Bamsoet : Desakan amandemen ke-5 UUD 1945 semakin kuat
Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo mengungkapkan desakan amandemen ke-5 Undang-Undang Dasar 1945 dari berbagai kalangan semakin menguat.
Dalam keterangannya di Jakarta, Senin, Bamsoet (sapaan akrab Bambang Soesatyo) mengatakan hal itu saat menerima hasil kajian dari Pemuda Panca Marga (PPM), yang menilai setelah empat kali amandemen, telah melahirkan sebuah 'konstitusi baru' yang oleh PPM dan banyak kalangan lain disebut sebagai UUD Tahun 2002.
Menurut dia, PPM menilai konstitusi baru tersebut tidak lagi berdasarkan nilai-nilai Pancasila karena ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan antarayat.
"Tidak heran jika PPM dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti FKPPI, Pemuda Pancasila, bahkan juga DPD RI, mengusulkan agar MPR RI segera menyelenggarakan sidang paripurna agar konstitusi dikembalikan kepada naskah sesungguhnya yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, untuk kemudian disempurnakan melalui addendum sehingga tidak menghilangkan naskah orisinal yang dibuat oleh para pendiri bangsa," jelasnya.
Bamsoet menjelaskan hasil kajian PPM juga menekankan pentingnya mengembalikan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, sebagaimana juga sudah diusulkan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
"PPM juga menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR RI melalui Tap MPR RI, seperti halnya presiden yang memiliki kewenangan perppu manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan memaksa," ujarnya.
Menurut Bamsoet, keberadaan TAP MPR RI bisa menjadi pintu darurat konstitusi, sekaligus solusi dalam mengatasi berbagai persoalan negara tatkala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antarlembaga negara atau antarcabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.
Ia mencontohkan ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan DPR RI, kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR RI dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK.
"Mengingat sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara," jelas Bamsoet.
Sebelumnya aspirasi yang sama juga telah disampaikan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI), FKPPI, Pemuda Pancasila, Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri), Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Forum Komunikasi (FOKO) Purnawirawan TNI/Polri serta Wapres ke-6 RI Try Sutrisno dan dukungan sekitar 7.841 lembaga swadaya masyarakat secara tertulis tahun 2011 melalui ke DPD RI.
Dalam keterangannya di Jakarta, Senin, Bamsoet (sapaan akrab Bambang Soesatyo) mengatakan hal itu saat menerima hasil kajian dari Pemuda Panca Marga (PPM), yang menilai setelah empat kali amandemen, telah melahirkan sebuah 'konstitusi baru' yang oleh PPM dan banyak kalangan lain disebut sebagai UUD Tahun 2002.
Menurut dia, PPM menilai konstitusi baru tersebut tidak lagi berdasarkan nilai-nilai Pancasila karena ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan antarayat.
"Tidak heran jika PPM dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti FKPPI, Pemuda Pancasila, bahkan juga DPD RI, mengusulkan agar MPR RI segera menyelenggarakan sidang paripurna agar konstitusi dikembalikan kepada naskah sesungguhnya yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, untuk kemudian disempurnakan melalui addendum sehingga tidak menghilangkan naskah orisinal yang dibuat oleh para pendiri bangsa," jelasnya.
Bamsoet menjelaskan hasil kajian PPM juga menekankan pentingnya mengembalikan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, sebagaimana juga sudah diusulkan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
"PPM juga menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR RI melalui Tap MPR RI, seperti halnya presiden yang memiliki kewenangan perppu manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan memaksa," ujarnya.
Menurut Bamsoet, keberadaan TAP MPR RI bisa menjadi pintu darurat konstitusi, sekaligus solusi dalam mengatasi berbagai persoalan negara tatkala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antarlembaga negara atau antarcabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.
Ia mencontohkan ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan DPR RI, kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR RI dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK.
"Mengingat sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara," jelas Bamsoet.
Sebelumnya aspirasi yang sama juga telah disampaikan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI), FKPPI, Pemuda Pancasila, Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri), Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Forum Komunikasi (FOKO) Purnawirawan TNI/Polri serta Wapres ke-6 RI Try Sutrisno dan dukungan sekitar 7.841 lembaga swadaya masyarakat secara tertulis tahun 2011 melalui ke DPD RI.