Makassar (ANTARA) - Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIP) Bantaeng, Sulawesi Selatan, bersama Balang Institute mengecam keras tindakan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia yang secara sepihak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 11 pekerja lokal tanpa disertai perundingan.
"PHK itu bukan hanya melanggar prinsip keadilan dalam hubungan industrial, tapi juga menunjukkan bagaimana buruh menjadi pihak pertama yang dikorbankan ketika perusahaan mengalami tekanan atau menyusun strategi bisnis internal," ujar Ketua SBIPE KIBA Junaid Judda melalui siaran persnya diterima, Senin.
Dari informasi yang diperoleh, saat ini terdapat 11 orang pekerja buruh lokal kehilangan pekerjaan akibat PHK sepihak oleh PT Huadi pada 3 April 2025.
PHK ini dilakukan dengan alasan efisiensi untuk mencegah kerugian dan disampaikan tanpa melalui proses musyawarah atau perundingan dengan para pekerja atau perwakilan serikat buruh.
Menurutnya, alasan efisiensi tidak serta merta dapat dibenarkan untuk melakukan PHK buruh tanpa keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Pihak perusahaan berdalih seusai dalam surat PHK tersebut merujuk pada pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2021.
Namun dalam praktiknya, alasan efisiensi yang dipakai oleh PT Huadi, kata dia, sama sekali tidak disertai bukti akuntabel seperti laporan keuangan terbuka, restrukturisasi yang sah, atau adanya transparansi terkait kondisi perusahaan.
Hal senada disampaikan perwakilan Balang Institute Junaedi Hambali bahwa efisiensi yang dibebankan kepada buruh tanpa keterlibatan mereka dalam proses juga tanpa pengorbanan yang setara dari manajemen adalah bentuk ketidakadilan struktural.
"Ketika perusahaan meraih keuntungan, buruh sering kali diabaikan. Tetapi, ketika perusahaan menghadapi risiko atau tekanan, buruh malah justru yang pertama-tama dikeluarkan," ujarnya menegaskan.
Ironisnya, PHK dilakukan terhadap buruh yang sebagian besar warga lokal Bantaeng yang sebelumnya mengandalkan mendapatkan tambahan penghasilan di bulan Ramadhan, tidak dapat diperoleh karena dipecat lebih awal.
Padahal, selama ini mereka mengandalkan pekerjaan di sektor tambang untuk menghidupi keluarganya. Kompensasi sebesar Rp25.563.636 yang ditawarkan dinilai jauh dari cukup dan diduga berada di bawah ketentuan minimum, jika mengacu pada masa kerja dan hak normatif lainnya.
Oleh karena itu, SBIP menyatakan sikap mengecam keras keputusan PHK sepihak yang dilakukan oleh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia sebagai bentuk pengabaian terhadap hak-hak pekerja.
Menolak alasan efisiensi sebagai dasar PHK karena tidak disertai bukti objektif dan dilakukan tanpa musyawarah, sehingga cacat secara hukum dan moral.
Selanjutnya, mendesak Bupati Bantaeng segera mengambil langkah tegas melindungi warganya dari gelombang PHK sepihak ini, termasuk memfasilitasi mediasi dan mengawal hak-hak pekerja secara aktif.
Kemudian, menyerukan kepada seluruh serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, dan media lokal untuk bersama-sama mengawasi dan menyuarakan penolakan terhadap praktik PHK sewenang-wenang oleh perusahaan tambang dan smelter di Kabupaten Bantaeng.
Guna mengantisipasi gelombang PHK, SBIPE bersama Balang Institute dan LBH Makassar membuka posko perlindungan pekerja Kawasan Industri Bantaeng atau KIBA untuk menerima pengaduan dan konsultasi maupun pendampingan bagi buruh yang di-PHK maupun terancam di PHK serta pendampingan hukum memastikan haknya dipenuhi perusahaan.
Sebelumnya, DPRD Provinsi Sulawesi Selatan juga memanggil manajemen PT Huadi Nickel Alloy Indonesia atas dugaan pencemaran lingkungan dan udara menindaklanjuti aspirasi Aliansi Masyarakat Peduli Tambang Bantaeng terkait keluhan sawah Garapan beserta atapnya rusak dampak pembuangan limbah udara sejak beroperasinya smelter nikel perusahaan.