Olimpiade Paris 2024 - Sebuah renungan untuk Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Kesempatan terakhir Indonesia meraih medali tinggal pada lifter putri Nurul yang dalam hari terakhir Olimpiade Paris 2024 pada hari ini akan tampil dalam kelas +81kg putri.
Nurul yang tiga tahun lalu di Tokyo finis urutan kelima kelas +87kg putri, berpeluang mengikuti jejak Rizki Juniansyah yang sudah mempersembahkan medali emas kepada Indonesia.
Walau mungkin sangat berat, tapi jika Nurul sukses meraih emas, maka untuk pertama kali Indonesia menuntaskan Olimpiade dengan tiga emas.
Jika Nurul mendapatkan perak, maka Indonesia akan berada di atas lima negara termasuk Filipina dalam klasemen medali. Jika perunggu yang didapatkan Nurul, maka Indonesia akan sama dengan Filipina yang memperoleh dua emas dan dua perunggu.
Tapi abaikan dulu hasil yang akan didapat Nurul Akmal. Mari fokus kepada apa yang sudah diciptakan atlet-atlet Indonesia dalam Olimpiade Paris 2024.
Evaluasi kritis harus tercurah kepada bulu tangkis, yang dalam edisi ini hanya bisa mempersembahkan satu medali perunggu.
Pencapaian yang masih lebih baik ketimbang Olimpiade London 2012 ketika tambang medali Indonesia tak memberikan sumbangan medali satu pun, tidaklah terlalu memuaskan.
Di luar nomor eksibisi pada Olimpiade Muenchen 1972, bulu tangkis sudah mempersembahkan 22 medali Olimpiade kepada Indonesia. Rinciannya, delapan medali emas, enam medali perak, dan delapan medali perunggu.
Bulu tangkis pertama kali mempersembahkan medali pada Olimpiade Barcelona 1992. Tak tanggung-tanggung, semua dari lima medali yang didapatkan Indonesia dalam Olimpiade itu disumbangkan oleh bulu tangkis, dengan rincian dua medali emas, dua perak, dan satu perunggu.
Empat tahun kemudian di Atlanta pada 1996, bulu tangkis kembali memborong medali dengan satu emas, satu perak dan dua perunggu.
Hanya dalam Olimpiade London 2012, bulu tangkis gagal mempersembahkan medali. Tahun itu Indonesia mendapatkan dua perak dan satu perunggu, yang semuanya berkat sumbangsih angkat besi.
Pencapaian satu medali bulu tangkis pada Olimpiade Paris 2024 mengulang pencapaian Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Bedanya, kalau di Rio 20216 satu medali itu berupa medali emas, maka di Paris 2024 satu medali itu berupa medali perunggu.
Cerah menatap ke depan
Bisa dibilang Olimpiade Paris 2024 adalah langkah mundur bulu tangkis Indonesia setelah selalu mendapatkan medali emas dalam dua Olimpiade sebelumnya, dari ganda campuran Liliyana Natsir/Tontowi Yahya pada 2016 dan ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu pada 2021.
Kabar baiknya, Gregoria Mariska Tunjung memberi pesan bahwa Indonesia kini bisa mengandalkan lagi tunggal putri setelah terakhir kali sektor ini mempersembahkan medali saat Maria Kristin merebut medali perunggu Olimpiade 2008.
Kenapa kabar baik? Karena di belakang Gregoria yang berusia 24 tahun, antre pemain-pemain muda yang bisa memperbesar harapan medali pada Olimpiade Los Angeles 2028, khususnya Ester Wardoyo yang berusia 18 tahun dan Komang Ayu Dewi yang berusia 21 tahun.
Mereka akan menjadi kekuatan tambahan untuk semua nomor bulu tangkis, yang mungkin akan terpacu untuk lebih kuat lagi setelah hasil kurang memuaskan dalam Olimpiade Paris 2024.
Di Los Angeles pada 2028, Ester dan Komang diperkirakan tengah berada di puncak kematangan karier yang juga periode emas Olimpiade.
Mayoritas peraih medali emas Olimpiade tunggal putri berusia 21-24 tahun. Hanya Zhang Ning pada 2004 dan 2008, yang meraih medali emas tunggal putri di atas usia 24 tahun, yakni 29 dan 33 tahun
Susi Susanti meraih emas Olimpiade 1992 dalam usia 21 tahun, sama dengan Li Xuerui di London pada 2012, sedangkan An Se-young meraih medali emas Olimpiade Paris 2024 dalam usia 22 tahun.
Eloknya, kegagalan bulu tangkis dalam merawat tradisi emas berhasil ditutupi oleh sukses emas panjat tebing dan angkat besi.
Angkat besi yang selalu mempersembahkan medali sejak Olimpiade 2000 dan panjat tebing yang pertama kali memainkan nomor speed secara terpisah dalam Olimpiade Paris, berhasil mengisi kekosongan emas yang dibuat bulu tangkis.
Veddriq Leonardo yang tampil konsisten sehingga terus di depan lawan-lawannya sejak awal sampai akhir kompetisi, mempersembahkan medali emas panjat tebing speed putra.
Hari itu, Kamis 8 Agustus 2024, Indonesia juga mendapatkan sumbangan emas dari lifter Rizki Juniansyah yang menjadi kampiun dalam nomor 73kg putra, sembari mencetak rekor Olimpiade angkatan snatch dalam kelas itu.
Rizki berhasil menembus rintangan 24 tahun yang berusaha dirobohkan angkat besi dalam mendapatkan emas pertama Olimpiade.
Fakta bahwa Rizki masih berusia 21 tahun, atau 14 tahun lebih muda dari Eko Yuli Irawan yang melegenda, membersitkan harapan bahwa Indonesia bisa mendapatkan emas lagi dari angkat besi, paling tidak untuk dua Olimpiade lagi.
Panjat tebing juga tak kalah hebat dalam memberikan harapan. Fakta, banyak atlet Indonesia bolak balik di puncak kompetisi, khususnya speed, menjadi jaminan sukses emas Veddriq bukan yang terakhir.
Maksimalkan bonus alam
Bulu tangkis, angkat besi, dan panjat tebing adalah tiga dari empat cabang olahraga yang sudah mempersembahkan medali Olimpiade kepada Indonesia.
Sayang, panahan yang membuka tradisi medali Olimpiade untuk Indonesia dalam Olimpiade Seoul 1988, tak pernah lagi berhasil menyumbangkan medali kepada Indonesia.
Meskipun demikian, Olimpiade Paris 2024 telah membuka gerbang asa cerah bahwa Indonesia bisa mengandalkan lebih dari satu cabang olahraga untuk berada di puncak kompetisi.
Syaratnya adalah pembinaan profesional yang berkesinambungan,dukungan aktif semua pemangku kepentingan, kepiawaian dalam menemukan serta merawat talenta-talenta hebat, dan usaha keras atlet dalam menempa diri untuk semakin bagus dari kompetisi ke kompetisi.
Emas Rizki dan Veddriq adalah testamen untuk semua hal itu. Mereka mengkonfirmasi konsensus universal bahwa prestasi hari ini adalah kelanjutan dari rangkaian prestasi hebat dalam kejuaraan-kejuaraan sebelumnya.
Rizki, Veddriq dan Gregoria Mariska memberi pesan bahwa tak ada sukses yang diperoleh secara instan.
Dalam kata lain, tak ada sukses tanpa proses, dan tak ada sukses tanpa prestasi pada kejuaraan-kejuaraan sebelum atlet memperoleh medali Olimpiade.
Yang juga patut dilakukan Indonesia adalah memaksimalkan semua bonus yang diberikan Tuhan kepada negeri ini, termasuk bonus demografi dan kemajuan ekonomi, seperti dilakukan China sejak Olimpiade Los Angeles 1984.
Kita perlu mengoptimalkan anugerah alam untuk memupuk bakat-bakat alam seperti karunia perairan maha luas yang dimiliki Australia yang membuat negara itu begitu sukses dalam renang.
Fakta lainnya, bahwa hampir seluruh dari 20 besar penghuni klasemen medali Olimpiade Paris 2024 adalah negara kaya, menunjukkan adanya hubungan tegak lurus antara sukses olahraga dengan sukses ekonomi dan kemakmuran.
Mari tegak luruskan sukses Indonesia pada matra-matra lain, khususnya ekonomi, dan bonus-bonus alam, termasuk bonus demografi, dengan prestasi olahraga setinggi-tingginya.
Empat tahun mendatang di Los Angeles, Indonesia mesti mendapatkan medali lebih banyak lagi, yang tak cuma berasal dari bulu tangkis, angkat besi dan panjat tebing, sehingga 20 besar atau bahkan 10-15 besar Olimpiade tak lagi mustahil.
Nurul yang tiga tahun lalu di Tokyo finis urutan kelima kelas +87kg putri, berpeluang mengikuti jejak Rizki Juniansyah yang sudah mempersembahkan medali emas kepada Indonesia.
Walau mungkin sangat berat, tapi jika Nurul sukses meraih emas, maka untuk pertama kali Indonesia menuntaskan Olimpiade dengan tiga emas.
Jika Nurul mendapatkan perak, maka Indonesia akan berada di atas lima negara termasuk Filipina dalam klasemen medali. Jika perunggu yang didapatkan Nurul, maka Indonesia akan sama dengan Filipina yang memperoleh dua emas dan dua perunggu.
Tapi abaikan dulu hasil yang akan didapat Nurul Akmal. Mari fokus kepada apa yang sudah diciptakan atlet-atlet Indonesia dalam Olimpiade Paris 2024.
Evaluasi kritis harus tercurah kepada bulu tangkis, yang dalam edisi ini hanya bisa mempersembahkan satu medali perunggu.
Pencapaian yang masih lebih baik ketimbang Olimpiade London 2012 ketika tambang medali Indonesia tak memberikan sumbangan medali satu pun, tidaklah terlalu memuaskan.
Di luar nomor eksibisi pada Olimpiade Muenchen 1972, bulu tangkis sudah mempersembahkan 22 medali Olimpiade kepada Indonesia. Rinciannya, delapan medali emas, enam medali perak, dan delapan medali perunggu.
Bulu tangkis pertama kali mempersembahkan medali pada Olimpiade Barcelona 1992. Tak tanggung-tanggung, semua dari lima medali yang didapatkan Indonesia dalam Olimpiade itu disumbangkan oleh bulu tangkis, dengan rincian dua medali emas, dua perak, dan satu perunggu.
Empat tahun kemudian di Atlanta pada 1996, bulu tangkis kembali memborong medali dengan satu emas, satu perak dan dua perunggu.
Hanya dalam Olimpiade London 2012, bulu tangkis gagal mempersembahkan medali. Tahun itu Indonesia mendapatkan dua perak dan satu perunggu, yang semuanya berkat sumbangsih angkat besi.
Pencapaian satu medali bulu tangkis pada Olimpiade Paris 2024 mengulang pencapaian Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Bedanya, kalau di Rio 20216 satu medali itu berupa medali emas, maka di Paris 2024 satu medali itu berupa medali perunggu.
Cerah menatap ke depan
Bisa dibilang Olimpiade Paris 2024 adalah langkah mundur bulu tangkis Indonesia setelah selalu mendapatkan medali emas dalam dua Olimpiade sebelumnya, dari ganda campuran Liliyana Natsir/Tontowi Yahya pada 2016 dan ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu pada 2021.
Kabar baiknya, Gregoria Mariska Tunjung memberi pesan bahwa Indonesia kini bisa mengandalkan lagi tunggal putri setelah terakhir kali sektor ini mempersembahkan medali saat Maria Kristin merebut medali perunggu Olimpiade 2008.
Kenapa kabar baik? Karena di belakang Gregoria yang berusia 24 tahun, antre pemain-pemain muda yang bisa memperbesar harapan medali pada Olimpiade Los Angeles 2028, khususnya Ester Wardoyo yang berusia 18 tahun dan Komang Ayu Dewi yang berusia 21 tahun.
Mereka akan menjadi kekuatan tambahan untuk semua nomor bulu tangkis, yang mungkin akan terpacu untuk lebih kuat lagi setelah hasil kurang memuaskan dalam Olimpiade Paris 2024.
Di Los Angeles pada 2028, Ester dan Komang diperkirakan tengah berada di puncak kematangan karier yang juga periode emas Olimpiade.
Mayoritas peraih medali emas Olimpiade tunggal putri berusia 21-24 tahun. Hanya Zhang Ning pada 2004 dan 2008, yang meraih medali emas tunggal putri di atas usia 24 tahun, yakni 29 dan 33 tahun
Susi Susanti meraih emas Olimpiade 1992 dalam usia 21 tahun, sama dengan Li Xuerui di London pada 2012, sedangkan An Se-young meraih medali emas Olimpiade Paris 2024 dalam usia 22 tahun.
Eloknya, kegagalan bulu tangkis dalam merawat tradisi emas berhasil ditutupi oleh sukses emas panjat tebing dan angkat besi.
Angkat besi yang selalu mempersembahkan medali sejak Olimpiade 2000 dan panjat tebing yang pertama kali memainkan nomor speed secara terpisah dalam Olimpiade Paris, berhasil mengisi kekosongan emas yang dibuat bulu tangkis.
Veddriq Leonardo yang tampil konsisten sehingga terus di depan lawan-lawannya sejak awal sampai akhir kompetisi, mempersembahkan medali emas panjat tebing speed putra.
Hari itu, Kamis 8 Agustus 2024, Indonesia juga mendapatkan sumbangan emas dari lifter Rizki Juniansyah yang menjadi kampiun dalam nomor 73kg putra, sembari mencetak rekor Olimpiade angkatan snatch dalam kelas itu.
Rizki berhasil menembus rintangan 24 tahun yang berusaha dirobohkan angkat besi dalam mendapatkan emas pertama Olimpiade.
Fakta bahwa Rizki masih berusia 21 tahun, atau 14 tahun lebih muda dari Eko Yuli Irawan yang melegenda, membersitkan harapan bahwa Indonesia bisa mendapatkan emas lagi dari angkat besi, paling tidak untuk dua Olimpiade lagi.
Panjat tebing juga tak kalah hebat dalam memberikan harapan. Fakta, banyak atlet Indonesia bolak balik di puncak kompetisi, khususnya speed, menjadi jaminan sukses emas Veddriq bukan yang terakhir.
Maksimalkan bonus alam
Bulu tangkis, angkat besi, dan panjat tebing adalah tiga dari empat cabang olahraga yang sudah mempersembahkan medali Olimpiade kepada Indonesia.
Sayang, panahan yang membuka tradisi medali Olimpiade untuk Indonesia dalam Olimpiade Seoul 1988, tak pernah lagi berhasil menyumbangkan medali kepada Indonesia.
Meskipun demikian, Olimpiade Paris 2024 telah membuka gerbang asa cerah bahwa Indonesia bisa mengandalkan lebih dari satu cabang olahraga untuk berada di puncak kompetisi.
Syaratnya adalah pembinaan profesional yang berkesinambungan,dukungan aktif semua pemangku kepentingan, kepiawaian dalam menemukan serta merawat talenta-talenta hebat, dan usaha keras atlet dalam menempa diri untuk semakin bagus dari kompetisi ke kompetisi.
Emas Rizki dan Veddriq adalah testamen untuk semua hal itu. Mereka mengkonfirmasi konsensus universal bahwa prestasi hari ini adalah kelanjutan dari rangkaian prestasi hebat dalam kejuaraan-kejuaraan sebelumnya.
Rizki, Veddriq dan Gregoria Mariska memberi pesan bahwa tak ada sukses yang diperoleh secara instan.
Dalam kata lain, tak ada sukses tanpa proses, dan tak ada sukses tanpa prestasi pada kejuaraan-kejuaraan sebelum atlet memperoleh medali Olimpiade.
Yang juga patut dilakukan Indonesia adalah memaksimalkan semua bonus yang diberikan Tuhan kepada negeri ini, termasuk bonus demografi dan kemajuan ekonomi, seperti dilakukan China sejak Olimpiade Los Angeles 1984.
Kita perlu mengoptimalkan anugerah alam untuk memupuk bakat-bakat alam seperti karunia perairan maha luas yang dimiliki Australia yang membuat negara itu begitu sukses dalam renang.
Fakta lainnya, bahwa hampir seluruh dari 20 besar penghuni klasemen medali Olimpiade Paris 2024 adalah negara kaya, menunjukkan adanya hubungan tegak lurus antara sukses olahraga dengan sukses ekonomi dan kemakmuran.
Mari tegak luruskan sukses Indonesia pada matra-matra lain, khususnya ekonomi, dan bonus-bonus alam, termasuk bonus demografi, dengan prestasi olahraga setinggi-tingginya.
Empat tahun mendatang di Los Angeles, Indonesia mesti mendapatkan medali lebih banyak lagi, yang tak cuma berasal dari bulu tangkis, angkat besi dan panjat tebing, sehingga 20 besar atau bahkan 10-15 besar Olimpiade tak lagi mustahil.