Makassar (ANTARA) - Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) bersama Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sulawesi Selatan menggelar fokus grup diskusi (FGD) membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Perdata.
Sekretaris Ditjen PP Heni Susila Wardoyo di Makassar, Selasa, membacakan amanat Plt Direktur Jenderal PP Asep Mulyana, menyampaikan bahwa RUU tentang Hukum Acara Perdata yang telah disusun pemerintah untuk menggantikan hukum acara perdata peninggalan Pemerintah Hindia Belanda.
“RUU tentang hukum acara perdata ini hadir demi mampu memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi semua pihak, melindungi hak asasi manusia, serta mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak asasi dan kewajiban,” ujarnya.
Heni mengungkapkan bahwa perkembangan masyarakat yang sangat cepat serta pengaruh globalisasi, menuntut adanya hukum acara perdata yang dapat mengatasi persengketaan di bidang perdata dengan cara yang efektif, efisien, sesuai dengan asas sederhana, mudah, dan biaya ringan.
“Melalui FGD ini, kami harap dapat menghasilkan masukan yang konstruktif guna menghasilkan hukum acara perdata yang lebih baik bagi Indonesia,” harap Heni.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkumham Sulsel Taufiqurrakhman menyampaikan apresiasi kepada jajaran Ditjen PP yang telah bekerjasama dalam menyelenggarakan diskusi publik RUU itu.
Menurutnya, peraturan perundang-undangan hukum acara perdata yang saat ini berlaku mengandung dualisme hukum acara yang berlaku untuk pengadilan di Jawa-Madura.
Hal ini tentu sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dimana sudah tidak ada lagi pembagian wilayah Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura.
"Keberlakuan hukum acara perdata adalah di seluruh Indonesia dan berlaku untuk semua warga Negara Indonesia tanpa membedakan golongan,” kata dia.
Atas situasi tersebut, Taufiqurrakhman menyebut perlu disusun RUU tentang hukum acara perdata nasional yang komprehensif sehingga dapat menampung perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat dengan memperhatikan prinsip atau asas-asas hukum acara perdata yang berlaku.
“Dalam penyusunan RUU tersebut haruslah memenuhi ketentuan sebagaimana termuat dalam UUD 1945, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan disusun melalui proses legal drafting yang tepat,” jelas Taufiqurrakhman.
Disamping itu, lanjut dia, pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh serampangan dan tergesa-gesa dalam proses penyusunannya, serta memperhatikan betul-betul partisipasi masyarakat.
Hal itu, kata dia, agar proses pembentukan suatu undang-undang benar-benar dapat menjadi solusi atas permasalahan hukum yang terjadi, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan responsif terhadap perkembangan zaman.
“Melalui FGD ini, pemikiran para undangan dan peserta yang hadir dapat menghasilkan masukan yang konstruktif guna menghasilkan hukum acara perdata yang lebih baik bagi bangsa dan negara kita,” terangnya.
Adapun Alexander Palti selaku Direktur Perancangan Perundang-Undangan Ditjen PP dalam laporannya mengatakan pelaksanaan FGD ini merupakan bagian dari pemenuhan partisipasi publik secara penuh dan bermakna, juga sebagai salah satu tolok ukur terhadap produk hukum apakah telah tersusun dengan sempurna, baik secara formil maupun materiil yang memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Lanjut Palti, FGD ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pemenuhan meaningful participation harus sekurang-kurang dipenuhi dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan dan Pasal 96 UU No 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“FGD ini merupakan bentuk sarana pemenuhan kebutuhan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik antara Pemerintah, DPR, dan masyarakat. FGD ini diharapkan berkembang menjadi diskusi yang aktif, dinamis, produktif, dan kontributif bagi reformasi hukum nasional,” ujarnya.
Palti dalam laporannya mengatakan FGD ini dihadiri sebanyak 150 orang dengan menghadirkan narasumber yaitu Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, Dr. Asep Iwan Iriawan, dan Dr. Afdhal Mahatta.
Turut hadir dalam kegiatan ini jajaran Forkopimda se-Sulsel, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Hernadi, para pejabat administrator dan pengawas, dan seluruh pegawai divisi pelayanan hukum dan HAM.
Sekretaris Ditjen PP Heni Susila Wardoyo di Makassar, Selasa, membacakan amanat Plt Direktur Jenderal PP Asep Mulyana, menyampaikan bahwa RUU tentang Hukum Acara Perdata yang telah disusun pemerintah untuk menggantikan hukum acara perdata peninggalan Pemerintah Hindia Belanda.
“RUU tentang hukum acara perdata ini hadir demi mampu memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi semua pihak, melindungi hak asasi manusia, serta mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak asasi dan kewajiban,” ujarnya.
Heni mengungkapkan bahwa perkembangan masyarakat yang sangat cepat serta pengaruh globalisasi, menuntut adanya hukum acara perdata yang dapat mengatasi persengketaan di bidang perdata dengan cara yang efektif, efisien, sesuai dengan asas sederhana, mudah, dan biaya ringan.
“Melalui FGD ini, kami harap dapat menghasilkan masukan yang konstruktif guna menghasilkan hukum acara perdata yang lebih baik bagi Indonesia,” harap Heni.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkumham Sulsel Taufiqurrakhman menyampaikan apresiasi kepada jajaran Ditjen PP yang telah bekerjasama dalam menyelenggarakan diskusi publik RUU itu.
Menurutnya, peraturan perundang-undangan hukum acara perdata yang saat ini berlaku mengandung dualisme hukum acara yang berlaku untuk pengadilan di Jawa-Madura.
Hal ini tentu sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dimana sudah tidak ada lagi pembagian wilayah Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura.
"Keberlakuan hukum acara perdata adalah di seluruh Indonesia dan berlaku untuk semua warga Negara Indonesia tanpa membedakan golongan,” kata dia.
Atas situasi tersebut, Taufiqurrakhman menyebut perlu disusun RUU tentang hukum acara perdata nasional yang komprehensif sehingga dapat menampung perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat dengan memperhatikan prinsip atau asas-asas hukum acara perdata yang berlaku.
“Dalam penyusunan RUU tersebut haruslah memenuhi ketentuan sebagaimana termuat dalam UUD 1945, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan disusun melalui proses legal drafting yang tepat,” jelas Taufiqurrakhman.
Disamping itu, lanjut dia, pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh serampangan dan tergesa-gesa dalam proses penyusunannya, serta memperhatikan betul-betul partisipasi masyarakat.
Hal itu, kata dia, agar proses pembentukan suatu undang-undang benar-benar dapat menjadi solusi atas permasalahan hukum yang terjadi, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan responsif terhadap perkembangan zaman.
“Melalui FGD ini, pemikiran para undangan dan peserta yang hadir dapat menghasilkan masukan yang konstruktif guna menghasilkan hukum acara perdata yang lebih baik bagi bangsa dan negara kita,” terangnya.
Adapun Alexander Palti selaku Direktur Perancangan Perundang-Undangan Ditjen PP dalam laporannya mengatakan pelaksanaan FGD ini merupakan bagian dari pemenuhan partisipasi publik secara penuh dan bermakna, juga sebagai salah satu tolok ukur terhadap produk hukum apakah telah tersusun dengan sempurna, baik secara formil maupun materiil yang memenuhi tuntutan kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Lanjut Palti, FGD ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pemenuhan meaningful participation harus sekurang-kurang dipenuhi dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan dan Pasal 96 UU No 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“FGD ini merupakan bentuk sarana pemenuhan kebutuhan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik antara Pemerintah, DPR, dan masyarakat. FGD ini diharapkan berkembang menjadi diskusi yang aktif, dinamis, produktif, dan kontributif bagi reformasi hukum nasional,” ujarnya.
Palti dalam laporannya mengatakan FGD ini dihadiri sebanyak 150 orang dengan menghadirkan narasumber yaitu Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, Dr. Asep Iwan Iriawan, dan Dr. Afdhal Mahatta.
Turut hadir dalam kegiatan ini jajaran Forkopimda se-Sulsel, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Hernadi, para pejabat administrator dan pengawas, dan seluruh pegawai divisi pelayanan hukum dan HAM.