Jakarta (ANTARA) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendorong pentingnya memproteksi produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri dari maraknya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia.
"KPPU berusaha melindungi industri dalam negeri maupun UMKM dari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sehingga industri domestik dapat tumbuh dan berkembang di tengah persaingan global," kata anggota KPPU Eugenia Mardanugraha dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (29/5).
Menurut Eugenia, masifnya pertumbuhan platform e-commerce berpengaruh pada peningkatan penetrasi produk impor di Indonesia dengan harga yang relatif rendah. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pelaku usaha dalam negeri dan UMKM karena harus bersaing dengan harga dan kualitas produk asing.
Sebagai upaya memitigasi adanya kompleksitas persaingan yang dapat merugikan industri dalam negeri dan konsumen dalam jangka panjang, lanjut Eugenia, KPPU menyelenggarakan diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertema "Maraknya Produk Jadi Impor di Indonesia: Kesiapan dan Upaya Pengendaliannya".
KPPU mengumpulkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Gabungan Perusahaan Industri Elektronik dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga Indonesia (GABEL), Asosiasi Pengusaha Ritel Merk Global Indonesia (Apregindo), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), serta Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).
"Maraknya produk impor di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sektor, mulai dari elektronik, tekstil, hingga produk makanan dan minuman. Data dari Dirjen Bea dan Cukai menunjukkan bahwa nilai impor Indonesia terus meningkat, terutama dari negara-negara, seperti China, Hong Kong, dan Jepang," jelas Eugenia.
Produk-produk dari negara-negara tersebut, kata Eugenia, dikenal memiliki harga yang kompetitif dan kualitas yang baik sehingga menarik minat konsumen Indonesia.
Eugenia mengatakan serbuan barang impor jadi dengan harga murah ke dalam perekonomian Indonesia merupakan fenomena persaingan yang terlalu sengit dan mengancam keberlangsungan pelaku usaha domestik.
"Dampak negatif akibat hal ini adalah menurunnya produksi dalam negeri, penurunan produk domestik bruto, dan pada akhirnya menurunkan kesejahteraan rakyat," tambahnya.
Menurutnya, pemerintah Indonesia memiliki berbagai instrumen untuk membendung banjirnya barang impor dengan harga yang sangat rendah, di antaranya bea masuk, bea masuk antidumping, bea masuk tindakan pengamanan, persetujuan impor, standar mutu nasional, dan kuota impor.
"Namun, berbagai instrumen tersebut belum cukup untuk membendung masuknya barang impor dengan harga murah," jelas Eugenia.
Produk Impor Murah
Ke depan, tambah Eugenia, KPPU akan bersinergi dengan berbagai pihak terkait guna mendiskusikan langkah-langkah menghadapi ancaman terhadap industri dalam negeri akibat harga produk jadi impor yang sangat murah.
Dia berharap dengan kebijakan yang tepat dan implementasi yang efektif, Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat dari perdagangan internasional dengan tetap melindungi dan mendukung pelaku usaha dan UMKM sebagai pilar utama perekonomian nasional.
Sementara itu, Sekretariat Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan UMKM Koko Haryono mengungkapkan sekitar 83 persen barang yang masuk ke Indonesia pada tahun 2022 melalui e-commere harganya di bawah 100 dolar AS.
Angka yang sangat besar itu terjadi sebelum penerapan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang PMSE. Untuk meningkatkan penjualan produk lokal dilakukan melalui kemitraan dengan perusahaan digital, program UMKM go-digital, koperasi modern, dan UMKM dalam E-Katalog.
Di sisi lain, perwakilan Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto menyatakan bahwa Permendag Nomor 31 Tahun 2023 membatasi penjualan barang-barang impor langsung di platform digital dengan berbagai persyaratan.
Perwakilan Kemendag lainnya, Dwi Wahyono, juga menyampaikan institusinya telah melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan penjualan produk lokal di platform digital, di antaranya dengan memberikan fasilitas ruang promosi.
"Namun, tentu saja penerapannya harus hati-hati karena ada benturan dengan perjanjian WTO," ungkap Dwi.
Selanjutnya, perwakilan dari Subdit Intelijen Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sugeng mengatakan sejak adanya Permendag 31 Tahun 2023, impor barang melalui e-commerce menurun.
Menurutnya, kebijakan lain yang dapat dilakukan, di antaranya penerapan safeguard dan countervailing duties.
Pada kesempatan sama, perwakilan dari APSyFI Redma mengatakan hingga saat ini masih ada produk yang harganya tidak masuk akal yang dijual pada platform digital, seperti produk baju bayi.
Dalam forum tersebut, dia juga menyoroti masalah dukungan akses pasar serta penegakan hukum terkait SNI dan labeling.
Sementara itu, perwakilan dari GABEL Wisnu Gunawan menyoroti soal kebijakan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 yang membuat industri sudah mati suri kembali bergairah.
"Namun, relaksasi impor melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2024 membuat masa depan industri elektronik lokal menjadi tidak menentu," jelasnya.