Makassar (ANTARA) - Kepala Polisi Resor Kota Besar (Kapolrestabes) Makassar Komisaris Besar Polisi Arya Perdana menyatakan siap mengawal unjuk rasa yang akan dilakukan sejumlah mahasiswa dan organisasi masyarakat di Makassar, Sulawesi Selatan.
"Setiap unjuk rasa dijamin undang-undang. Unjuk rasa kita kawal sesuai aturan. Ketika tidak sesuai, langsung melakukan pelemparan, penganiayaan, pembakaran, maka bukan lagi dikawal, tapi ini pelaku kejahatan, sehingga itu harus ditindak," katanya seusai pertemuan Ormas dan OKP di Warkop di Jalan Sawerigading Makassar, Minggu malam.
Menurut dia, sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto memerintahkan untuk melakukan tindakan tegas, maka telah diterjemahkan Kapolri maupun Panglima TNI bahwa ada tahapan yang harus dilakukan, termasuk didokumentasikan sampai tahap paling kritis.
"Jadi, kalau memang harus dilakukan tindakan tegas (rusuh), umpamanya menembakkan peluru karet, peluru tajam sekalipun bila itu sampai tahapannya. Kita lakukan itu untuk menghindari korban jiwa yang terjadi pada Jumat kemarin," ucapnya menegaskan.
Saat ditanyakan kejadian pembakaran Kantor DPRD Kota Makassar hingga melebar ke pembakaran DPRD Provisi Sulawesi Selatan pada Jumat (29/8) malam hingga Sabtu (30/8) dini hari, kata dia, akan berusaha dicari pelakunya.
"Itu kan massa, jumlahnya cukup banyak. Dan kami menganggap itu pelanggaran. Maka kami akan cari idenitasnya, kami berusaha semaksimal mungkin, dari CCTV mungkin, dan berbagai identifikasi lainnya," katanya.
"Ini kita usahakan, tentu tidak mudah, tetapi juga tidak mungkin dan butuh waktu. Pak Kapolda dan saya sesuai arahan Kapolri kami berniat menuntaskannya," ucapnya lagi.
Mengenai dengan model pengawalan pengamanan unjuk rasa lanjutan seperti apa nantinya, mantan Kapolres Metro Depok ini menyatakan, bersama Wali Kota Makassar bersama jajaran, bersama elemen masyarakat dan ormas akan mengawalnya.
"Kita melawan anarkisme, walaupun jumlahnya besar tidak ada masalah. Kita akan kawal. Tapi, kalau tidak sesuai aturan, kita akan lakukan tindakan-tindakan sesuai aturan (ancaman tembak)," ujarnya menekankan.
Alasan polisi ditarik saat kerusuhan di Makassar
Terkait dengan kerusuhan pembakaran dua kantor dewan yang terjadi pada Jumat-Sabtu tidak terlihat pengawalan aparat kepolisian di lokasi kejadian, Arya beralasan, massa kala itu sangat banyak dan tidak dapat dibendung, apalagi polisi kekurangan personil.
"Kemarin itu pada tanggal 29 Agustus, memang ada situasi yang tidak terbendung dan tidak tertangani oleh polisi. Dimana jumlah kami saat itu hanya 200 orang. Ketika massa datang ke kantor DPRD anggota kami memang tidak dilengkapi dengan senjata," katanya berdalih saat sambutan di pertemuan tersebut.
"Ini komitmen dari bapak Kapolri untuk tidak menyakiti para pengunjuk rasa. Jadi, yang tidak boleh disakiti pengunjuk rasa. Tetapi, melihat perkembangan situasi, eskalasi meningkat, sehingga kami tidak ingin ada korban berikutnya," tuturnya lagi.
Saat penarikan personil dari DPRD Sulsel dan bergabung di bawah jembatan layang Pos Lantas, Arya mengatakan, massa mulai melempari batu dan bom molotov, sehingga diambil keputusan berkumpul di depan kantor dealer Toyota di Jalan Urip Sumoharjo.
Selain itu, beredar kabar ada razia dengan targetnya anggota Polri oleh mahasiswa di jalanan, bahkan diduga ada kelompok yang sengaja mencari polisi yang diturunkan untuk dikeroyok, maka diambil keputusan ditarik karena berisiko.
"Kami tidak bisa melakukan risiko itu, karena kami minta batuan dari TNI. Waktu TNI jalan, dihalangi kelompok massa di depan Kampus UMI dan depan Kampus UNM serta tempat lain, jadi tidak bisa masuk," katanya menjelaskan.