Makassar (ANTARA News) - Petambak garam di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan terancam menganggur, karena aktivitasnya terganggu pada musim hujan.

"Pada saat musim hujan, kami tidak bisa beraktivitas, karena untuk menghasilkan garam dibutuhkan sinar matahari dalam sebulan," kata petambak garam di Kabupaten Jeneponto, Sulsel, Darwis menanggapi kekhawatiran petambak garam di wilayahnya, Kamis.

Menurut dia, pada musim hujan petambak garam akan kesulitan melakukan produksi, sehingga stok garam yang masih ada dijual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan pada saat musim kemarau.

Sebagai gambaran, harga garam per karung ukuran 25 kilogram yang biasanya dijual seharga Rp25 ribu, kini terpaksa dijual dengan harga dua kali lipat yakni Rp50 ribu per kg.

"Harga garam ini kami naikkan, hanya untuk menutupi kebutuhan kami sehari-hari selama tidak berproduksi pada musim hujan," katanya.

Hal senada dikemukakan petambak garam lainnya di Kabupaten Jeneponto, Sulsel, Syamsuddin.

Menurut dia, sebagian besar warga Jeneponto yang berada di wilayah pesisir menggantungkan hidupnya dari bertambak garam. Apalagi daerah yang berjulukan "butta turatea" ini merupakan sentra produksi garam terbesar di Sulsel.

"Jadi wajar jika kami khawatir jika hujan turun terus-menerus, karena itu akan membuat kami menganggur, sementara persediaan garam terus menipis," katanya.

Produksi garam Kabupaten Jeneponto, Sulsel masih terbilang minim yakni hanya sekitar 40 ribu ton per tahun yang bersumber dari hasil pertambakan garam seluas 556 hektare.

Pengembangan produksi garam di daerah itu dilakukan melalui 816 unit usaha garam rakyat yang tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Arungkeke, Tamalatea, Bangkala, dan Bangkala Barat. (T.S036//F003)


Pewarta :
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024