Jakarta (ANTARA) - Arswendo Atmowiloto menapaki jalan hidupnya dengan melawan arus! Itu ditempuh untuk satu misi: berkreasi.
Ketika para sastrawan menggaungkan opini bahwa mengarang, menulis cerita itu bukan pekerjaan sembarangan, tak seperti pekerjaan juru tulis di kantor-kantor, Arswendo berteriak: mengarang itu gampang.
Ya, mengarang itu gampang. Bisa dilakukan siapa saja. Asal mau memulainya.
Buku Arswendo dengan judul yang menohok, Mengarang Itu Gampang, termasuk salah satu karyanya yang laris manis, yang ditulis 38 tahun silam dan jadi pelecut siapa pun yang berminat bertungkus- lumus di jagat tulis-menulis.
Arswendo Atmowiloto yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 November 1948 adalah prototipe manusia pekerja. Sosok macam inilah yang paralel dengan visi pemimpin masa kini yang mengajak siapa pun untuk kerja, kerja dan kerja.
Meninggal di Jakarta, 19 Juli 2019 karena sakit, pria yang menghabiskan sebagian masa mudanya dengan berkecimpung di dunia jurnalistik itu, seakan tak pernah menikmati waktu senggangnya dengan berleha-leha selain menulis dan menulis.
Meskipun berjibaku dalam kerja jurnalistik yang menyedot sebagian besar waktunya, Arswendo dengan kisah-kisah fiktifnya mengisi berbagai majalah wanita, majalah remaja dengan ajek.
Apa pun, di benak Arswendo, bisa menjadi tema cerita. Dari kisah realis tentang kehidupan si miskin di sepanjang rel kereta hingga cerita absurd tentang diktat, ya diktat—bahan kuliah yang disusun dosen—bisa menjadi tokoh dalam fiksinya.
Ketika reputasinya kian melambung sebagai penulis dan pekerja media, Arswendo menapaki di puncak karier jurnalistik sebagai pemimpin redaksi sebuah tabloid populer bernama Monitor.
Dasar kelewat kreatif dan inovatif, Arswendo coba-coba mengikuti jejak Michael H. Hart, penulis 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
Dia pun melakukan jajak pendapat pembaca Monitor “Kagum 5 Juta” di tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990. Menurut hasil jajak pendapat itu, yang paling dikagumi pembaca Monitor adalah Soeharto di urutan teratas, disusul BJ Habibie, Soekarno, dan musisi Iwan Fals di tempat ke-4. Arswendo di peringkat 10, sedangkan Nabi Muhammad berada satu tingkat di bawahnya, nomor 11.
Tampaknya, sejak memuat hasil jajak pendapat ia tersandung dan itulah karier jurnalistik Arswendo berakhir. Protes dan hujatan dilakukan oleh kalangan Muslim.
Dalam bayangan Arswendo, pembaca yang rasional tak akan keberatan dengan hasil jajak pendapat itu. Bukankah publik yang mengemukakan pendapatnya itu adalah pembaca Monitor, yang boleh jadi sebagian besar bukan kaum Muslim, kalau toh mereka Muslim bukan dari jenisnya yang religius.
Faktanya, publik Muslim murka dan Arswendo diseret ke pengadilan yang berakhir dengan mendekam di bui setelah divonis lima tahun penjara.
Selama di penjara, Arswendo menghasilkan sejumlah kisah yang dibukukan. Bahkan kisah-kisahnya terus mengalir di toko-toko buku sejak keluarnya dia dari penjara.
Sebagai sosok seniman multi talenta, yang menjelajahi dunia tulis-menulis, drama, sinetron populer, antara lain Keluarga Cemara, Arswendo sadar diri bahwa karya yang diciptakannya memang untuk menghuibur sebanyak mungkin orang.
Arswendo tidak berpretensi untuk memburu nilai karya sastra yang elitis, yang berkutat dengan eksplorasi estetika sastra seperti yang ditapaki para pendongeng macam Danarto, Iwan Simatupang, Budi Darma yang jangkauan pembacanya tak seluas sebanyak penggemar kisah-kisah fiksi Arswendo.
Meski para kritikus sastra sangat jarang memperbincangkan karya-karya fiksi Arswendo, jejak kreativitasnya bukan tanpa anugerah sama sekali. Berbagai penghargaan bidang sastra diraihnya, dan yang paling bergengsi adalah Hadiah Sastra ASEAN.
Dalam tahun-tahun terakhir menjelang kepergiannya, Arswendo kerap muncul di acara tayang bincang sejumlah stasiun televisi untuk membahas perkembangan politik mutakhir. Dia dihadirkan sebagai narasumber yang memberikan opininya berdasarkan perspektif seorang budayawan.
Arswendo termasuk pribadi yang rendah hati, bisa bergaul dengan kalangan mana pun. Selalu melihat persoalan dengan pendekatan seorang humanis, itulah Wendo, panggilan akrabnya.
Kepergiannya tentu membuat pengagumnya dan komunitas budaya merasa kehilangan. Namun, seabrek karyanya bisa menjadi anak rohaninya yang melanjutkan eksistensinya sebagai monumen Arswendo.
Kepergian Arswendo ini, dengan warisan ribuan cerita fiksi berbagai genre dan puluhan artikel-artikel opininya yang berserakan di berbagai media, yang sebagian sudah dibukukan, bisa dijadikan tonggak untuk memulai tradisi mengawetkan peninggalannya sebagaimana yang sudah membudaya di negara-negara maju.
Ketika para turis menjelajah Eropa, mereka yang punya kekaguman pada karya-karya William Shakespeare dapat mengunjungi situs-situs bersejarah yang bersangkut paut dengan sang pujangga. Mereka bisa mengunjungi rumah tempat tinggal penulis Romeo and Juliet itu.
Mungkin jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Arswendo bisa diawetkan dan dijadikan semacam situs sejarah yang bisa berupa museum yang bisa dikunjungi para penggemar karya-karyanya, baik masa kini maupun masa depan.
Di sana juga bisa diabadikan kisah tragedi yang menimpanya, yang bisa dijadikan bahan perenungan bagi generasi mendatang.
Selamat jalan Wendo. Karya-karyamu menjadi warisan nilai-nilai bagi Indonesia.