Makassar (ANTARA) - Organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim (ARUKI) mendorong Pemerintah Indonesia agar menggodok Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim guna memastikan perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia
"Kami telah mengidentifikasi dampak krisis iklim yang dihadapi oleh warga," kata Salman, perwakilan LBH Makassar saat konferensi pers mendorong RUU Keadilan Iklim, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.
Aliansi tersebut dari LBH Makassar, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, Walhi Sulsel, SP Angin Mamiri, AJI Makassar, YLBHI, Walhi Nasional dan Yayasan Pikul yang merespons ancaman dan kondisi Indonesia kini menghadapi krisis perubahan iklim serta melakukan konsultasi bersama rakyat.
Salman mengatakan problem utama yang menyebabkan dampak krisis iklim terhadap warga tidak adanya partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan dan pembentukan kebijakan, sehingga berdampak pada hilangnya pekerjaan.
"Adanya kerusakan lingkungan, banjir, krisis air, tidak adanya akses bagi disabilitas dalam mitigasi bencana, gagal panen, kerusakan ekosistem laut dan masih banyak lainnya sehingga dibutuhkan payung hukum," paparnya.
Sementara itu perwakilan perempuan pesisir Tallo Makassar Hajira menuturkan selama puluhan tahun mengalami kesulitan mengakses air bersih. Ini disebabkan penyaluran air bersih oleh PDAM tidak mampu menjangkau rumah-rumah masyarakat di pesisir, apalagi bila kemarau datang.
"Biasanya kalau musim kemarau PDAM memasukkan mobil untuk mendistribusikan air ke wilayah Tallo. Untuk mendapatkan air warga harus mengantre sampai malam dan itu dibayar Rp3.000 per jerigen," katanya.
Selain itu, beban yang dirasakan warga pesisir sejak hadirnya reklamasi pembangunan Makassar New Port (MNP) akses melaut semakin sulit, nelayan melaut lebih jauh karena wilayah tangkap ditimbun, bahkan beberapa nelayan laki-laki memilih mencari pekerjaan lain di luar kota.
"Revisi Perda RTRW Sulsel dengan menghapus zona tambang pasir dan reklamasi pesisir dan laut, serta mendorong RUU Keadilan Iklim sebagai salah satu jalan menyelesaikan ketidakadilan dan pemulihan lingkungan hidup dari ancaman krisis iklim," ucap perwakilan Walhi Sulsel Arfiandi Anas.
Sementara itu, Koordinator KPA Sulsel Rizki Anggriana Arimbi mengungkapkan krisis iklim ini semakin menyulitkan warga dalam memperjuangkan reforma agraria.
"Produksi pertanian hingga gagal panen akibat perubahan iklim, keringnya irigasi sebagai sumber pengairan, kelangkaan pupuk, tidak berdaulatnya petani atas harga mewarnai kehidupan situasi saat ini di tengah ancaman dan konflik agraria," katanya.
Perwakilan AJI Makassar Agus Mawan pada kesempatan itu mengemukakan bahwa merespons krisis iklim yang kini berlangsung media harus kembali memiliki esensi jurnalisme. Memantau kekuasaan yang setengah hati mengatasi krisis iklim dan mengangkat suara warga yang terkena dampak krisis iklim.
Eksekutif Nasional Walhi Nasional Satrio Manggala mengatakan konsultasi rakyat di Sulsel ini adalah ke -13 yang dilakukan ARUKI untuk mendapatkan informasi dampak yang dialami masyarakat terdampak krisis iklim dan mengumpulkan gagasan dan usulan masyarakat terhadap RUU Keadilan Iklim.
"Hasil dari Konsultasi Rakyat ini menjadi bagian penting untuk menghadirkan kebijakan yang melindungi hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan hidup," ujarnya.
"Kami telah mengidentifikasi dampak krisis iklim yang dihadapi oleh warga," kata Salman, perwakilan LBH Makassar saat konferensi pers mendorong RUU Keadilan Iklim, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.
Aliansi tersebut dari LBH Makassar, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, Walhi Sulsel, SP Angin Mamiri, AJI Makassar, YLBHI, Walhi Nasional dan Yayasan Pikul yang merespons ancaman dan kondisi Indonesia kini menghadapi krisis perubahan iklim serta melakukan konsultasi bersama rakyat.
Salman mengatakan problem utama yang menyebabkan dampak krisis iklim terhadap warga tidak adanya partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan dan pembentukan kebijakan, sehingga berdampak pada hilangnya pekerjaan.
"Adanya kerusakan lingkungan, banjir, krisis air, tidak adanya akses bagi disabilitas dalam mitigasi bencana, gagal panen, kerusakan ekosistem laut dan masih banyak lainnya sehingga dibutuhkan payung hukum," paparnya.
Sementara itu perwakilan perempuan pesisir Tallo Makassar Hajira menuturkan selama puluhan tahun mengalami kesulitan mengakses air bersih. Ini disebabkan penyaluran air bersih oleh PDAM tidak mampu menjangkau rumah-rumah masyarakat di pesisir, apalagi bila kemarau datang.
"Biasanya kalau musim kemarau PDAM memasukkan mobil untuk mendistribusikan air ke wilayah Tallo. Untuk mendapatkan air warga harus mengantre sampai malam dan itu dibayar Rp3.000 per jerigen," katanya.
Selain itu, beban yang dirasakan warga pesisir sejak hadirnya reklamasi pembangunan Makassar New Port (MNP) akses melaut semakin sulit, nelayan melaut lebih jauh karena wilayah tangkap ditimbun, bahkan beberapa nelayan laki-laki memilih mencari pekerjaan lain di luar kota.
"Revisi Perda RTRW Sulsel dengan menghapus zona tambang pasir dan reklamasi pesisir dan laut, serta mendorong RUU Keadilan Iklim sebagai salah satu jalan menyelesaikan ketidakadilan dan pemulihan lingkungan hidup dari ancaman krisis iklim," ucap perwakilan Walhi Sulsel Arfiandi Anas.
Sementara itu, Koordinator KPA Sulsel Rizki Anggriana Arimbi mengungkapkan krisis iklim ini semakin menyulitkan warga dalam memperjuangkan reforma agraria.
"Produksi pertanian hingga gagal panen akibat perubahan iklim, keringnya irigasi sebagai sumber pengairan, kelangkaan pupuk, tidak berdaulatnya petani atas harga mewarnai kehidupan situasi saat ini di tengah ancaman dan konflik agraria," katanya.
Perwakilan AJI Makassar Agus Mawan pada kesempatan itu mengemukakan bahwa merespons krisis iklim yang kini berlangsung media harus kembali memiliki esensi jurnalisme. Memantau kekuasaan yang setengah hati mengatasi krisis iklim dan mengangkat suara warga yang terkena dampak krisis iklim.
Eksekutif Nasional Walhi Nasional Satrio Manggala mengatakan konsultasi rakyat di Sulsel ini adalah ke -13 yang dilakukan ARUKI untuk mendapatkan informasi dampak yang dialami masyarakat terdampak krisis iklim dan mengumpulkan gagasan dan usulan masyarakat terhadap RUU Keadilan Iklim.
"Hasil dari Konsultasi Rakyat ini menjadi bagian penting untuk menghadirkan kebijakan yang melindungi hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan hidup," ujarnya.