia rela melepas segalanya hanya untuk kesempatan mengendarai Ducati bekas dari tahun-tahun sebelumnya?
Namun, di situlah letak keberanian seorang juara. Di Gresini, Marquez menemukan kembali semangat yang hilang. Musim 2024 ia menutup tahun dengan tiga kemenangan dan posisi ketiga klasemen akhir. Itu cukup untuk meyakinkan Ducati bahwa #93 masih memiliki sihir. Pada 2025, ia resmi masuk tim pabrikan Ducati Lenovo.
Musim 2025, kebangkitan Sang Alien
Di atas Desmosedici GP25, Marquez seperti lahir kembali. Bukan sekadar pembalap berpengalaman, ia kembali menjadi predator yang menebar teror di lintasan. Konsistensi, agresivitas, dan kecerdasan balap berpadu dalam satu musim yang disebut banyak orang sebagai salah satu penampilan paling dominan dalam sejarah MotoGP.
Hasilnya, gelar ketujuh MotoGP diraih di Motegi, Jepang, setelah finis kedua namun mengunci gelar juara dunia. 2.184 hari penantian seolah dibayar lunas dengan momen itu.
Apa yang membuat kisah Marquez begitu istimewa bukan hanya angka tujuh gelar atau catatan rekor semata. Yang membuatnya berbeda adalah konteks seorang atlet yang berada di ambang kehancuran, yang hampir berhenti, tetapi memilih untuk melawan.
Kebangkitannya kerap disejajarkan dengan Niki Lauda di Formula 1, Tiger Woods di golf, atau Michael Jordan di basket. Namun, ada sesuatu yang sangat personal dalam cerita Marquez. Marc Marquez bukan hanya melawan keterbatasan tubuh, melainkan juga melawan keraguan yang datang dari luar dan dalam dirinya sendiri.
Dalam olahraga, kemenangan sering kali diukur dari jumlah trofi. Namun pada titik tertentu, kemenangan terbesar justru datang dari keberanian untuk tidak menyerah ketika semua orang berkata “selesai”.
Dalam dunia olahraga, comeback sering kali dirayakan, tetapi sedikit yang bisa menandingi kisah epik milik Marc Marquez. Dari Cervera hingga Motegi, dari ruang operasi hingga podium juara, ia menunjukkan bahwa ketabahan dan menolak kalah bisa berbuah juara.

