Medan (ANTARA) - Setahun setelah proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, berdirilah Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI).
Dua tahun dari tahun itu, pada 1948, dunia berencana menggelar Olimpiade di London. Indonesia berencana mengikutinya.
Dalam suasana perang, PORI mempersiapkan sejumlah atlet guna mengikuti Olimpiade London 1948.
Tapi sampai tahun itu, tak ada negara Barat yang mengakui kemerdekaan Indonesia, termasuk Inggris yang menjadi tuan rumah Olimpiade tersebut.
Waktu itu Indonesia sudah menerbitkan paspor sendiri, tapi Inggris tak mengakuinya. Inggris lalu menyarankan atlet-atlet Indonesia menggunakan paspor Belanda, yang tentu saja ditampik mentah-mentah oleh PORI.
Tujuan Indonesia mengikuti Olimpiade itu adalah menunjukkan eksistensi Indonesia kepada dunia.
Gagal mengikuti Olimpiade 1948, Indonesia menggelar acara tandingan bernama Pekan Olahraga Nasional dari 8 sampai 12 September 1948, sebulan setelah Olimpiade 1948 rampung.
Sama dengan tujuan mengikuti Olimpiade 1948, PON 1948 di Solo juga berusaha menunjukkan eksistensi Indonesia kepada dunia.
Empat tahun kemudian, Indonesia akhirnya mengikuti Olimpiade 1952 di Helsinki, Finlandia, tiga tahun setelah negara-negara Barat mengakui kemerdekaan Indonesia.
Olimpiade pertama yang diikuti Indonesia itu berselisih satu tahun dari PON II di Jakarta pada 1951.
Tapi saat itu PON tak lagi diupayakan untuk menunjukkan eksistensi Indonesia kepada dunia, melainkan untuk merekatkan persatuan Indonesia, apalagi waktu itu separatisme mengancam berbagai wilayah Indonesia.
Prioritas utama PON sebagai wadah menguatkan persatuan nasional tak berubah sampai kini. Bahkan pada 2007, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 tentang penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Nasional Olahraga.
Di situ ditegaskan bahwa fungsi PON adalah (1) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, (b) menjaring bibit atlet potensial, dan (c) meningkatkan prestasi olahraga.
Itu adalah salah satu pernyataan eksplisit mengenai tujuan PON yang tetap diabdikan untuk persatuan dan kesatuan bangsa, sedangkan menjaring talenta olahraga dan meningkatkan prestasi olahraga disebutkan kemudian yang menunjukkan skala prioritas ketiga tujuan PON itu.
Ada kesenjangan
Tak ada yang salah dari prioritas itu. Negara memang memerlukan wadah yang menyatukan masyarakatnya agar integrasi nasional terawat kuat.
Namun, prioritas itu acap mengesampingkan keperluan menjaring talenta dan meningkatkan prestasi olahraga nasional.
Akibatnya, ada kesenjangan antara hasil PON dengan prestasi olahraga nasional dalam ajang multicabang lebih tinggi, seperti Asian Games dan Olimpiade.
Dalam Olimpiade misalnya, sejak Indonesia mengikuti Olimpiade pada 1952, baru empat cabang olahraga yang mempersembahkan medali, yakni panahan, bulutangkis, angkat besi, dan panjat tebing.
Dalam kurun 1952-2024, Indonesia baru mendapatkan 40 medali yang itu pun diawali pada Olimpiade Seoul 1988.
Sepuluh dari 40 medali itu adalah emas, yang baru bisa disumbangkan oleh bulu tangkis, angkat besi dan panjat tebing. Dua terakhir ini mendapatkan emas pada Olimpiade Paris 2024. Panjat tebing membuatnya pada debut Olimpiade cabang ini.
Di level Asian Games pun prestasi Indonesia tak cukup cemerlang.
Sejak pertama mengikuti Asian Games pada 1951 sampai edisi terakhir di China pada 2022, baru 39 cabang olahraga yang mempersembahkan medali. Total, 492 medali dikumpulkan Indonesia dalam kurun 1951-2022.
Dari jumlah itu, 98 di antaranya medali emas, yang disumbangkan oleh 20 cabang olahraga. Padahal jumlah cabang olahraga dalam PON semakin banyak.
Ke-20 cabang itu adalah bulu tangkis, tenis, tinju, karate, angkat besi, atletik, balap sepeda, wushu, sepak takraw, pencak silat, perahu naga, taekwondo, dayung, panjat tebing, menembak, boling, paralayang, layar, loncat indah, dan jet ski.
Uniknya, renang yang bersama bulu tangkis dan tenis menjadi tiga cabang yang menyumbangkan total medali terbanyak bagi Indonesia dari Asian Games ke Asian Games, belum sekali pun meraih emas.
Begitu pula dari sudut peringkat. Pada periode 1994-2022 saja Indonesia tak pernah bisa masuk 10 besar Asia Games, kecuali 2018 ketika diadakan di Jakarta dan Palembang.
Kala itu Indonesia finis urutan empat dengan 98 medali yang 31 di antaranya emas. Itu adalah peringkat tertinggi dan perolehan medali terbanyak sepanjang masa yang bisa diperoleh Indonesia.
Kelewat banyak
Hasil SEA Games juga tak begitu memuaskan. Berstatus penduduk terbanyak di Asia Tenggara, Indonesia tak pernah lagi menjadi nomor 1 di kawasan ini sejak 2011 ketika SEA Games digelar di Jakarta dan Palembang.
Rata-rata total medali yang didapatkan Indonesia dalam enam SEA Games terakhir adalah 236 medali, sedangkan rata-rata total medali emas yang diperoleh dari enam SEA Games terakhir itu adalah 63 medali emas.
Selama kurun waktu itu, jumlah cabang olahraga yang sukses mempersembahkan medali kepada Indonesia, berkisar pada 31-47 cabang olahraga.
Angka itu jauh di bawah jumlah cabang olahraga yang dimainkan dalam berbagai PON belakangan ini. PON 2024 saja mempertandingkan 65 cabang olahraga guna memperebutkan 1.042 medali emas.
Tak ada yang bisa memastikan bahwa semakin banyak cabang yang dimainkan dalam PON akan menunjang peningkatan prestasi pada ajang-ajang lebih tinggi.
Sebaliknya, yang terlihat malah kecenderungan memburu medali sebanyak-banyaknya lewat cara sangat pragmatis, dengan melombakan cabang-cabang relatif baru yang tidak dimainkan di level internasional, termasuk Asian Games dan Olimpiade, yang bahkan dengan nomor pertandingan yang kelewat banyak.
Contohnya dancesport atau dansa. Selama PON 2024 ini dansa melombakan 21 kelas pertandingan yang berarti 21 medali emas.
Tetapi praktik seperti itu sudah terjadi sejak PON-PON sebelumnya.
Masalahnya, ketika itu semua dikaitkan dengan prestasi atau partisipasi Indonesia dalam Olimpiade dan Asian Games, hasil dalam PON kadang tidak sinambung dengan skala partisipasi dan apa lagi hasil dalam dua ajang itu.
Guna menghindari ketidaksinambungan itu, ada baiknya pemangku kepentingan olahraga memprioritaskan PON pada cabang-cabang yang dimainkan dalam Asian Games dan Olimpiade.
Biarlah cabang-cabang yang tak dimainkan dalam Olimpiade dan Asian Games, besar lewat kejuaraan single event. Kalaupun tetap harus dimainkan dalam PON, maka jumlahnya lebih bisa dikendalikan lagi.
Hal ini dilakukan agar prestasi olahraga dalam PON memiliki kontinuitas atau berkesinambungan dengan prestasi olahraga di level internasional, khususnya Asian Games dan Olimpiade.