Menelusuri batu nisan pelukis termahal dunia
Denpasar (ANTARA) - Tak pernah ada yang tahu di mana letak batu nisan untuk kuburan Romualdo Locatelli, seniman asal Italia, yang kini meninggalkan jejak berupa sejumlah karya seni yang harganya berada pada sederetan lukisan termahal di dunia.
Bayangkan. Untuk sebuah lukisan karya Locatelli yang menggambarkan sosok masyarakat dengan latar belakang budaya Bali, belum lama ini laku terjual seharga 660 ribu Dolar Amerika Serikat, atau lebih dari Rp9 miliar.
Philippe Augier, owner's representative Museum Pasifika di Nusa Dua, Bali, mengungkapkan, lukisan cat minyak berdimensi 88x58 cm yang diberi judul Smoking itu laku terjual seharga lebih dari Rp9 miliar di arena lelang pada acara 'Modern and Contemporary Southeast Asian Art Evening Sale' di Sotheby's Hong Kong, 31 Maret 2019.
Di sela-sela kegiatan mempresentasikan buku berjudul 'Ramualdo Locatelli, Eternal Green Under an Eternal Sun' karya Mr Gianni Orsini Msc, Philippe Augier menyebutkan, lukisan termahal Smoking tersebut, merupakan hasil goresan tangan Locatelli saat dia sempat tinggal dalam beberapa tahun di Bali, pada sekitar pergolakan Perang Dunia II
Setelah sempat menetap di Bali dan Filipina, tak seorang pun dapat melihat lagi sosok pria berkebangsaan Italia itu. Dia bagaikan habis ditelan bumi di tengah berkecamuknya Perang Dunia II. Bahkan, tak seorang pun tahu di mana seniman besar Locatelli dimakamkan, kalau saja misalnya dia divonis "gugur" di medan tempur.
Gianni Orsini, penulis buku kenamaan asal Belanda, menghabiskan waktu lebih dari lima tahun untuk melakukan penelitian tentang sepak terjang dan keberadaan Locatelli, namun hanya berhasil mengumpulkan fakta dan data mengenai empat tahun terakhir kehidupan yang bersangkutan, sebelum dia dinyatakan sirna dari pandangan mata.
Erminia Locatelli Rogers (1908-2005), janda dari sang pelukis, dalam sebuah memori yang ditulis Didier Hamel tahun 1994, telah menjadi satu-satunya petunjuk yang paling relevan tentang perjalanan hidup Locatelli selama pengelanaannya di beberapa daerah di Asia Tenggara, termasuk Bali.
Dalam buku 'Ramualdo Locatelli, Eternal Green Under an Eternal Sun' yang juga diberi kata pengantar oleh Didier Hamel, penulis buku mengetengahkan sosok Locatelli sebagai seniman berbakat yang karya-karyanya memiliki warna, corak dan 'taksu' tersendiri di dunia seni rupa.
Begitu menariknya tentang Locatelli, Gianni Orsini juga berusaha menelusurinya melalui sejumlah literatur, termasuk buku-buku biografi yang ada kaitannya dengan perupa asal Italia itu. Buku-buku biografi tersebut antara lain yang mengungkap tentang GP Adolfs, WG Hofker dan WCC Bleckmann.
Kendati demikian, Orsini dalam bukunya hanya berhasil memaparkan tentang sepak terjang Locatelli selama kurang lebih empat tahun yang dimulai 1939 di Filipina dan di tanah bekas jajahan Hindia Belanda, termasuk Indonesia.
Setelah empat tahun di kawasan tersebut, Locatelli yang diduga sudah menelorkan puluhan karya seni rupa, menghilang tak tentu rimbanya pada usia sekitar 37 tahun. Tergolong beruntung, sejumlah kolektor berhasil mengumpulkan karya-karya seniman yang aktivitas berkeseniannya 'digempur' situasi Perang Dunia II.
Sejumlah lukisan yang dibuat di tanah Jawa dan Bali, tergolong karya Locatelli yang paling langka. Karenanya, kata Orisini, karya-karya tersebut menjadi yang paling mahal dibandingkan dengan goresan tangan yang lain, yang dibuat Locatelli pada tahun-tahun sebelum tinggal di Jawa dan Bali.
Gianni Orisini mengatakan, betapa kuat goresan tangan Locatelli dalam mewujudkan lukisan hingga memiliki 'taksu' dan 'magnet' yang mampu menarik pandangan mata setiap orang yang mencoba melirik karyanya.
Di Museum Pasifika
Beberapa lukisan berdaya tarik itu, kini terpajang rapi di Museum Pasifika, sebuah "gudang" seni terbesar di Asia Pasifik yang berdiri di kawasan Nusa Dua, Bali, sejak 2006.
Konsul Italia Pino Confessa yang hadir pada acara referensi buku karya Orisinil, menyatakan bersyukur dengan adanya Museum Pasifika yang mampu menyimpan karya-karya terbaik dari Locatelli, termasuk lusinan karya seniman kenamaan lainnya dari mancanegara.
"Saya sangat mengapresiasi keberadan Museum Pasifika sebagai yang terbesar di kawasan Asia Pasifik, dan ini ada di Bali," ujarnya bersemangat.
Confessa juga mengaku lega atas bekerhasilan dan kepiawaian Orisini dalam melakukan penelitian terhadap perupa asal Italia yang kemudian diwujudkan dalam sebuah buku yang diberi judul 'Ramualdo Locatelli, Eternal Green Under an Eternal Sun'.
Selain Konsul Italia, dua penulis buku kesohor, masing-masing asal Belanda dan Amerika Serikat, Paul De Bont dan Jamie James, juga tampak hadir. Keduanya mengacungi jempol atas berberhasilan Orisini dalam menyusun buku dengan sampul menarik, lengkap dengan foto sejumlah karya lukis Locatelli.
Baik Bont maupun James, mengaku pula bahwa tidak lagi mudah dalam melacak jejak keberadaan atau letak makam dari perupa besar kelahiran Italia tersebut. Itu sebabnya, sejumlah peneliti dan penulis buku, termasuk buku sejarah, khususnya sejarah seni rupa, kini ditantang untuk lebih mampu melakukan penelurusan terhadap lokasi batu nisan Locatelli.
Tidak hanya itu, Philipe Augier menambahkan, para peneliti juga ditantang untuk mampu mengungkap berapa banyak karya yang telah lahir dari goresan tangan Locatelli. Terlebih lagi, di negara mana saja karya-karya yang umumnya memiliki 'taksu' yang sangat kuat itu selama ini tercecer.
"Bila itu berhasil dilakukan, satu lagi karya besar dunia, khususnya tentang dunia seni rupa, selain buku yang kini telah berhasil ditorehkan Orisini," ujar pria lelahiran Prancis yang telah cukup lama menetap di Pulau Dewata itu.
Menyinggung museum yang "dikomandaninya", Augier mengatakan, selain beberapa karya Locatelli, sejumlah lukisan yang tergolong langka di dunia, kini juga terpajang rapi dalam 11 ruangan kategori luks di Museum Pasifika.
Pelukis kenamaan seperti Rudolf Bonnet (Belanda), Paul Gauguin (Prancis) dan para perupa sohor dalam negeri, karya-karyanya terpampang di museum dua lantai yang dibangun memutar menyerupai huruf O, dengan bagian lubang atau natah di tengah-tengah gedung bercorak arsitektur Bali itu.
Beberapa pengamat seni mengakui bahwa Museum Pasifika telah banyak memberi kontribusi, tidak hanya pada dunia seni dan pariwisata, tetapi juga dunia pendidikan karena pihak pengelola sering mengundang anak-anak sekolah untuk bertandang dan belajar tentang seni rupa di museum tersebut.
Para pengamat juga mengharapkan keberadaan museum lebih banyak mampu menyimpan barang-barang seni kuno untuk bahan studi dan pengetahuan para siswa serta pelukis muda, utamanya bagi mereka yang menetap di Bumi Dewata.
Lebih dari 75 tahun sudah Locatelli 'tilem' dari permukaan bumi. Namun beberapa karyanya yang langka kini masih tersimpan di museum. Apalagi, buku tentang sang maestro yang telah dipresentasikan pada 18 Maret 2019 di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kota Haque, Belanda, kini dapat dimiliki masyarakat, khususnya masyarakat pecinta seni rupa. (*)
*) Penulis adalah praktisi jurnalistik yang tinggal di Bali dan mantan Kepala LKBN Antara Biro Mataram.
Bayangkan. Untuk sebuah lukisan karya Locatelli yang menggambarkan sosok masyarakat dengan latar belakang budaya Bali, belum lama ini laku terjual seharga 660 ribu Dolar Amerika Serikat, atau lebih dari Rp9 miliar.
Philippe Augier, owner's representative Museum Pasifika di Nusa Dua, Bali, mengungkapkan, lukisan cat minyak berdimensi 88x58 cm yang diberi judul Smoking itu laku terjual seharga lebih dari Rp9 miliar di arena lelang pada acara 'Modern and Contemporary Southeast Asian Art Evening Sale' di Sotheby's Hong Kong, 31 Maret 2019.
Di sela-sela kegiatan mempresentasikan buku berjudul 'Ramualdo Locatelli, Eternal Green Under an Eternal Sun' karya Mr Gianni Orsini Msc, Philippe Augier menyebutkan, lukisan termahal Smoking tersebut, merupakan hasil goresan tangan Locatelli saat dia sempat tinggal dalam beberapa tahun di Bali, pada sekitar pergolakan Perang Dunia II
Setelah sempat menetap di Bali dan Filipina, tak seorang pun dapat melihat lagi sosok pria berkebangsaan Italia itu. Dia bagaikan habis ditelan bumi di tengah berkecamuknya Perang Dunia II. Bahkan, tak seorang pun tahu di mana seniman besar Locatelli dimakamkan, kalau saja misalnya dia divonis "gugur" di medan tempur.
Gianni Orsini, penulis buku kenamaan asal Belanda, menghabiskan waktu lebih dari lima tahun untuk melakukan penelitian tentang sepak terjang dan keberadaan Locatelli, namun hanya berhasil mengumpulkan fakta dan data mengenai empat tahun terakhir kehidupan yang bersangkutan, sebelum dia dinyatakan sirna dari pandangan mata.
Erminia Locatelli Rogers (1908-2005), janda dari sang pelukis, dalam sebuah memori yang ditulis Didier Hamel tahun 1994, telah menjadi satu-satunya petunjuk yang paling relevan tentang perjalanan hidup Locatelli selama pengelanaannya di beberapa daerah di Asia Tenggara, termasuk Bali.
Dalam buku 'Ramualdo Locatelli, Eternal Green Under an Eternal Sun' yang juga diberi kata pengantar oleh Didier Hamel, penulis buku mengetengahkan sosok Locatelli sebagai seniman berbakat yang karya-karyanya memiliki warna, corak dan 'taksu' tersendiri di dunia seni rupa.
Begitu menariknya tentang Locatelli, Gianni Orsini juga berusaha menelusurinya melalui sejumlah literatur, termasuk buku-buku biografi yang ada kaitannya dengan perupa asal Italia itu. Buku-buku biografi tersebut antara lain yang mengungkap tentang GP Adolfs, WG Hofker dan WCC Bleckmann.
Kendati demikian, Orsini dalam bukunya hanya berhasil memaparkan tentang sepak terjang Locatelli selama kurang lebih empat tahun yang dimulai 1939 di Filipina dan di tanah bekas jajahan Hindia Belanda, termasuk Indonesia.
Setelah empat tahun di kawasan tersebut, Locatelli yang diduga sudah menelorkan puluhan karya seni rupa, menghilang tak tentu rimbanya pada usia sekitar 37 tahun. Tergolong beruntung, sejumlah kolektor berhasil mengumpulkan karya-karya seniman yang aktivitas berkeseniannya 'digempur' situasi Perang Dunia II.
Sejumlah lukisan yang dibuat di tanah Jawa dan Bali, tergolong karya Locatelli yang paling langka. Karenanya, kata Orisini, karya-karya tersebut menjadi yang paling mahal dibandingkan dengan goresan tangan yang lain, yang dibuat Locatelli pada tahun-tahun sebelum tinggal di Jawa dan Bali.
Gianni Orisini mengatakan, betapa kuat goresan tangan Locatelli dalam mewujudkan lukisan hingga memiliki 'taksu' dan 'magnet' yang mampu menarik pandangan mata setiap orang yang mencoba melirik karyanya.
Di Museum Pasifika
Beberapa lukisan berdaya tarik itu, kini terpajang rapi di Museum Pasifika, sebuah "gudang" seni terbesar di Asia Pasifik yang berdiri di kawasan Nusa Dua, Bali, sejak 2006.
Konsul Italia Pino Confessa yang hadir pada acara referensi buku karya Orisinil, menyatakan bersyukur dengan adanya Museum Pasifika yang mampu menyimpan karya-karya terbaik dari Locatelli, termasuk lusinan karya seniman kenamaan lainnya dari mancanegara.
"Saya sangat mengapresiasi keberadan Museum Pasifika sebagai yang terbesar di kawasan Asia Pasifik, dan ini ada di Bali," ujarnya bersemangat.
Confessa juga mengaku lega atas bekerhasilan dan kepiawaian Orisini dalam melakukan penelitian terhadap perupa asal Italia yang kemudian diwujudkan dalam sebuah buku yang diberi judul 'Ramualdo Locatelli, Eternal Green Under an Eternal Sun'.
Selain Konsul Italia, dua penulis buku kesohor, masing-masing asal Belanda dan Amerika Serikat, Paul De Bont dan Jamie James, juga tampak hadir. Keduanya mengacungi jempol atas berberhasilan Orisini dalam menyusun buku dengan sampul menarik, lengkap dengan foto sejumlah karya lukis Locatelli.
Baik Bont maupun James, mengaku pula bahwa tidak lagi mudah dalam melacak jejak keberadaan atau letak makam dari perupa besar kelahiran Italia tersebut. Itu sebabnya, sejumlah peneliti dan penulis buku, termasuk buku sejarah, khususnya sejarah seni rupa, kini ditantang untuk lebih mampu melakukan penelurusan terhadap lokasi batu nisan Locatelli.
Tidak hanya itu, Philipe Augier menambahkan, para peneliti juga ditantang untuk mampu mengungkap berapa banyak karya yang telah lahir dari goresan tangan Locatelli. Terlebih lagi, di negara mana saja karya-karya yang umumnya memiliki 'taksu' yang sangat kuat itu selama ini tercecer.
"Bila itu berhasil dilakukan, satu lagi karya besar dunia, khususnya tentang dunia seni rupa, selain buku yang kini telah berhasil ditorehkan Orisini," ujar pria lelahiran Prancis yang telah cukup lama menetap di Pulau Dewata itu.
Menyinggung museum yang "dikomandaninya", Augier mengatakan, selain beberapa karya Locatelli, sejumlah lukisan yang tergolong langka di dunia, kini juga terpajang rapi dalam 11 ruangan kategori luks di Museum Pasifika.
Pelukis kenamaan seperti Rudolf Bonnet (Belanda), Paul Gauguin (Prancis) dan para perupa sohor dalam negeri, karya-karyanya terpampang di museum dua lantai yang dibangun memutar menyerupai huruf O, dengan bagian lubang atau natah di tengah-tengah gedung bercorak arsitektur Bali itu.
Beberapa pengamat seni mengakui bahwa Museum Pasifika telah banyak memberi kontribusi, tidak hanya pada dunia seni dan pariwisata, tetapi juga dunia pendidikan karena pihak pengelola sering mengundang anak-anak sekolah untuk bertandang dan belajar tentang seni rupa di museum tersebut.
Para pengamat juga mengharapkan keberadaan museum lebih banyak mampu menyimpan barang-barang seni kuno untuk bahan studi dan pengetahuan para siswa serta pelukis muda, utamanya bagi mereka yang menetap di Bumi Dewata.
Lebih dari 75 tahun sudah Locatelli 'tilem' dari permukaan bumi. Namun beberapa karyanya yang langka kini masih tersimpan di museum. Apalagi, buku tentang sang maestro yang telah dipresentasikan pada 18 Maret 2019 di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kota Haque, Belanda, kini dapat dimiliki masyarakat, khususnya masyarakat pecinta seni rupa. (*)
*) Penulis adalah praktisi jurnalistik yang tinggal di Bali dan mantan Kepala LKBN Antara Biro Mataram.