Pengamat : Rantai korupsi dimulai dari proses politik
"Mata rantai korupsi sebenarnya dimulai dari proses politik, politik transaksional, penguasa jadi...
Makassar (ANTARA Sulsel) - Pengamat politik dari Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) Dr Saifuddin Al Mughniy mengatakan, mata rantai korupsi pada dasarnya dimulai dari proses politik.
"Mata rantai korupsi sebenarnya dimulai dari proses politik, politik transaksional, penguasa jadi pembeli suara, rakyat menjual suara," ungkap Saifuddin dalam Diskusi Akhir Tahun "Pengaruh Politik Terhadap Pasar Ekonomi 2017" yang digelar LKBN Antara Biro Sulsel di Makassar, Jumat.
Menurut Saifuddin, secara sederhana Indonesia dapat mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, namun demokrasi di Indonesia masih berbicara kuantitas, bukan kualitas.
"Demokrasi Indonesia baru terbatas pada partisipasi, mobilisasi yang tinggi, bukan mobilitas," kata dia.
Mobilitas, kata dia, berarti masyarakat dengan kesadaran dan pilihan sendiri datang ke tempat pemilihan dan memilih dengan hati nurani.
Namun, saat ini, pada praktiknya mobilisasi justru yang paling sering terjadi.
"Mobilisasi berarti masyarakat digerakkan oleh kelompok kepentingan tertentu dengan motif tertentu misalnya uang," ucapnya.
Dampaknya, kata Saifuddin, dapat terlihat sebagian besar anggota DPRD justru tidak tahu persoalan. "Yang banyak tahu itu adalah staff ahlinya," katanya.
Politik di Indonesia juga cenderung bersifat despotik. Artinya politik di atas segala-galanya. "Ini fenomena yang tidak bisa kita pungkiri," katanya.
Menurut Saifuddin, kebijakan pada akhirnya seringkali bersifat subjektif dan hanya berdasarkan kepentingan politik.
"Politik harus digagas dari akar budaya kita, apakah kita akan menjalankan visi kapitalisme, padahal kita punya ideologi Pancasila yang menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Diskusi akhir tahun yang diselenggarakan dalam rangkaian HUT LKBN Antara ke-79 ini dibuka oleh Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto. Tampil sebagai pemandu acara Redaktur Pemberitaan Antara Fredrich C Kuen dan pemateri lain Asisten Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulsel Hermanto.
"Mata rantai korupsi sebenarnya dimulai dari proses politik, politik transaksional, penguasa jadi pembeli suara, rakyat menjual suara," ungkap Saifuddin dalam Diskusi Akhir Tahun "Pengaruh Politik Terhadap Pasar Ekonomi 2017" yang digelar LKBN Antara Biro Sulsel di Makassar, Jumat.
Menurut Saifuddin, secara sederhana Indonesia dapat mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, namun demokrasi di Indonesia masih berbicara kuantitas, bukan kualitas.
"Demokrasi Indonesia baru terbatas pada partisipasi, mobilisasi yang tinggi, bukan mobilitas," kata dia.
Mobilitas, kata dia, berarti masyarakat dengan kesadaran dan pilihan sendiri datang ke tempat pemilihan dan memilih dengan hati nurani.
Namun, saat ini, pada praktiknya mobilisasi justru yang paling sering terjadi.
"Mobilisasi berarti masyarakat digerakkan oleh kelompok kepentingan tertentu dengan motif tertentu misalnya uang," ucapnya.
Dampaknya, kata Saifuddin, dapat terlihat sebagian besar anggota DPRD justru tidak tahu persoalan. "Yang banyak tahu itu adalah staff ahlinya," katanya.
Politik di Indonesia juga cenderung bersifat despotik. Artinya politik di atas segala-galanya. "Ini fenomena yang tidak bisa kita pungkiri," katanya.
Menurut Saifuddin, kebijakan pada akhirnya seringkali bersifat subjektif dan hanya berdasarkan kepentingan politik.
"Politik harus digagas dari akar budaya kita, apakah kita akan menjalankan visi kapitalisme, padahal kita punya ideologi Pancasila yang menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Diskusi akhir tahun yang diselenggarakan dalam rangkaian HUT LKBN Antara ke-79 ini dibuka oleh Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto. Tampil sebagai pemandu acara Redaktur Pemberitaan Antara Fredrich C Kuen dan pemateri lain Asisten Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulsel Hermanto.