Makassar (ANTARA) - Hujan yang mulai turun pada awal Januari 2020 cukup menghambat produksi petambak garam tradisional di Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
"Produksi garam terganggu dengan turunnya hujan, karena air laut yang dibendung sulit menjadi kristal garam," kata petambak garam H Baharuddin di Lingkungan Paccelanga, Kelurahan Pellengu, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulsel, Sabtu.
Dia mengatakan, kurangnya produksi garam pada musim hujan, menyebabkan para petambak garam memilih menyimpan garam produksi musim kemarau, untuk persediaan pembelian pada musim hujan.
Alasannya, persediaan garam yang akan berkurang pada musim hujan akan memicu harga garam lebih baik dibandingkan kondisi pada saat musim panen garam di musim kemarau.
Sebagai gambaran, garam ukuran 80 liter per karung atau karung paling besar saat panen hanya dibeli oleh pedagang pengumpul Rp35 ribu per karung. Padahal harga normal Rp120 ribu - Rp150 ribu per karung ukuran besar.
"Semoga pada musim hujan, harga garam jauh lebih baik, karena biasanya menembus harga Rp200 ribu per karung dengan ukuran yang sama," kata Baharuddin.
Harapan serupa juga dikemukakan pedagang garam eceran yang berjualan di pinggir jalan poros Jeneponto - Makassar, Hasnawati.
Dia mengatakan, produksi yang boleh dikatakan tidak ada pada musim hujan, hanya bergantung dari hasil panen garam musim kemarau.
"Jadi, sebagian saja yang dijual ke pedagang pengumpul pada saat panen, sedang sisanya dijual saat musim hujan atau tidak ada produksi garam," katanya.