Makassar (ANTARA) - Ketika dunia seni dikejutkan oleh kabar pencurian di Museum Louvre di Paris belum lama ini, dunia seakan berhenti sejenak. Sebuah insiden yang tak hanya mengguncang keamanan museum, tapi juga menampar kesadaran global tentang nilai warisan budaya.
Di saat yang sama, karya-karya Banksy kembali jadi perbincangan panas. Muralnya yang baru muncul di dinding publik justru dihapus hanya sehari setelah viral. Ini memantik tanya, siapa sebenarnya yang berhak atas seni di ruang publik?
Sementara itu, jauh di Indonesia. Perdebatan lain bergema tentang “pencurian” yang lebih halus namun lebih dalam yakni hilangnya makna pendidikan dan seni dari akar budayanya sendiri. Dua ruang, dua wacana, tapi satu napas yang sama. Seni dan ilmu pengetahuan ternyata bukan sekadar pelengkap, melainkan dua sayap yang menentukan arah peradaban.
Adalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) yang merupakan forum akademik terbesar bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Indonesia. Ia lahir dari kesadaran bahwa pendidikan bukan sekadar kurikulum, tapi proyek peradaban. KONASPI XI kali ini diselenggarakan di Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, pada 23-28 Oktober 2025.
Mengutip laman resmi konaspi.unesa.ac.id, ajang ini visinya jelas yakni membangun sumber daya manusia unggul dan kompetitif yang mampu mendorong pembangunan nasional berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.
Tujuannya antara lain memberikan rekomendasi strategis kebijakan pendidikan nasional, menyepakati arah pengembangan LPTK yang adaptif terhadap era digital, merevitalisasi pendidikan guru dan kurikulum Merdeka Belajar–Kampus Merdeka (MBKM) serta menguatkan kolaborasi akademisi, pemerintah, dan industri pendidikan.
Ratusan rektor dan akademisi LPTK dari seluruh Indonesia hadir, menghasilkan publikasi ilmiah serta rekomendasi strategis nasional.
KONASPI adalah wadah bagi LPTK untuk memberikan sumbangsih gagasan dalam mendorong pengembangan SDM melalui pendidikan tinggi.
KONASPI tak hanya forum ilmiah, melainkan ruang spiritual pendidikan bangsa tempat ide bertemu realitas, dan kebijakan bertemu nurani. Sementara ruang pendidikan formal mencari arah lewat KONASPI, dunia seni akademik di Asia Tenggara melahirkan revolusi lain.
Data Scimago Journal Rank (SJR) 2025 menyebutkan bidang Visual Arts and Performing Arts mencatat peningkatan publikasi hampir 30 persen di kawasan Asia Tenggara, terutama dari Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
"Seni hari ini tidak lagi berhenti di kanvas. Ia berpindah ke jurnal, ke ruang digital, ke data akademik," kata Dosen ISI Yogyakarta Dr. Dwi Andayani dalam pernyataannya.
Dari Journal of Contemporary Painting di Inggris hingga INVENSI di Indonesia, seni kini menulis dirinya sendiri. Lukisan berubah jadi wacana, fotografi menjadi data sosial, dan instalasi menjadi riset lintas disiplin.
Seniman muda menulis risetnya sendiri memadukan etnografi, budaya lokal, dan refleksi sosial. Dari ritual Toraja, batik Madura, hingga mural urban Makassar, semua kini bisa dibaca di Scopus dan dikutip dalam makalah internasional.
Baik KONASPI maupun para peneliti seni visual memiliki satu semangat yang sama yakni menciptakan pengetahuan yang berakar dan berdampak. Yang satu membangun guru dan kebijakan, yang lain membangun narasi dan kesadaran visual. Keduanya bergerak menuju hal yang sama manusia unggul yang berbudaya. Pendidikan tanpa seni akan kering, seni tanpa pendidikan akan kehilangan arah.
Di tengah arus globalisasi, keduanya harus berjalan seirama menjaga agar kemajuan tidak mencabut akar.
Ironisnya, ketika Eropa berdebat tentang keamanan museum, Indonesia justru menulis bab baru tentang keamanan intelektualnya.
Kita mungkin tak bisa menjaga setiap lukisan dari pencurian, tapi kita bisa memastikan gagasan dan karya kita tak hilang dari sejarah.
KONASPI dengan reformasi pendidikannya, dan seniman dengan riset visualnya sedang menjaga roh bangsa agar tetap hidup di tengah algoritma dan kecerdasan buatan.
Baik di ruang rapat KONASPI maupun di studio seniman, satu pesan menggema sama kerasnya, "Masa depan Indonesia hanya bisa dibangun oleh manusia yang berpikir dan berimajinasi,".
Dari ruang kelas hingga ruang pamer, dari laboratorium pendidikan hingga jurnal seni, generasi muda Indonesia kini tidak hanya mencipta mereka menulis sejarahnya sendiri. Pendidikan adalah napas panjang bangsa yang ingin berlari jauh menuju Indonesia Emas 2045.
Tak berhenti di pameran, KONASPI 2025 di Ibu Kota Sulawesi Selatan ini, juga diwarnai dengan berbagai kegiatan akademik dan apresiatif yang mempertemukan insan seni dari berbagai penjuru Tanah Air. Sejumlah seminar nasional, diskusi panel, lokakarya kreatif, dan rapat kerja APSI (Asosiasi Pendidik Seni Indonesia) turut menghidupkan atmosfer intelektual dan kolaboratif di lingkungan Fakultas Seni dan Desain UNM.
Sesi seminar nasional menghadirkan pembicara dari berbagai perguruan tinggi ternama seperti Universitas Negeri Yogyakarta, ISI Surakarta, dan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Mereka membahas beragam topik mulai dari transformasi pendidikan seni di era digital, peran seni dalam membentuk karakter bangsa, hingga ekologi visual dan kesadaran budaya lokal di tengah globalisasi.
Ketua Panitia KONASPI 2025 Dr H Aswar menuturkan kegiatan ini menjadi momentum penting bagi pendidik seni untuk memperkuat peran strategis mereka dalam membangun karakter bangsa yang berbudaya.
"Kita ingin menghadirkan pendidikan seni yang bukan hanya berbicara tentang estetika, tapi juga etika dan empati. KONASPI adalah ruang berbagi praktik baik, sekaligus refleksi tentang arah pendidikan seni di masa depan," ujarnya.
Selain itu, lokakarya seni interaktif menjadi daya tarik tersendiri bagi peserta muda dan mahasiswa seni. Dalam lokakarya ini, peserta diajak untuk mengeksplorasi medium baru seperti eco-art, seni digital interaktif, hingga recycle installation art yang memadukan prinsip keberlanjutan dan inovasi visual.
Salah satu pengisi lokakarya, seniman muda asal Makassar, Nurhalisa K, mengungkapkan ajang tahunan ini membuka wawasan baru tentang pentingnya berpikir lintas disiplin.
"Seni hari ini tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus berdialog dengan lingkungan, teknologi, dan manusia. Lokakarya ini membuat kami sadar bahwa kreativitas juga bagian dari tanggung jawab sosial," katanya.
Di sisi lain, Rapat Kerja Nasional APSI membahas pembentukan kurikulum seni berbasis konteks lokal dan digitalisasi pembelajaran seni. Ketua Umum APSI, Prof. Dr Sujarwo menekankan pendidikan seni harus menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi.
"Kita tidak boleh kehilangan akar budaya kita, tapi juga tidak bisa menutup mata terhadap transformasi digital. Pendidikan seni harus adaptif, kontekstual, dan membumi," tegasnya.
Kegiatan ini juga dirangkaikan dengan malam apresiasi seni yang menampilkan kolaborasi lintas bidang mulai dari pertunjukan teater, musik etnik modern, hingga tari kontemporer yang mengangkat tema “Merayakan Imajinasi Nusantara.”
Malam itu, suasana kampus Universitas Negeri Makassar menjelma menjadi panggung dialog antara tradisi dan modernitas. KONASPI 2025 pun menegaskan kembali peran Makassar sebagai simpul penting dalam peta seni nasional tempat dimana seniman, akademisi, dan pendidik berjumpa untuk merumuskan masa depan seni yang humanis dan berkelanjutan.
Di tengah derasnya arus media sosial, ketika gambar bisa membentuk opini dan warna bisa menjadi simbol perlawanan, seni tampil sebagai suara paling jujur dari nurani manusia.
Kini, karya yang viral bukan sekadar karena keindahan, tetapi karena keberaniannya menyampaikan pesan dari mural yang menolak kekerasan, foto yang mengangkat isu kemanusiaan, hingga instalasi digital yang menyerukan perdamaian dunia.
Fenomena ini menegaskan satu hal penting. Seni bukan lagi sekadar ekspresi, melainkan kesadaran yang disiarkan.
Dalam dunia yang bising oleh opini dan algoritma, seniman hadir sebagai penjaga makna menyampaikan kebenaran tanpa retorika, membangun empati tanpa propaganda.
Melalui KONASPI 2025 dengan tema “Ruang Imaji”, seni kembali ke hakikatnya: menjadi ruang berpikir, berefleksi, dan berdialog. Ia hidup di galeri dan kampus, tapi juga tumbuh di linimasa digital dimana publik ikut menafsirkan dan memperjuangkan makna.
Melek seni berarti melek kemanusiaan. Sebuah lukisan bisa menggugah kesadaran, foto bisa menegakkan keadilan, dan karya instalasi bisa membuka percakapan lintas bangsa tentang perdamaian.
Seni bukan sekadar keindahan yang dipamerkan, tetapi perlawanan terhadap kebisuan.
Ia mengajak dunia untuk tidak hanya melihat, tetapi memahami. Tak hanya mengagumi, tetapi bertindak.
Karena di balik setiap karya yang jujur, selalu ada pesan sederhana namun kuat, dunia yang damai lahir dari manusia yang mampu melihat dengan hati.
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar yang sedang magang di LKBN ANTARA Biro Sulsel.

