Mamuju (ANTARA Sulsel) - Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) pimpinan Kota Mamuju, Sulawesi Barat, mengharapkan pemerintah untuk memperhatikan kasus konflik agraria, khususnya konflik kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit yang terjadi di daerah.
Hal ini disampaikan Koordinator Aksi FPPI Kota Mamuju, Wahyu dalam orasinya saat melakukan aksi unjukrasa memperingati 54 tahun lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang digelar di perempatan jalan Ahmad Kirang Mamuju, Rabu.
Pengunjukrasa berpendapat, sejak di sahkannya UUPA ini ternyata belum memberi kemerdekaan penuh kepada petani untuk berdaulat atas tanahnya.
Karena itu kata dia, pemerintah diminta untuk serius menangani kasus-kasus agraria karena rentan terjadinya konflik horisontal di masyarakat.
"Sejak pemerintah melahirkan UU Penanaman Modal Asing yang menjadi pintu masuknya investor asing, ternya melemahkan Undang undang Pokok agraria karena tidak mampu lagi berjalan sesuai esensinya. Akibatnya banyak kasus-kasus kriminalisasi petani yang terjadi di wilayah Indonesia," ujar Wahyu.
Tidak sampai disitu saja, liberalisasi ikut memunculkan oligopoli perusahaan swasta yang dapat mengendalikan aturan main pengelolaan komoditi pertanian, harga produk, bibit dan sarana produksi pertanian.
Pengunjukrasa juga mengecam sejumlah perusahaan sawit yang ada di Sulawesi Barat khususnya di Mamuju Utara yang menyerobot tanah petani dan pemerintah yang tidak pro aktif dalam memfasilitasi konflik agraria sehingga sangat merugikan petani.
"Mungkin tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa nasib petani sering menjadi kelompok yang dirugikan. Petani merasa menjerit ketika biaya produksi lebih mahal dibandingkan dengan hasil produksi. Jeritan kaum petani merupakan suatu perjalanan panjang dalam kehidupan," ujarnya.
Bukan itu saja, dalam kerangka yang lebih luas petani selalu menjadi objek segala macam kebijakan, dan jarang sekali menjadi subjek dalam kebijakan tersebut.
Sebut saja kata dia kaum petani jarang diikut sertakan dalam menentukan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan untuk merubah nasibnya sendiri.
"Kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan pesan atas proyek dan itu jelas merugikan petani kita," ujar Wahyu.
Dengan banyaknya kejadian atau konflik agraria yang terjadi di Sulbar maka sejatinya menjadi bahan evaluasi dan legitimasi bagi pemerintah daerah untuk segera menghentikan dan menyelesaikan masalah petani dan perusahaan, bukannya malah menutup mata serta tidak mau tau keadaan petani.
"Kesan yang timbul bagi rakyat bahwa pemerintah daerah dan DPRD tidak berpihak kepada rakyatnya yang tertindas," ujarnya. FC Kuen
Hal ini disampaikan Koordinator Aksi FPPI Kota Mamuju, Wahyu dalam orasinya saat melakukan aksi unjukrasa memperingati 54 tahun lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang digelar di perempatan jalan Ahmad Kirang Mamuju, Rabu.
Pengunjukrasa berpendapat, sejak di sahkannya UUPA ini ternyata belum memberi kemerdekaan penuh kepada petani untuk berdaulat atas tanahnya.
Karena itu kata dia, pemerintah diminta untuk serius menangani kasus-kasus agraria karena rentan terjadinya konflik horisontal di masyarakat.
"Sejak pemerintah melahirkan UU Penanaman Modal Asing yang menjadi pintu masuknya investor asing, ternya melemahkan Undang undang Pokok agraria karena tidak mampu lagi berjalan sesuai esensinya. Akibatnya banyak kasus-kasus kriminalisasi petani yang terjadi di wilayah Indonesia," ujar Wahyu.
Tidak sampai disitu saja, liberalisasi ikut memunculkan oligopoli perusahaan swasta yang dapat mengendalikan aturan main pengelolaan komoditi pertanian, harga produk, bibit dan sarana produksi pertanian.
Pengunjukrasa juga mengecam sejumlah perusahaan sawit yang ada di Sulawesi Barat khususnya di Mamuju Utara yang menyerobot tanah petani dan pemerintah yang tidak pro aktif dalam memfasilitasi konflik agraria sehingga sangat merugikan petani.
"Mungkin tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa nasib petani sering menjadi kelompok yang dirugikan. Petani merasa menjerit ketika biaya produksi lebih mahal dibandingkan dengan hasil produksi. Jeritan kaum petani merupakan suatu perjalanan panjang dalam kehidupan," ujarnya.
Bukan itu saja, dalam kerangka yang lebih luas petani selalu menjadi objek segala macam kebijakan, dan jarang sekali menjadi subjek dalam kebijakan tersebut.
Sebut saja kata dia kaum petani jarang diikut sertakan dalam menentukan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan untuk merubah nasibnya sendiri.
"Kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan pesan atas proyek dan itu jelas merugikan petani kita," ujar Wahyu.
Dengan banyaknya kejadian atau konflik agraria yang terjadi di Sulbar maka sejatinya menjadi bahan evaluasi dan legitimasi bagi pemerintah daerah untuk segera menghentikan dan menyelesaikan masalah petani dan perusahaan, bukannya malah menutup mata serta tidak mau tau keadaan petani.
"Kesan yang timbul bagi rakyat bahwa pemerintah daerah dan DPRD tidak berpihak kepada rakyatnya yang tertindas," ujarnya. FC Kuen