Makassar (ANTARA) - Sejumlah halte di ruas jalan utama Kota Makassar tampak kian terbengkalai tanpa kejelasan fungsi. Kondisi ini memicu sorotan publik, sebab hingga kini Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Makassar belum melakukan tindak lanjut berarti, sementara jumlah halte rusak atau mangkrak terus bertambah di berbagai titik.

Pantauan lapangan, Sabtu, menunjukkan banyak halte yang kini sekadar menjadi pajangan besi di pinggir jalan, sebagian atapnya roboh, cat mengelupas, dan tak ada lagi papan informasi rute bus. 

Ironisnya, di tengah proyek transportasi massal yang digadang-gadang modern, fasilitas dasar seperti halte justru terbengkalai dan tak terawat. Terlebih lagi saat ini Kota Makassar tengah sibuk merayakan hari jadinya ke-418, sebuah usia yang sangat matang untuk sebuah kota.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, halte-halte ini merupakan bagian dari proyek Bus Rapid Transit (BRT) yang dibangun sejak 2013 dengan total 154 titik yang tersebar di Kota Makassar, Kabupaten Maros, Sungguminasa, hingga Takalar (Mamminasata). Dari banyaknya halte yang ada banyak dari halte di Makassar kini tidak beroperasi, terutama di sepanjang jalur Trans Mamminasata dan Bus Trans Sulsel.

Akibatnya, banyak warga hanya menjadikan halte sebagai tempat berteduh atau duduk-duduk, bukan untuk menunggu transportasi umum lainnya.

Beberapa pengamat menilai, kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan tindak lanjut dari pihak Dishub. “Kalau dibiarkan terus begini, wajah tata kota kita jadi jelek. Halte itu bagian dari wajah publik — bukan bangkai proyek,” ujar salah satu pengamat transportasi lokal.

Salah seorang mahasiswa UIN Alauddin Makassar asal Kabupaten Jeneponto mengungkapkan keluhannya atas kondisi halte yang minim di kawasan pendidikan.

“Untuk di daerah Samaata atau sekitar kampus UIN, memang tidak ada halte yang layak. Bus kadang berhenti di bus stop. Jadi fungsinya kayak cuma tempat pemberhentian, bukan halte sebenarnya,” jelasnya saat ditemui.

Menurutnya, kondisi ini membuat mahasiswa sulit mengandalkan transportasi umum, apalagi saat hujan atau jam sibuk. Ia berharap ada perhatian serius dari Dishub agar kampus besar seperti UIN juga dilengkapi fasilitas transportasi yang memadai.

Keluhan serupa datang dari Aditia, mahasiswa diaspora asal Medan yang kini kuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas). 

Ia menyoroti bukan hanya halte, tapi juga perilaku pengemudi bus Trans Mamminasata yang kerap ugal-ugalan di jalan.

“Saya pernah naik Bus Trans Sulsel, dan jujur, beberapa driver nyetirnya ngebut banget. Harusnya ada tes atau pelatihan ulang biar sesuai SOP. Kadang malah bikin penumpang takut," ujarnya.

Ia menambahkan pengawasan sopir perlu diperketat, seiring evaluasi halte yang tidak berfungsi, agar sistem transportasi massal bisa kembali dipercaya masyarakat.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak Dinas Perhubungan Kota Makassar belum memberikan tanggapan resmi terkait langkah penanganan halte-halte terbengkalai tersebut.

Namun, sejumlah pejabat internal mengaku sedang melakukan pemetaan ulang terhadap halte aktif dan nonaktif.

Meski begitu, pengamat menilai upaya itu belum nyata di lapangan. Banyak halte masih dalam kondisi memprihatinkan, bahkan sebagian berubah fungsi menjadi tempat parkir, tempat sampah, hingga titik promosi liar.

Pada saat ini citra kota dipertaruhkan dan ketidakjelasan tindak lanjut ini menimbulkan kekhawatiran bahwa wajah tata Kota Makassar akan semakin tidak tertata. Di tengah gencarnya promosi “Makassar Kota Dunia,” keberadaan halte-halte terbengkalai justru menjadi simbol ketidakteraturan ruang publik.

Aktivis transportasi menilai, Dishub perlu segera melakukan audit fasilitas publik, memperketat standar operasional pengemudi BRT/BTrans, dan menghidupkan kembali halte-halte yang strategis terutama di sekitar kawasan pendidikan, perkantoran, dan perumahan padat.


Pewarta : Frotza Alifi
Editor : Riski Maruto
Copyright © ANTARA 2025