Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan prinsip adil dan terjangkau penting dalam transisi energi, sehingga Conference of The Parties (COP) yang merupakan konferensi perubahan iklim terus membahas prinsip tersebut.
"Namun tidak hanya retorika. Jika kita tidak mempersiapkan diri pada prinsip adil dan terjangkau secara nyata, maka tidak akan ada kemajuan," ungkap Sri Mulyani dalam acara Munich Security Conference bertajuk "Power Shifts: Geopolitics of the Green Transition", yang dipantau secara daring di Jakarta, Sabtu.
Maka dari itu, prinsip adil dan terjangkau, kata dia, diterapkan di Indonesia secara nyata dalam mekanisme transisi energi yang sedang dirancang.
Indonesia kini sedang mendesain rencana pensiun dini terhadap tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Untuk memberhentikan PLTU tersebut dalam rangka mengurangi emisi karbon, pemerintah memberlakukan pengurangan kontrak secara bertahap, salah satunya kepada pembangkit listrik independen (Independent Power Producer/IPP).
Pemberian kontrak terhadap PLTU batu bara pada awalnya adalah selama 30 tahun. Dengan adanya target mengurangi emisi karbon, kontrak tersebut diperpendek menjadi 15 tahun.
Dalam pengurangan masa kontrak, Bendahara Negara ini menyebutkan perusahaan tentunya meminta kompensasi. Dengan demikian pemerintah harus memiliki posisi fiskal yang sehat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
"Kondisi ini yang terus kami bahas dan itulah mengapa Indonesia pada masa kepresidenan G20 tahun lalu, kami meluncurkan mekanisme transisi energi ini," ucap dia.
Berkat langkah nyata yang dilakukan Indonesia dalam transisi energi, Sri Mulyani mengungkapkan banyak negara termasuk Jerman, Amerika Serikat, hingga Jepang mengumumkan janji kemitraan transisi energi sebesar 20 miliar dolar AS.
Komitmen tersebut akan dialokasikan bagi Indonesia untuk mendukung transisi energi yang adil dan terjangkau.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sri Mulyani: Prinsip adil dan terjangkau penting dalam transisi energi
"Namun tidak hanya retorika. Jika kita tidak mempersiapkan diri pada prinsip adil dan terjangkau secara nyata, maka tidak akan ada kemajuan," ungkap Sri Mulyani dalam acara Munich Security Conference bertajuk "Power Shifts: Geopolitics of the Green Transition", yang dipantau secara daring di Jakarta, Sabtu.
Maka dari itu, prinsip adil dan terjangkau, kata dia, diterapkan di Indonesia secara nyata dalam mekanisme transisi energi yang sedang dirancang.
Indonesia kini sedang mendesain rencana pensiun dini terhadap tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Untuk memberhentikan PLTU tersebut dalam rangka mengurangi emisi karbon, pemerintah memberlakukan pengurangan kontrak secara bertahap, salah satunya kepada pembangkit listrik independen (Independent Power Producer/IPP).
Pemberian kontrak terhadap PLTU batu bara pada awalnya adalah selama 30 tahun. Dengan adanya target mengurangi emisi karbon, kontrak tersebut diperpendek menjadi 15 tahun.
Dalam pengurangan masa kontrak, Bendahara Negara ini menyebutkan perusahaan tentunya meminta kompensasi. Dengan demikian pemerintah harus memiliki posisi fiskal yang sehat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
"Kondisi ini yang terus kami bahas dan itulah mengapa Indonesia pada masa kepresidenan G20 tahun lalu, kami meluncurkan mekanisme transisi energi ini," ucap dia.
Berkat langkah nyata yang dilakukan Indonesia dalam transisi energi, Sri Mulyani mengungkapkan banyak negara termasuk Jerman, Amerika Serikat, hingga Jepang mengumumkan janji kemitraan transisi energi sebesar 20 miliar dolar AS.
Komitmen tersebut akan dialokasikan bagi Indonesia untuk mendukung transisi energi yang adil dan terjangkau.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sri Mulyani: Prinsip adil dan terjangkau penting dalam transisi energi