Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto membuka opsi untuk mengkaji ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah.
Hal itu disampaikan Bima Arya dalam Seminar "Menata Ulang Desain Sistem Pemilu di Indonesia" di Jakarta, Selasa.
Awalnya dia menjelaskan bahwa ambang batas pencalonan yang tidak terlalu tinggi dan rendah mampu membuka banyak kesempatan dan menguatkan eksekutif di daerah.
"Tapi kenyataannya adalah tetap masih banyak juga yang melawan kotak kosong di daerah," kata Bima.
Meski begitu, masih banyak juga pasangan calon kepala daerah yang melawan kotak kosong dalam pilkada.
Hal ini membuat banyak kepala daerah yang memiliki keharusan untuk memenuhi ambang batas, sehingga partai politik mengalami situasi keterpaksaan untuk bergabung berkoalisi.
"Ini bermasalah ketika mencari mitra untuk menjadi pasangan dalam pencalonan pilkada," tambahnya.
Dari situasi ini, sambung Bima, muncul fenomena "kawin paksa" dimana calon kepala daerah terpaksa maju bersama dalam pilkada meski tidak menyukai pasangannya.
Beberapa riset juga menyebutkan sekitar 50 hingga 60 persen fenomena ini membuat konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.
Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan secara terus menerus. Untuk itu, perlu ada asesmen terhadap sistem pemilu.
"Salah satu opsinya adalah mengkaji threshold tadi baik ambang batas di atasnya tidak boleh terlalu banyak sehingga tidak boleh ada calon tunggal," jelas Bima.
Bima mengatakan upaya ini untuk menjaga demokrasi dan memiliki kesempatan dalam memilih pasangan untuk maju pilkada.
"Harus dibatasi supaya tetap pada demokrasi atau di bawahnya juga jangan terlalu tinggi supaya kita leluasa. Jadi bisa maju, kemudian calon wakilnya pun bisa dengan leluasa orang yang memiliki chemistry dengan calon kepala daerahnya," pungkas dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Wamendagri buka opsi kaji ambang batas pilkada
Hal itu disampaikan Bima Arya dalam Seminar "Menata Ulang Desain Sistem Pemilu di Indonesia" di Jakarta, Selasa.
Awalnya dia menjelaskan bahwa ambang batas pencalonan yang tidak terlalu tinggi dan rendah mampu membuka banyak kesempatan dan menguatkan eksekutif di daerah.
"Tapi kenyataannya adalah tetap masih banyak juga yang melawan kotak kosong di daerah," kata Bima.
Meski begitu, masih banyak juga pasangan calon kepala daerah yang melawan kotak kosong dalam pilkada.
Hal ini membuat banyak kepala daerah yang memiliki keharusan untuk memenuhi ambang batas, sehingga partai politik mengalami situasi keterpaksaan untuk bergabung berkoalisi.
"Ini bermasalah ketika mencari mitra untuk menjadi pasangan dalam pencalonan pilkada," tambahnya.
Dari situasi ini, sambung Bima, muncul fenomena "kawin paksa" dimana calon kepala daerah terpaksa maju bersama dalam pilkada meski tidak menyukai pasangannya.
Beberapa riset juga menyebutkan sekitar 50 hingga 60 persen fenomena ini membuat konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.
Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan secara terus menerus. Untuk itu, perlu ada asesmen terhadap sistem pemilu.
"Salah satu opsinya adalah mengkaji threshold tadi baik ambang batas di atasnya tidak boleh terlalu banyak sehingga tidak boleh ada calon tunggal," jelas Bima.
Bima mengatakan upaya ini untuk menjaga demokrasi dan memiliki kesempatan dalam memilih pasangan untuk maju pilkada.
"Harus dibatasi supaya tetap pada demokrasi atau di bawahnya juga jangan terlalu tinggi supaya kita leluasa. Jadi bisa maju, kemudian calon wakilnya pun bisa dengan leluasa orang yang memiliki chemistry dengan calon kepala daerahnya," pungkas dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Wamendagri buka opsi kaji ambang batas pilkada