Pengemudi mobil WHO pengangkut "swab" corona dibunuh di Rakhine State
Pekerja WHO itu mengendarai kendaraan PBB dari Sittwe ke Yangon, mengangkut sampel pemeriksaan COVID-19 untuk mendukung Kementerian Kesehatan dan Olahraga setempat
Jakarta (ANTARA) - Sebuah kendaraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang membawa swab (sampel lendir) dari pasien untuk diuji infeksi COVID-19 ditembak di negara bagian Rakhine, Myanmar, dan pengemudinya tewas.
Pernyataan tersebut disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa, tetapi tidak menyebut siapa pelaku serangan di wilayah di mana konflik antara militer dan Tentara Arakan semakin meningkat, meskipun ada seruan global untuk gencatan senjata setelah pandemi menewaskan lima orang dan menyebabkan 119 kasus di Myanmar.
Sopir bernama Pyae Sone Win Maung, tewas di kota kecil Minbya di negara bagian Rakhine pada Senin (20/4).
"Pekerja WHO itu mengendarai kendaraan PBB dari Sittwe ke Yangon, mengangkut sampel pemeriksaan COVID-19 untuk mendukung Kementerian Kesehatan dan Olahraga setempat," tulis kantor PBB di Myanmar dalam unggahan di akun Facebook.
Baik militer Myanmar dan Tentara Arakan menyangkal bertanggung jawab atas serangan itu dan saling menuduh.
Dalam sebuah pernyataan, kementerian informasi Myanmar mengatakan mobil bertanda PBB itu mendapat tembakan dari gerilyawan saat membawa alat swab dari Rakhine ke kota terbesar, Yangon. Tentara Arakan menyalahkan militer.
Pasukan pemerintah dan pemberontak dari Tentara Arakan, yang menginginkan otonomi yang lebih besar untuk wilayah barat Myanmar, telah dikunci dalam pertempuran sengit selama lebih dari setahun, tetapi bentrokan telah meningkat baru-baru ini.
"Mengapa militer menembak mereka?" jawab Mayor Jenderal Tun Tun Nyi, seorang juru bicara militer, ketika Reuters bertanya tentang insiden itu melalui telepon.
"Mereka bekerja untuk kami, untuk negara kami. Kami memiliki tanggung jawab untuk itu ... Setiap orang yang memiliki otak tahu itu. Jika kamu adalah warga negara Myanmar, kamu seharusnya tidak menanyakan itu," kata dia.
Petugas kesehatan lain yang terluka dalam serangan itu sedang dirawat di rumah sakit.
Ayah pengemudi, Htay Win Maung, mengatakan putranya yang berusia 28, telah bekerja untuk WHO di Sittwe selama tiga tahun.
"Hati saya hancur untuknya," katanya kepada Reuters melalui telepon.
"Saya mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa dia meninggal dunia saat menjalankan tugasnya di garis depan. Dia pergi ke sana di tengah pertempuran ketika banyak orang tidak berani pergi."
Inggris dan Amerika Serikat termasuk negara-negara yang menyerukan diakhirinya pertempuran di Rakhine, paling tidak untuk membantu melindungi masyarakat yang rentan terhadap pandemi.
Tentara Arakan telah mengumumkan gencatan senjata selama April, bersama dengan dua kelompok etnis bersenjata lain, dikarenakan pandemi itu.
Namun, militer Myanmar menolak permohonan itu. Juru bicara militer mengatakan gencatan senjata sebelumnya yang dinyatakan oleh pemerintah tidak diindahkan oleh pemberontak.
Reuters
Pernyataan tersebut disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa, tetapi tidak menyebut siapa pelaku serangan di wilayah di mana konflik antara militer dan Tentara Arakan semakin meningkat, meskipun ada seruan global untuk gencatan senjata setelah pandemi menewaskan lima orang dan menyebabkan 119 kasus di Myanmar.
Sopir bernama Pyae Sone Win Maung, tewas di kota kecil Minbya di negara bagian Rakhine pada Senin (20/4).
"Pekerja WHO itu mengendarai kendaraan PBB dari Sittwe ke Yangon, mengangkut sampel pemeriksaan COVID-19 untuk mendukung Kementerian Kesehatan dan Olahraga setempat," tulis kantor PBB di Myanmar dalam unggahan di akun Facebook.
Baik militer Myanmar dan Tentara Arakan menyangkal bertanggung jawab atas serangan itu dan saling menuduh.
Dalam sebuah pernyataan, kementerian informasi Myanmar mengatakan mobil bertanda PBB itu mendapat tembakan dari gerilyawan saat membawa alat swab dari Rakhine ke kota terbesar, Yangon. Tentara Arakan menyalahkan militer.
Pasukan pemerintah dan pemberontak dari Tentara Arakan, yang menginginkan otonomi yang lebih besar untuk wilayah barat Myanmar, telah dikunci dalam pertempuran sengit selama lebih dari setahun, tetapi bentrokan telah meningkat baru-baru ini.
"Mengapa militer menembak mereka?" jawab Mayor Jenderal Tun Tun Nyi, seorang juru bicara militer, ketika Reuters bertanya tentang insiden itu melalui telepon.
"Mereka bekerja untuk kami, untuk negara kami. Kami memiliki tanggung jawab untuk itu ... Setiap orang yang memiliki otak tahu itu. Jika kamu adalah warga negara Myanmar, kamu seharusnya tidak menanyakan itu," kata dia.
Petugas kesehatan lain yang terluka dalam serangan itu sedang dirawat di rumah sakit.
Ayah pengemudi, Htay Win Maung, mengatakan putranya yang berusia 28, telah bekerja untuk WHO di Sittwe selama tiga tahun.
"Hati saya hancur untuknya," katanya kepada Reuters melalui telepon.
"Saya mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa dia meninggal dunia saat menjalankan tugasnya di garis depan. Dia pergi ke sana di tengah pertempuran ketika banyak orang tidak berani pergi."
Inggris dan Amerika Serikat termasuk negara-negara yang menyerukan diakhirinya pertempuran di Rakhine, paling tidak untuk membantu melindungi masyarakat yang rentan terhadap pandemi.
Tentara Arakan telah mengumumkan gencatan senjata selama April, bersama dengan dua kelompok etnis bersenjata lain, dikarenakan pandemi itu.
Namun, militer Myanmar menolak permohonan itu. Juru bicara militer mengatakan gencatan senjata sebelumnya yang dinyatakan oleh pemerintah tidak diindahkan oleh pemberontak.
Reuters