Makassar (ANTARA) - Siapa yang tidak tergoda oleh mimpi mendapatkan uang banyak secara instan? Satu kali spin, satu kali klik, dan saldo tiba-tiba melonjak seperti keajaiban kecil di tengah malam.
Semuanya biasanya bermula dari hal remeh. Obrolan ringan di tongkrongan, iklan yang muncul sekilas di layar, atau link yang dikirim teman dengan embel-embel “Coba deh, lumayan".
Dari rasa ingin tahu kecil itu, lahirlah deposit pertama sederhana, tanpa curiga. Lalu, seperti magnet gelap yang tahu betul cara merayu, permainan mulai berputar. Spin, top up, withdraw yang tak pernah jelas datangnya, dan detak jantung yang dipaksa naik turun oleh rasa serakah dan euforia kemenangan pertama.
Dalam penelusuran ANTARA setelah berbincang dengan pemain aktif di Kota Makassar. Seorang pemain di banyak situs umumnya menganalisa model dan cara kerja judi online yang awalnya dianggap bukanlah sebagai ancaman.
Ia menyelinap sebagai hiburan. Halus, rapi, dan merendah. Ia membuat setiap orang merasa sedang memegang kendali, padahal diam-diam justru permainan lah yang menggenggam mereka lebih erat dari yang mereka sadari.
Di Makassar, jaringan judi online tidak hanya bersembunyi di balik layar. Ia hidup di sekitar kita. Di gang-gang sempit, pinggir jalan, hingga warung kelontong, chip game berkedok top up dijual bebas seolah komoditas sah.
Banyak pelaku usaha kecil yang membuka akses pembelian chip bukan lagi sebagai layanan tambahan, tetapi sebagai magnet pelanggan. Di beberapa titik, warung-warung ini justru menjadi pusat peredaran chip paling ramai. Pembelinya datang silih berganti, sebagian berpura-pura membeli pulsa, padahal yang diambil adalah “amunisi” untuk slot dan permainan taruhan lainnya.
Modusnya sederhana. Top up yang diklaim game biasa, tetapi nyatanya terhubung ke ekosistem judol. Dari luar, transaksi ini tampak seperti belanja digital biasa. Namun di lapangan, pola perilakunya mudah dikenali.
Para pemain sering terlihat duduk di bangku plastik atau berdiri di pojok gang, menatap layar handphone dengan posisi ponsel horizontal, jari mengetuk ritmis seperti sedang menantang nasib. Bila hasil tak sesuai harapan, ketukan berubah jadi pukulan. Kasus ponsel dibanting, digores, atau rusak karena amarah adalah cerita lumrah yang muncul berulang setiap hari.
Bukan lagi fenomena tersembunyi. Aktivitas ini berlangsung terang-terangan,
judi online tumbuh seperti jamur yang tak pernah mati. Ia bergerak lewat celah-celah percakapan digital di grup/siaran WhatsApp, komentar TikTok, DM Instagram, atau media sosial lainnya, hingga dari mulut ke mulut.
Namanya berganti setiap minggu. Link-nya pindah alamat setiap hari. Tapi polanya sama, menarik korban dengan iming-iming kemenangan cepat, lalu membiarkan mereka jatuh sampai saldo terakhir.
Pertama, model yang paling rakus adalah slot online. Mesin putar digital ini tampil penuh warna, dengan suara gemerincing yang memancing adrenalin. Di balik layar, algoritmanya tertutup rapat seperti ruang gelap tanpa jendela. Uang ditransfer lewat e-wallet atau QR code acak. Fasilitas Ovo, Gopay dan lainnya berubah menjadi kredit permainan, dikikis sedikit demi sedikit. Dan ketika pemain menang besar, proses pencairan mendadak macet ditunda, diperlambat, atau dibatalkan sepihak.
Model berikutnya adalah chip game kasino terselubung dalam wujud game santai seperti domino. Chip diperjualbelikan di grup Telegram, WA RT, bahkan warung kecil. Seolah biasa. Seolah hanya hiburan. Padahal seluruh ekosistemnya ilegal.
Chip menang bisa dijual lagi, tapi penipuan justru paling sering muncul di sini. Pembeli kabur, harga ditelikung atau akun dibekukan.
Di jalur lain, judi angka atau togel 2D, 3D, 4D mengambil bentuk digital baru. Cuma perlu satu klik untuk memasuki ruang taruhan. Pembayaran menggunakan rekening siluman atau e-wallet palsu. Hasil keluaran angka dikirim tiap malam, dan seperti biasa, pembayaran kemenangan tak pernah dijamin.
Lalu, Sportsbook juga tak kalah ganas. Memasang wajah profesional sebagai daya tarik, menawarkan taruhan Liga 1 hingga Premier League atau pertandingan olahraga lainnya bahkan e-sport. Tapi permainan dikendalikan sepenuhnya oleh server mereka.
Pengguna menyetor uang dengan percaya diri, namun setiap kemenangan melewati proses penarikan yang panjang, penuh alasan, penuh penundaan.
Lapis lainnya lebih menyeramkan. Tembak ikan dan arcade hybrid. Permainan bak serigala berbulu domba yang tampil seperti permainan anak-anak, penuh warna dan animasi menarik. Tapi setiap peluru adalah koin yang dibeli dengan rupiah. Setiap ikan adalah nilai taruhan. Banyak remaja bahkan hingga orangtua terjerumus lewat model permainan ketangkasan ini karena mereka tak pernah diberi tahu bahwa yang mereka mainkan adalah kasino dalam bentuk game.
Dan di puncaknya, ada live casino disiarkan dengan dealer cantik, studio mewah dan sudut kamera elegan. Semua terlihat jujur. Semua terlihat legal tapi hasil tetap dikendalikan server penipu itu. Kemenangan adalah umpan, kekalahan adalah tujuan.
Gelombang judi online makin deras, menyeret anak muda sampai kepala daerah. Negara memang bergerak dengan memblokir situs, memburu jaringan, dan menaikkan tensi kampanye anti-judi. Tapi satu pertanyaan masih memecah opini publik. Perlukah judi online dipajaki? Jawabannya, tidak. Sama sekali tidak.
Di lapangan, chip mata uang gelap dunia judi online beredar di ruang-ruang tak resmi. Pembelian paling banyak terjadi melalui sosmed, agen atau warung di sekitar transfer rekening bank dan e-wallet QRIS yang disamarkan dengan top up game. Penjualan chip ini tak punya izin, tak punya regulasi, tapi punya pengaruh besar pada rekam jejak finansial orang yang membelinya.
Setiap pembelian chip bahkan depo meninggalkan bayangan panjang di sistem perbankan. Transaksi yang berulang, frekuensi tinggi, dan berpola mirip deposit withdrawal dapat terbaca sebagai aktivitas keuangan mencurigakan.
Dalam banyak kasus, pola seperti ini mendorong bank atau PPATK menandainya sebagai transaksi ilegal.
Judi offline maupun online bukan lah kegiatan ekonomi legal. Negara sudah menegaskannya lewat Pasal 303 KUHP dan UU ITE Pasal 27 ayat (2) bahwa mengakses, menyelenggarakan, maupun memfasilitasi perjudian adalah tindak pidana.
Kalau aktivitasnya ilegal maka basis pajaknya otomatis gugur. Pajak hanya berlaku untuk aktivitas yang diberi izin dan diakui negara. Menarik pajak dari judi online berarti mengakui eksistensinya. Sebuah langkah yang bukan hanya kontraproduktif, tapi juga membuka pintu normalisasi perilaku destruktif yang kini memakan korban keluarga, mahasiswa, bahkan aparatur negara.
Pejabat Kemenkeu pun sudah memastikan bahwa negara tidak pernah, dan tidak akan, memungut pajak dari judi online (Kementerian Keuangan RI, 2024).
Segala narasi bahwa negara memungut pajak dari slot dan kasino digital hanyalah spekulasi liar yang tidak berdiri di atas dokumen hukum apapun.
Pada akhirnya, seluruh model ini punya DNA yang sama, beroperasi tanpa regulasi, memanipulasi transaksi digital, dan menghentikan pembayaran ketika pemain mulai menang.
Tak peduli seberapa fun tampilannya, tak peduli seberapa modern aplikasinya, bandar selalu berada di balik layar mengatur semua tombol yang harus ditekan.
Di tengah derasnya arus digital, masyarakat perlu paham satu hal yakni tidak ada casino yang dibangun untuk membuat pemain kaya.
Industri ini bukan sekadar hiburan. Ia adalah mesin penyedot uang, waktu, dan masa depan. Ia mencuri fokus, menggerogoti keharmonisan keluarga, dan diam-diam mencetak generasi yang kecanduan.
Judi online selalu dibungkus dengan kemenangan. Tapi pada akhirnya, ia hanya menawarkan satu tiket masuk dan tidak pernah benar-benar keluar sebagai pemenang, kecuali individu tersebut secara sadar berubah dengan sendirinya.
Situasi ini menunjukkan bahwa ekosistem judol di Makassar ataupun daerah lainnya bukan sekadar aktivitas digital, melainkan jaringan fisik ilegal yang tersebar dan tumbuh subur.
Ia masuk melalui warung, toko kecil, hingga rumah-rumah biasa. Jika tidak ditindak, lingkungan bisa terseret dalam arus yang sama. Gaduh, gelisah, dan perlahan kehilangan kendali atas ruang sosialnya sendiri.

