Jakarta (ANTARA) - Saksi kasus dugaan korupsi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA), Henny Batara Maya mengatakan bahwa Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh membeli rumah di atas lahan seluas 850 meter persegi di Jakarta Selatan senilai Rp5,8 miliar, tetapi tidak pernah menempati rumah tersebut
Henny, yang merupakan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu menyampaikan rumah tersebut dibeli Gazalba dari dirinya pada tahun 2020.
"Pada awalnya saya buka dengan harga Rp6,8 miliar, namun setelah kesepakatan akhirnya tercapailah harga Rp5,8 miliar," ujar Henny dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana (Tipikor) Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan pembayaran uang pembelian rumah tersebut dilakukan Gazalba sebanyak dua kali melalui transfer ke rekening tantenya yang bernama Norma, lantaran sertifikat lahan bangunan tersebut masih tertanda atas nama Norma.
Setelah pembayaran lunas, Henny langsung memberikan kunci rumah tersebut kepada Gazalba.
Menurut dia, rumah itu tak pernah ditempati setelah dibeli oleh Gazalba.
"Kalau lewat rumah itu saya lihat tidak ada yang menempati sampai sekarang. Saya terkadang melewati rumah itu kalau memotong jalan karena rumah saya hanya berjarak satu kilometer dari rumah tersebut," tuturnya.
Selain dari pengamatannya, dirinya juga mengetahui bahwa rumah itu tak berpenghuni dari cerita pekerja yang biasa membersihkan rumah Gazalba lantaran orang tersebut juga bekerja di rumahnya.
"Ada yang biasa membersihkan semak belukar di rumah itu dan kerja sama saya juga, jadi saya tahu karena biasa memantau," ucap Henny.
Dalam kasus dugaan korupsi penanganan perkara di MA, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan total nilai Rp62,89 miliar.
Dugaan penerimaan itu meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU terdiri atas 18 ribu dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar AS (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar selama kurun waktu 2020-2022.
Gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba terkait dengan pengurusan perkara kasasi Pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada 2017.
Uang gratifikasi itu diduga diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyadh selaku penghubung antara Jawahirul Fuad dengan Gazalba pada 2022 setelah pengucapan putusan perkara, yang mana Gazalba menerima Rp200 juta dan Riyadh menerima uang sebesar Rp450 juta, sehingga total gratifikasi yang diterima keduanya sebesar Rp650 juta.
Selanjutnya uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh dan teman dekat terdakwa, Fify Mulyani.
Dengan demikian, perbuatan Gazalba terancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Henny, yang merupakan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu menyampaikan rumah tersebut dibeli Gazalba dari dirinya pada tahun 2020.
"Pada awalnya saya buka dengan harga Rp6,8 miliar, namun setelah kesepakatan akhirnya tercapailah harga Rp5,8 miliar," ujar Henny dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana (Tipikor) Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan pembayaran uang pembelian rumah tersebut dilakukan Gazalba sebanyak dua kali melalui transfer ke rekening tantenya yang bernama Norma, lantaran sertifikat lahan bangunan tersebut masih tertanda atas nama Norma.
Setelah pembayaran lunas, Henny langsung memberikan kunci rumah tersebut kepada Gazalba.
Menurut dia, rumah itu tak pernah ditempati setelah dibeli oleh Gazalba.
"Kalau lewat rumah itu saya lihat tidak ada yang menempati sampai sekarang. Saya terkadang melewati rumah itu kalau memotong jalan karena rumah saya hanya berjarak satu kilometer dari rumah tersebut," tuturnya.
Selain dari pengamatannya, dirinya juga mengetahui bahwa rumah itu tak berpenghuni dari cerita pekerja yang biasa membersihkan rumah Gazalba lantaran orang tersebut juga bekerja di rumahnya.
"Ada yang biasa membersihkan semak belukar di rumah itu dan kerja sama saya juga, jadi saya tahu karena biasa memantau," ucap Henny.
Dalam kasus dugaan korupsi penanganan perkara di MA, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan total nilai Rp62,89 miliar.
Dugaan penerimaan itu meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU terdiri atas 18 ribu dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar AS (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar selama kurun waktu 2020-2022.
Gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba terkait dengan pengurusan perkara kasasi Pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada 2017.
Uang gratifikasi itu diduga diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyadh selaku penghubung antara Jawahirul Fuad dengan Gazalba pada 2022 setelah pengucapan putusan perkara, yang mana Gazalba menerima Rp200 juta dan Riyadh menerima uang sebesar Rp450 juta, sehingga total gratifikasi yang diterima keduanya sebesar Rp650 juta.
Selanjutnya uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh dan teman dekat terdakwa, Fify Mulyani.
Dengan demikian, perbuatan Gazalba terancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.