Makassar (ANTARA) - Pemanfaatan energi ramah lingkungan menjadi dambaan masyarakat dunia yang tengah berhadapan dengan pemanasan global sebagai dampak perubahan iklim.
Mencermati kondisi tersebut, sedikitnya 41 negara berkomitmen melalui Protokol Kyoto-- perjanjian internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global--, pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang.
Protokol Kyoto tersebut selanjutnya diadopsi oleh negara-negara yang menjadi penyumbang karbon berskala besar di dunia, termasuk Indonesia.
Dalam perkembangannya, komitmen tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 sebagai implementasi bersama yakni mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri.
Salah satu upaya tersebut untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) adalah pengurangan aktivitas industri yang ditopang oleh energi fosil.
Termasuk di dalamnya pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, seperti bahan bakar solar, batu bara, dan lainnya. Karena itu, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI) pada awal Januari 2024 mengejar target peningkatan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2025 dapat mencapai 23 persen.
Pasalnya, berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2023, realisasi bauran energi tercatat 13,09 persen atau masih jauh dari target nasional yang ditetapkan yakni 17,87 persen.
Padahal potensi EBT di Indonesia cukup besar di antaranya energi surya 4,80 KWH/M2 hari, /mikrohidro sebesar 460 MW, biomassa 50 GW, energi angin (bayu) sampai 6 m/detik, dan energi nuklir 3 GW.
Karena itu Pemerintah terus mendorong pemanfaatan EBT sebagai langkah-langkah transformasi menuju energi bersih yang telah dicanangkan sebagai salah satu peta jalan untuk mencapai penurunan target emisi Indonesia 0 persen (NZE) pada 2060.
Menindaklanjuti kondisi tersebut, Sulawesi Selatan yang merupakan hub Kawasan Timur Indonesia (KTI) telah mencatat persentase pembangkit EBT tertinggi di Indonesia.
Persentase pembangkit EBT di sistem kelistrikan Sulawesi bagian selatan termasuk tertinggi di Indonesia atau di atas rata-rata nasional, yakni 45,78 persen.
Menurut General Manager PT PLN (persero) Unit Induk Distribusi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat (UID Sulselrabar), Budiono, saat ini kapasitas terpasang untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) mencapai 851,3 mega Watt (MW) .
Adapun untuk kapasitas terpasang pembangkit listrik di dua lokasi di Sulsel, yakni Kabupaten Sidrap dan Jeneponto, totalnya mencapai 144 MW.
Capaian tersebut menjadi bukti keseriusan perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) ini bersama masyarakat setempat untuk mendukung Proyek Strategis nasional (PSN) dan juga target Pemerintah mencapai NZE 2060.
Penerapan dan pemanfaatan PLTS di Sulsel itu tersebar di Kabupaten Kepulauan Selayar, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Takalar, Kabupaten Bulukumba, dan Kota Makassar
Selain pemanfaatan PLTS tersebut, perusahaan setrum tersebut menghadirkan inovasi terbaru melalui pengadaan listrik tenaga surya yang diberi nama "SuperSUN".
SuperSUN merupakan inovasi PLN dalam menyediakan listrik ramah lingkungan melalui tenaga surya.
Perangkat inovasi karya anak bangsa ini mencoba menggabungkan antara apv rooftop dengan sistem penyimpanan energi baterai mikro dalam (BESS) dan meteran alternatif.
Kapasitasnya bervariasi, mulai dari 450 volt ampere, 900 volt ampere, hingga 1.300 MW.
Budiono mengatakan, SuperSUN ini suatu program peningkatan rasio elektrifikasi dan peningkatan rasio desa berlistrik yang menjadi bagian program pemerintah dan PLN agar masyarakat bisa menikmati listrik secara merata.
Berdasarkan data PLN UID Sulselrabar diketahui, saat ini telah terpasang 344 unit SuperSUN yang tersebar di Kabupaten Kepulauan Pangkep, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Luwu Utara Kabupaten Takalar Kabupaten Bulukumba, dan Kota Makassar.
Keenam daerah tersebut memiliki belasan hingga ratusan pulau yang masih terbatas penerangannya karena belum terjangkau akses pembangkit listrik.
Pengadaan SuperSUN di pulau itu sistemnya terdiri atas PV panel berkapasitas 440 Wp hingga 700 Wp dan baterainya berkapasitas 2 kWH, serta dilengkapi meteran prabayar. Potret penerima manfaat
Ketika berada di Dermaga Maccini Baji, Kecamatan Labbakkang, Kabupaten Pangkep, saat malam hari, nun jauh di sana terlihat kerlap-kerlip cahaya di Pulau Saugi.
Saugi merupakan pulau yang terdekat dari dermaga dari 117 pulau yang ada di Kabupaten Pangkep, namun kondisinya tidak lebih baik dari pulau lainnya ketika belum memiliki penerangan tenaga surya.
Pulau yang berada di Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, Sulsel, ini dihuni sekitar 400 jiwa dengan 130 kepala keluarga (KK), yang 70 persen di antaranya menggantungkan hidup dari hasil melaut.
Menurut Abdullah, warga Pulau Saugi yang sehari-hari mencari kepiting rajungan di laut, ketika penerangan di pulaunya masih menggunakan diesel, alat ini hanya beroperasi sekitar 4 jam, dari pukul 18.00 hingga pukul 22.00 Wita.
Namun pada waktu-waktu tertentu, saat musim ombak nelayan biasanya tinggal di rumah memperbaiki jaring atau pukat dan perahu mereka. Kondisi tersebut sangat terganggu jika tidak memiliki pencahayaan yang cukup.
Karena itu dengan adanya listrik tenaga surya SuperSUN, para nelayan dapat melakukan aktivitas pada malam hari, termasuk anak-anak mereka yang bersekolah dapat mengerjakan PR pada malam hari.
Sementara para ibu nelayan juga dapat memanfaatkan waktu untuk menambah penghasilan dengan membuat kue kering atau membuat es manis di dalam kulkas.
"Alhamdulillah dengan adanya listrik SuperSUN itu membuat warga pesisir lebih produktif, juga anak-anak sekolah kami bisa belajar pada malam hari," kata Kepala Desa Mattiro Baji H Muslimin.
Hal itu dibenarkan, Ketua Kelompok Perempuan Nelayan di Pulau Saugi, Hj Rahmatia.
Pada Mei 2018 sebelum pandemi COVID-19, warga Saugi sudah mulai menikmati listrik tenaga surya secara komunal. Iurannya terjangkau, hanya Rp20.000 per bulan per kepala keluarga.
Upaya mendapatkan listrik dengan harga terjangkau dan efisien itu tidak terlepas dari peran dua operator yakni Muh Ilham dan Yusman, yang secara bergantian mengoperasikan dan menjaga perangkat panel surya dan elektronik itu.
Sebelum dapat mengoperasikan perangkat PLTS itu, Ilham terlebih dahulu mengikuti lokakarya selama sepekan di Ciracas sehingga meski "hanya" lulusan STM, dia dipercaya mengelola PLTS itu.
Suka duka sudah dilewati Ilham mengelola listrik berbasis EBT itu dalam kurung 7 tahun terakhir. Namun, semangatnya untuk memajukan desa dan berbuat lebih dengan orang-orang di sekitarnya, ia memilih tetap menjadi operator PLTS daripada mencari pekerjaan lain dengan gaji yang lebih menggiurkan.
Gambaran dari warga Pulau Saugi ini menjadi salah satu potret kelistrikan sekaligus penerima manfaat Listrik SuperSUN di Sulsel. Harapannya ini dapat menjadi motivasi di daerah lainnya untuk bergerak bersama mewujudkan penerapan penggunaan energi bersih dengan berkolaborasi dengan multipihak di lapangan, hingga akhirnya target NZE 2060 tercapai dan dapat menunjukkan pada dunia, jika Indonesia adalah bangsa yang besar yang dapat memegang komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Operator dan pengelola PLTS di Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, Sulsel tengah membersihkan panel surya. ANTARA/Suriani Mappong
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sulsel garda terdepan penerapan energi bersih